MICE  

Wajah Kepemimpinan Muhammadiyah

MUKTAMAR ke-48 Muhammadiyah yang diselenggarakan 18-20 November 2022 di Surakarta, Jawa Tengah, telah menghasilkan, antara lain komposisi kepemimpinan Muhammadiyah periode 2022-2027. Di samping diwarnai dengan keberlanjutan duet Haedar Nashir-Abdul Mu’ti, komposisi kepemimpinan Muhammadiyah ditandai juga dengan masuknya empat anggota baru, yang salah satunya berasal dari generasi muda Muhammadiyah, yaitu Hilman Latief. Sementara tiga lainnya, yaitu Syamsul Anwar, Saad Ibrahim, dan Irwan Akib terbilang senior.

Meskipun belum bisa dikatakan ideal karena baru satu orang dari kalangan generasi muda Muhammadiyah yang bisa menembus puncak kepemimpinan Muhammadiyah, yaitu Hilman Latief, masuknya empat anggota baru yang memiliki latar belakang berbeda dalam keanggotan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah diharapkan kian memperkuat keterlaksanaan peran publik Muhammadiyah pada semua sektor.

 

Fenomena Ahmad Dahlan

Sejak  berdiri (1912) hingga pelaksanaan muktamar yang ke-48 di Surakarta, berarti telah terjadi pergantian pada pucuk pimpinan di Muhammadiyah sebanyak 15 kali. Pada mulanya ialah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang berada di pucuk pimpinan Muhammadiyah selama 11 tahun, mulai 1912 hingga 1923.

Kepemimpinan Ahmad Dahlan bisa dikatakan sebagai fase krusial sebagaimana yang biasa dialami oleh organisasi dan gerakan yang sedang berada di tahapan awal. Tidak banyak organisasi yang mampu bertahan dan tetap berkembang hingga melewati beberapa dekade, bahkan seabad lebih.

Muhammadiyah ialah contoh organisasi yang mampu melewati usia yang panjang. Ahmad Dahlan memiliki peran krusial dalam membangun landasan organisasi selama kepemimpinannya. Landasan yang dimaksud ialah apa yang sekarang disebut dengan corporate culture.

Ahmad Dahlan memang tidak mengungkapkan, menuliskan, dan menjadikannya sebagai artifak yang ditempel di beberapa dinding kantor Muhammadiyah, seperti yang biasa dijumpai dalam organisasi belakangan ini. Corporate culture dalam tahapan awal perkembangan Muhammadiyah, melekat pada kepribadian Ahmad Dahlan dan murid-muridnya yang loyal, militan, dan penuh dedikasi.

Ahmad Dahlan lalu menjadi teladan kepenyatuan antara ucapan dan tindakan. Pada Ahmad Dahlan terdapat living values. Ada banyak contoh pimpinan organisasi yang fasih melafazkan corporate culture, tetapi tidak membekas pada tindakannya. Ada banyak pula contoh pimpinan yang karena inkonsistenya itu harus menanggung sanksi dan hukuman yang tidak ringan.

Ahman Dahlan ialah tipologi pimpinan yang bisa menyeimbangkan antara gagasan dan tindakan. Ia ialah man of idea dan sekaligus man of action. Sebagai man of idea, menurut kesaksian dari murid-muridnya, di antaranya HM Hadjid sebagaimana dikatakan dalam buku yang ditulisnya, Pelajaran Kiai Ahmad Dahlan: 7 Falsafah & 17 Kelompok ayat Al-Qur’an, Ahmad Dahlan memiliki kecerdasan (dzaka’), yang ditunjukkan pada kemampuan mendalami, tidak saja ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu pengetahuan umum.

Kedalaman ilmunya itu diperkuat pula dengan kemampuan dalam berpikir kritis, yang diperlihatkan pada kritik Ahmad Dahlan terhadap paham dan praktik keagamaan umat Islam yang mengakibatkan keterbelakangan. Tidak berhenti pada kritik, Ahmad Dahlan merancang gerakan kolektif untuk mengubah kondisi umat Islam ke arah kemajuan.

Dengan demikian, Ahmad Dahlan boleh disebut sebagai ulama cum intelektual. Sebagai ulama, Ahmad Dahlan menunjukkan penguasaan secara memadai terhadap literatur berbahasa Arab yang menjadi rujukan utama di bidang ilmu keagamaan. Kemampuan ini diperoleh berkat ketekunannya menjadi murid ulama Nusantara seperti Kiai Shaleh Darat yang juga menjadi guru Hasyim Asyari, pendiri NU. Beberapa literatur yang dikuasai Ahmad Dahlan, di antaranya Kitab Tauhid dan Tafsir Juz Amma karya Muhamnad Abduh, yang juga memberi inspirasi Ahmad Dahlan melakukan gerakan pembaruan paham dan praktik keagamaan.

Dikatakan sebagai intelektual, karena Ahmad Dahlan mampu menjalankan peran kepemimpinan perubahan (transformational leadership), seperti dikemukakan James MacGregor Burns dalam Leadership (1978) karena padanya melekat kemampuan teoritik, kepekaan etis, dan kemampuan praktikal sebagaimana terlihat ketika Ahmad Dahlan membentuk perkumpulan Muhammadiyah dan menggerakkannya. Karena kemampuannya ini pula, Ahmad Dahlan merupakan eksemplar dan role model kepemimpinan intelektual (intellectual leadership) bila menggunakan konsep dari James MacGregor Burns.

 

Pasca-Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun. Jika saja tidak terkendala oleh kondisi kesehatan dan wafat dalam usia 55 tahun, usia yang tergolong masih muda, masa kepemimpinan Ahmad Dahlan bisa lebih panjang lagi. Kendati tergolong pendek, Ahmad Dahlan ialah teladan yang menginspirasi dan membentuk karakter kepemimpinan Muhammadiyah.

Kekuatan Ahmad Dahlan tentu yang pertama ialah pada kedalaman dan keluasan ilmunya. Ahmad Dahlan ialah sosok yang alim dalam arti penguasaan pada beberapa bidang keilmuan. Kekuatan kedua terlihat pada kepribadiannya yang bersahaja; asketis; tidak mau memperkaya diri dan inklusif sehingga memiliki area pergaulan yang luas. Ahmad Dahlan juga menunjukkan keterbukaan pada gagasan modern atau berkemajuan. Kemudian kekuatan yang ketiga, Ahmad Dahlan ialah penggerak yang mampu memobilisasi potensi orang-orang di sekitarnya, dalam mewujudkan gagasan dan cita-citanya.

Dengan kekuatan itu, kendati masa kepemimpinannya relatif pendek, Ahmad Dahlan berhasil meletakkan fondasi organisasi dan gerakan Muhammadiyah sehingga di samping mampu menambah organ-organ penting, menambah basis massa dan amal usaha, area perkembangan Muhammadiyah meluber tidak saja hingga di luar Yogyakarta, tetapi bahkan ke luar Jawa. Dengan perkembangan ini pula, citra Muhammadiyah sebagai organisasi modern dan berkemajuan, di samping juga gerakan Islam puritan, kian menguat tentu dengan segala risiko yang dihadapinya .

Pelajaran (lesson learned), yang bisa diambil dan dikembangkan dari Ahmad Dahlan ialah model kepemimpinan yang bisa menjamin keberlanjutan dinamika Muhammadiyah hingga pada dekade dan abad mendatang. Pada kenyataannya, Muhammadiyah tidak saja mampu bertahan, tetapi berkembang bahkan menetapkan tonggak capaian (milestone) menuju internasionalisasi.

Kepemimpinan menjadi faktor yang tidak terbantahkan, yang bisa menjamin Muhammadiyah mampu merespons berbagai tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi Muhammadiyah ialah pada masa kepemimpinan AR Fakhruddin, yakni ketika pemerintah Orde Baru memberlakukan UU Keormasan Nomor 5 Tahun 1985 yang berintikan penerapan asas tunggal Pancasila. Dalam mencermati tahun pemberlakuan UU itu, berarti persis tahun pertama dalam periode terakhir kepemimpinan Pak AR (1985-1990).

Respons Muhammadiyah, hingga kemudian menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam muktamar ke-41 di Surakarta terbilang alot. Beberapa tokoh Muhammadiyah khawatir, pencantuman Pancasila sebagai asas organisasi akan mengaburkan jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan Islam. Dalam situasi yang diwarnai ketegangan dan terkadang memanas, AR Fakhruddin menjalin komunikasi ke berbagai pihak, termasuk dengan Presiden Soeharto untuk menemukan solusi yang moderat. Hasilnya, anggaran dasar Muhammadiyah mencantumkan Pancasila sebagai asas tanpa menghilangkan Islam sebagai ciri khas Muhammadiyah. Menurut AR Fakhruddin, Muhammadiyah seperti berjalan di jalur helm yang harus menggunakan helm supaya aman. Pancasila, dalam metafora AR Fakhruddin, ialah helm yang harus dikenakan.

Kepemimpinan AR Fakhruddin yang berlangsung selama 22 tahun, mulai 1968-1990, terlama jika dibandingkan dengan durasi kepemimpinan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah lainnya, merupakan fase krusial bagi umat Islam, terutama karena kebijakan Orde Baru yang hegemonik dan represif di antaranya ditunjukkan dengan kebijakan asas tunggal itu. Ormas Islam yang tidak sejalan dengan kebijakan Orde Baru dibubarkan, seperti dialami Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 1987. Jika Ormas Islam menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, perpecahan tidak terhindarkan, seperti yang terjadi pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan kemunculan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).

Muhammadiyah terhindar dari perpecahan. Kepemimpinan AR Fakhruddin perlu disebut sebagai faktor pemersatu kendati sempat terjadi ketegangan di antara tokoh Muhammadiyah dalam menanggapi kebijakan asas tunggal pemerintah Orde Baru.

MI/Seno

 

Polimatik

Dari sisi keilmuan dan pendidikan, pimpinan puncak Mujammadiyah sejak Ahmad Dahlan hingga AR Fakhruddin, dan Ahmad Azhar Basyir, pada umumnya menunjukkan keahlian di bidang ilmu-ilmu keagamaan sehingga mereka dikategorikan sebagai ulama. Karena keahliannya itu, terkadang mereka disebut kiai. Ahmad Azhar Basyir, misalnya, pernah belajar di Fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo, Mesir, dan memiliki keahlian di bidang hukum Islam.

Pasca-Ahmad Azhar Basyir, kepemimpinan Muhammadiyah yang pada mulanya didominasi kalangan ulama, bergeser kepada mereka yang lebih menonjol sebagai akademisi di perguruan tinggi. Di samping di antara mereka bergelar doktor dari kampus ternama di luar negeri, juga menjadi profesor di kampus ternama di Indonesia. Mereka ialah Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, dan Haedar Nashir.

Tiga nama yang disebut terlebih dahulu mendalami ilmu-ilmu sosial di luar negeri. Amien Rais tertarik pada ilmu politik di Universitas Chicago, sedangkan Ahmad Syafii Maarif mendalami sejarah di kampus yang sama. Din Syamsuddin menekuni ilmu politik di Universitas California, Los Angeles. Adapun Haedar Nashir mendalami sosiologi di UGM. Kendati demikian, keempatnya dikenal juga sebagai pemikir keagamaan di Tanah Air. Bahkan Din Syamsuddin pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebagai organisasi dan gerakan berbasis keagamaan, kepemimpinan di Muhammadiyah perlu mengakomodasi kalangan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang keagamaan. Sejauh ini, Muhammadiyah telah menunjukkan praktik baik kepemimpinan yang searah dengan ketentuan tersebut. Praktik baik ini harus dipertahankan. Tentu, akan menjadi pertanyaan publik secara luas apabila pimpinan di level puncak tidak memenuhi kriteria di bidang keagamaan tersebut, mengingat Muhammadiyah telah dikenal karena karakter dan identitas keagamaannya. Apalagi, Muhammadiyah juga memiliki semangat kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Namun, perlu ditambahkan, kualifikasi dan kompetensi itu harus terlihat juga pada kemampuan pimpinan puncak Muhammadiyah dalam menciptakan narasi dan praksis keagamaan yang berpihak dan memenuhi kemaslahatan publik. Jika dipandang urgen, narasi keagamaan—dalam ungkapan Muhammad AS Hikam dalam Demokrasi dan Civil Society (1996)—bisa menjadi suatu kontra-diskursus dan kontra-hegemoni terhadap ideologi dan tindakan dominan seperti pernah dilakukan oleh Amien Rais ketika menyuarakan suksesi kepemimpinan, justru ketika kekuasaan Soeharto sedang kuat-kuatnya.

Agar bisa mewujudkan praksis kepemimpinan semacam itu, seseorang harus memiliki wawasan dan pengalaman polimatik, yakni memiliki pemgalaman dan wawasan keilmuan multidisipliner; tidak hanya ilmu keagamaan tetapi diperkuat juga dengan wawasan keilmuan lainnya. Di samping itu, pemimpin juga harus memiliki pengalaman dan pergaulan dengan berbagai kalangan. Dengan mempertimbangkan kualifikasi dan pengalaman anggota PP Muhammadiyah yang terpilih pada muktamar di Surakarta, harapan ini bisa terwujud. Semoga!


Sumber: mediaindonesia.com