Indeks
MICE  

Tiga Tahun Implementasi Dokumen Abu Dhabi, Sebuah Refleksi

SEJUMLAH tokoh agama dan kepercayaan di Indonesia menggelar diskusi terkait kelanjutan implementasi dokumen Abu Dhabi (dokumen persaudaraan manusia) yang pada 4 Februari 2019 ditandatangani oleh dua tokoh besar dunia, yakni Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb.

Pada bagian isi dokumen tersebut disampaikan bahwa Al-Azhar al-Sharif dan umat Muslim dari Timur dan Barat bersama-sama dengan Gereja Katolik dan umat Katolik Timur dan Barat menyatakan menerima budaya dialog sebagai jalan kerja sama timbal balik sebagai kode etik, saling pengertian sebagai metode dan kriteria.

Disebutkan juga bahwa agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah. Kami menyerukan kepada semua pihak untuk berhenti menggunakan agama untuk menghasut (orang) kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan untuk menahan diri dari menggunakan nama Allah untuk mem-benarkan tindakan pembunuhan, peng-asingan, terorisme, dan penindasan.

“Pertemuan persaudaraan saat itu (Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb) membawa pesan bahwa hati suci karena dekat dengan Allah yang diimaninya, membuat orang yang berbeda bisa bersaudara satu sama lain sekalipun situasi dan kondisinya dipisahkan oleh manusia sendiri,” kata Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Antonius Subianto Bunjamin pada Seminar Nasional dengan tema ”Menghidupkan Dokumen Abu Dhabi di Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, Jakarta, Rabu (25/1).

Diskusi ini dilakukan sebagai refleksi implementasi dokumen Abu Dhabi, untuk lebih merekatkan tali silaturahmi dengan para tokoh agama dan memikirkan bersama masa depan bangsa Indonesia.

Untuk menggaungkan persaudaraan itu, PBB mengumumkan sejak tahun 2021, 4 Februari menjadi hari internasional untuk hari persaudaraan dunia. “Yang mendorong gerakan kepedulian dan menghilangkan virus ketidakpedulian,” tambahnya.

Antonius juga menyampaikan Hari Internasional untuk persaudaraan manusia juga adalah tanda bangkitnya kesadaran akan perbedaan budaya dan agama serta bangkitnya gerakan melalui pendidikan toleransi dengan menerima dan menghormati perbedaan budaya, agama dan kepercayaan sebagai rahmat.

Toleransi ke kolaborasi

Anggota Majelis Hukama Muslimin TGB HM Zainul Majdi menyampaikan dokumen Abu Dhabi menekankan hubungan kemanusiaan dari toleransi kepada kolaborasi. Dokumen ini disepakati Grand Syeikh Al Azhar dan Paus di Vatikan. “Penekanan dari dokumen ini dari toleransi kepada kolaborasi,” kata dia.

TGB meminta ke depan anak muda harus banyak mengisi peran dalam urusan kebangsaan dan membangun kerja sama konkrit tentang kemanusiaan, kemiskinan perempuan dan anak. Sehingga yang dilibatkan bukan hanya tokoh agama saja.

“Para tokoh ini sudah bersahabat. Perlu anak mudah sebagai pembentuk bangsa ini ke depan,” tandasnya.

Jauh sebelum muncul kesepakatan Abu Dhabi, khatib Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abu Yazid Al-Busthami mengingatkan bahwa Pancasila adalah pilar persaudaraan manusia yang sudah dimiliki Indonesia.

Pancasila, imbuhnya, telah menjadi landasan yang bisa diterima di seluruh umat manusia yang ada di Indonesia. Landasan ini harus diwujudkan dalam bentuk keteladanan dan contoh yang diharapkan dapat menginspirasi dunia.

“Para Kiai kami di NU itu mengajarkan, kebhinekaan, perbedaan itu bukan suatu hal yang harus diperdebatkan. Dalam istilah Al-Qur’an andai Allah itu mau, sebetulnya mau dan bisa melakukan upaya untuk membuat umat manusia tidak ada perbedaan. Tetapi Tuhan tidak mau. Tuhan tidak berkehendak. Ini ditegaskan di Al-Qur’an. Kebhinekaan ini adalah suatu hal yang tidak bisa ditolak. Ini adalah fitrah dari Tuhan. Itu dalam istilah kiai kami, yang sama jangan sampai dibedakan, yang berbeda jangan sampai disamakan,” imbuhnya. (H-2)

 


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version