MICE  

Visi Muhammadiyah tentang Pengasuhan dan Pemenuhan Hak Anak

SEJAK Muhammadiyah didirikan Kiai Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912 sampai dengan sekarang, kesejahteraan sosial anak menjadi menu pelayanan sosial prioritas yang diupayakan Muhammadiyah. Konsolidasi organisasi pun terus dilakukan, dengan memobilisasi seluruh potensi agar sebaran lokasi unit pelayanan tidak terkonsentrasi di satu titik, tetapi menyebar secara merata di seluruh Indonesia. Muhammadiyah meyakini memajukan kesejahteraan umum harus satu paket dengan memajukan kesejahteraan anak. Kesejahteraan masyarakat mustahil terwujud apabila anak tidak sejahtera.

Dalam buku Cerita tentang Kiai Ahmad Dahlan, Catatan Haji Muhammad Syudja’ (2018) disebutkan, bahwa fase awal Muhammadiyah menggagas upaya memajukan kesejahteraan anak, 17 Juni 1920, melalui Rapat Anggota Istimewa Muhammadiyah. Agenda rapat menyusun unsur Pembantu Pimpinan Persyarikatan, Bagian Sekolahan, Bagian Taman Pustaka, Bagian Penolong Kesengsaraan Umum, dan Bagian Tabligh.

Dalam rapat, Syudja’ menawarkan program pertolongan kesengsaraan umum melalui trio rumah pertolongan: rumah yatim, rumah miskin, dan rumah sakit. Bukannya dukungan, yang didapatkan Syudja’ malah tertawaan. Dalam pandangan peserta rapat, trio rumah pertolongan bukan tanggung jawab Muhammadiyah, melainkan tanggung jawab pemerintah. “Itu, kan, pekerjaan pemerintah, apakah Muhammadiyah akan menjadi pemerintah?”

Namun, Syudja’ terus meyakinkan bahwa berdasarkan Kaidah Muhammadiyah Bagian Penolong Kesengsaraan Umum, Rumah Yatim Muhammadiyah merupakan layanan pengasuhan anak berbasis institusi, yang diperuntukkan anak yatim telantar. Akses layanan yang diberikan berupa layanan pendidikan, layanan keagamaan, dan layanan kecakapan hidup. Meski program trio rumah pertolongan dikelola berdasarkan asas Islam, seluruh program bisa dinikmati semua orang, termasuk anak, tanpa memandang latar belakang agama dan kebangsaan.

Setelah usul program itu disetujui, Syudja’ ditetapkan sebagai Ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Umum yang bertugas melakukan uji coba pelaksanaan program layanan. Karena bagian itu berstatus uji coba, fokus merawat dan mengasuh anak telantar hanya untuk anak yang berdomisili di sekitar Yogyakarta.

Dalam rangka peningkatan kualitas layanan, pada 1927, Bagian PKO menggagas pembentukan Komite Pendirian Rumah Yatim Muhammadiyah. Pembentukan terekam dalam Berita Muhammadiyah Hindia Timur Tahun 1927, yang diterbitkan Hoofdbestuur Muhammadiyah: “…Sehingga dari antara Bestuur bersiap mengadakan Comite Pendirian Roemah Jatim. Hal ini, dalam verslag 1928 akan kami landjoetkan, insja Allahoe ta’ala”.

Ghifari Yuristiadhi dalam Filantropi Masyarakat Perkotaan, Transformasi Kedermawanan Muhammadiyah di Yogyakarta, 1921-1931 (2020) mengisahkan perjuangan Muhammadiyah mengupayakan bangunan yang representatif dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal terhadap anak. Pada 5 Oktober 1931, gedung Rumah Yatim Muhammadiyah diresmikan Muhammadiyah dan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Muhammadiyah sanggup dan ingin merawat 75 anak asuh. Namun, niat tersebut tidak terealisasi karena pemerintah membuat kebijakan, jumlah maksimal anak yang bisa dilayani 50 anak asuh. Lokasi gedung di Kampung Lowanu, Toengkak, Yogyakarta.

Kini rumah yatim tersebut bernama Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Yatim Putra Muhammadiyah Yogyakarta. Gedung rumah yatim dilengkapi dengan fasilitas, taman, masjid, kamar tidur, ruang makan, dapur, ruang kesehatan, dan kamar mandi. Juga tersedia lahan perkebunan yang diperuntukkan anak asuh belajar tentang hortikultura.

Setelah 30 tahun lebih digagas, muncul wacana mengubah nomenklatur rumah yatim. Perubahan nomenklatur dikaji pada Muktamar Ke-33 di Palembang, 24-29 Juli 1956. Alasan dilakukan perubahan ialah menyesuaikan kebijakan Kementerian Sosial. Muktamar Ke-34 di Yogyakarta, 18-23 November 1959 mengesahkan perubahan nomenklatur Rumah Yatim Muhammadiyah menjadi Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah.

MI/Seno

 

Dasar filosofis-teologis

Seluruh program pertolongan ‘kesenggsaraan oemoem’ yang digagas Syudja’ sekarang menjadi layanan amal usaha Muhammadiyah Bidang Pelayanan Sosial. Layanan itu merupakan hasil pembelajaran sekaligus bentuk aktualisasi dari tafsir surah Al-Ma’un yang diwariskan Kiai Dahlan. Doktrin pendusta agama melahirkan etos berlomba dalam kebaikan, bisa diinternalisasikan tidak hanya pada ranah personal (pengurus dan anggota), tetapi juga telah menjadi doktrin secara kelembagaan.

Keberhasilan Kiai Dahlan mewariskan teologi pendusta agama berawal dari dialog antara Ahmad Dahlan dan Syudja’ ketika dilaksanakan pengajian membahas tafsir Al-Ma’un. Karena merasa telah hafal surah Al-Ma’un, Syudja’ menginterupsi Kiai Dahlan yang direspons dengan mengajukan pertanyaan, apakah sudah diamalkan? Syudja’ menjawab, surah Al-Ma’un telah dijadikan bacaan ketika salat. Karena tidak puas dengan jawaban Syudja’, Kiai Dahlan mengatakan mengamalkan bukan hanya dibacakan dalam salat, tetapi juga harus dipraktikkan dengan amalan nyata terhadap orang yang mengalami kesulitan mengakses hak atas kesejahteraan. Caranya, mencari orang yang belum sejahtera, berikan makan dan pakaian, alat mandi, jika perlu ajak tinggal di rumah (Junus Salam, 1968).

Tafsir Al-Ma’un bagi Muhammadiyah ialah penjabaran visi Islam berkemajuan. Islam tidak hanya mengatur relasi personal antara mahluk dan khalik (relasi privat), tetapi mengatur pula relasi manusia dengan masalah kemanusiaan (relasi publik). Antara keagamaan dan kemanusiaan harus berjalan secara seimbang. Melalui tafsir Al-Ma’un, Muhammadiyah memobilisasi seluruh sumber daya yang dimiliki agar bermanfaat dan bisa dimanfaatkan siapa pun yang mengalami kendala mengakses layanan hak atas kebutuhan dasar.

 

Tajdid program dan amal usaha 

Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak. Bisa dikatakan, UU itu merupakan manifestasi visi Kiai Dahlan tentang bagaimana memberikan hak-hak anak secara proporsional. Bagaimana cara hak anak dipenuhi, apa saja peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam menegakkan hak anak. Salah satu hak yang melekat pada setiap anak ialah memiliki hak untuk diasuh orangtua kandung.

Agar hak tersebut bisa dipenuhi, tanggung jawab pengasuhan anak berada di pundak orangtua. Hak anak untuk diasuh orangtua dan tanggung jawab orangtua mengasuh anak bisa beralih apabila anak berpotensi telantar yang disebabkan orangtua karena alasan tertentu tidak bisa memberikan pengasuhan yang maksimal.

Seluruh ketentuan yang diatur UU Perlindungan Anak telah diantisipasi dan menjadi kebijakan strategis Muhammadiyah. Dalam konteks pengasuhan anak berbasis keluarga, Muhammadiyah sudah secara resmi mengubah layanan pengasuhan anak. Tidak lagi memprioritaskan layanan pengasuhan anak melalui rumah yatim (dalam panti), tetapi lebih memprioritas anak diasuh di dalam keluarga melalui keluarga pengganti (luar panti).

Yang dimaksud dengan keluarga pengganti ialah keluarga yang berasal dari keluarga Muhammadiyah (pimpinan dan anggota). Pada masa kini, kebijakan reformasi pengasuhan yang dirumuskan pada 1961 disebut pengasuhan oleh orangtua asuh. Karena tidak lagi memprioritaskan pengasuhan anak dalam panti, semua panti asuhan Muhammadiyah memiliki kewajiban sesegera mungkin merujuk anak kepada layanan pengasuhan berbasis keluarga. Fungsi panti asuhan lebih pada layanan yang bersifat darurat sehingga anak tidak berlama-lama tinggal di panti asuhan.

Layanan yang mempertahankan agar anak tetap diasuh orangtua kandung atau keluarga biologis difasilitasi Muhammadiyah melalui layanan santunan keluarga. Seluruh kebutuhan anak disubsidi Muhammadiyah. Untuk orangtua anak, selain difasilitasi akses sumber daya ekonomi, difasilitas kegiatan yang menumbuhkan kesadaran orangtua terkait dengan tanggung jawab mengasuh anak dan peningkatan kapasitas orangtua dalam mengasuh anak.

Konsep dasar layanan santunan (asistensi) keluarga dan kesulitan mengakses layanan kebutuhan dasar jangan dijadikan alasan orangtua memisahkan anak dengan keluarga dengan cara memasukkan anak ke panti asuhan. Melalui program perlindungan anak, keluarga besar Muhammadiyah harus mengubah cara pandang bahwa pengasuhan anak di Muhammadiyah tidak identik dan hanya melalui panti asuhan. Pimpinan cabang dan ranting diharapkan menjadi penggerak layanan pengasuhan anak di dalam keluarga melalui santunan keluarga dan asuhan keluarga.

Majelis PKU, antara 1961-1970-an, menguraikan alasan teknis dan nonteknis mengapa lebih mengutamakan layanan pengasuhan di luar panti ketimbang di dalam panti. Pertama, panti asuhan tidak maksimal dalam memberikan perhatian dan kasih sayang. Hal itu disebabkan jumlah rasio antara pengasuh dan anak asuh tidak seimbang.

Kedua, kelekatan antara anak dan orangtua serta keluarga besarnya akan tergerus ketika anak diasuh dan terlalu lama tinggal di panti asuhan. Ketiga, dari sisi anggaran, layanan santunan keluarga dan asuhan keluarga lebih efisien karena tidak dibebani dengan anggaran pembangunan dan perawatan gedung.

Upaya memperkuat layanan asuhan keluarga dilakukan dengan memperluas definisi keluarga asuh atau orangtua asuh. Jikalau 1961-1970-an definisi keluarga pengganti atau orangtua asuh hanya berasal dari keluarga Muhammadiyah, sekarang diperluas menjadi keluarga pengganti atau keluarga asuh dari keluarga muslim.

Sasaran usaha perlindungan anak-anak oleh Muhammadiyah Majelis PKU di Indonesia meliputi semua golongan yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Anak yatim, anak telantar, termasuk anak-anak dari orangtua bekas anggota G-30-S/PKI. Dasar kebijakan itu diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo 1969.

Keputusan Sidang Tanwir merupakan cerminan sikap Muhammadiyah yang ingin mewujudkan rekonsiliasi. Mantan anggota PKI beserta keluarga mereka bukanlah kelompok yang harus dipukul, tetapi harus dirangkul. Dalam konteks prinsip nondiskriminasi, konflik politik jangan mengorbankan anak. Hak anak harus tetap dipenuhi dan dilindungi tanpa memandang latar belakang ideologi orangtua anak. Jangan mendiskriminasikan anak dengan memberikan label tertentu karena faktor ideologi orangtua anak.

Muktamar Ke-40, 24-30 Juni 1978 di Surabaya, menetapkan program masyarakat dan keluarga sejahtera sebagai program prioritas. Untuk merealisasikannya dirumuskan pula ciri keluarga sejahtera. Salah satu rumusannya ialah fungsi keluarga. Orangtua menjadikan keluarga sebagai fungsi melatih anak agar berani mengutarakan pendapatnya.

Jika pemerintah memfasilitasi penghargaan terhadap pendapat anak, melalui pembentukan Forum Anak yang dilegalkan melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019, di Muhammadiyah, penghargaan terhadap pendapat anak diimplementasikan PP Muhammadiyah melalui pengesahan pendirian Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) pada 1961.

Basis massa (anggota) IPM ialah anak usia sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Melalui IPM, anak yang bersekolah di sekolah Muhammadiyah difasilitasi hak untuk menjadi pemimpin dan hak memilih pemimpin yang berasal dari teman sebaya. Keberadaan IPM di Muhammadiyah merupakan cerminan hak setiap anak untuk berpartispasi, berkreasi, dan berserikat. Di Muhammadiyah, hak-hak anak ditampung dan diberi ruang secara proporsional untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki mereka.


Sumber: mediaindonesia.com