MICE  

Tantangan Internasionalisasi Muhammadiyah Pascamuktamar

INTERNASIONALISASI Muhammadiyah menjadi salah satu agenda penting dalam Muktamar Ke-48 Muhammadiyah-‘Aisyiyah, 18-20 November 2022, di Surakarta, Jawa Tengah. Lantas bagaimana implementasinya lebih lanjut pascamuktamar?

Agenda ini sesungguhnya tidak berangkat dari ruang vakum. Setidaknya konteks perkembangan geopolitik global turut merwarnai. Pertama, tantangan dunia Islam bagaimana merespons citra Islam diidentikkan dengan terorisme dan fundamentalisme pascaperistiwa 9/11 serta kebijakan War on Terror yang didengungkan oleh Presiden Amerika Serikat saat itu.

Tesis Huntington mengenai terjadinya the clash of civilization konflik antara Islam dan Barat seolah memperoleh pembenaran. Walaupun, faktanya yang terjadi ialah benturan antarkelompok ekstrem yang berada di kelompok masing-masing. Tantangan lainnya ialah situasi dunia Islam yang masih mengalami opresi dan konflik di berbagai negara, seperti di Rohingya, Palestina, hingga Uighur.

Kedua, konteks global di atas menjadi tantangan bagi umat Islam untuk turut serta memberi solusi dan jawaban atas berbagai masalah global, seperti fundamentalisme dan ekstremisme berbasis kekerasan serta ketidakadilan global, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan hidup.

Seiring dengan semakin masifnya globalisasi, kontestasi wacana dan gagasan antarperadaban juga semakin intens. Peran dan kontribusi umat Islam Indonesia, negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, sangat ditunggu.

Muhammadiyah sebagai poros gerakan Islam wasatiah yang menampilkan Islam sebagai agama kosmopolitan yang menjadi rahmat bagi semesta tidak terhindarkan lagi. Amanat dan tanggung jawab untuk ‘menjadi saksi atas manusia’ di tengah peradaban global adalah tugas kesejarahan yang mesti dilakoni dengan tampil berinteraksi dan berkarya mendukung solidaritas kemanusiaan dan kesejahteraan umat manusia.

Gagasan internasionalisasi Muhammadiyah adalah bentuk tanggung jawab Muhammadiyah sebagai bagian warga dan komunitas global untuk turut menjadi gerakan yang memberi pencerahan, juga menampilkan Islam sebagai agama kosmopolit yang membawa perubahan dan perbaikan peradaban alih-alih merusak, membawa kesejahteraan bersama alih-alih ketimpangan dan kesenjangan yang menyengsarakan kaum lemah, serta menciptakan solidaritas kemanusiaan dan perdamaian bersama alih-alih perang dan kekerasan.

 

Genealogi internasionalisasi Muhammadiyah

Ide internasionalisasi Muhammadiyah telah lama menjadi topik bahasan dalam dinamika gerakan organisasi ini. Namun, sejak kapan proses internasionalisasi Muhammadiyah dimulai? Siapa aktor utama dalam gerakan internasionalisasi Muhammadiyah? Bagaimana tantangan dan dinamika gerakan internasionalisasi Muhammadiyah di tengah dunia yang terdisrupsi dan berkembangnya islamofobia di negara-negara maju.

Menurut hemat penulis, ketika Kiai Ahmad Dahlan mendorong seorang putranya dan murid-muridnya untuk menuntut ilmu di anak benua India, gong internasionalisasi Muhammadiyah telah dimulai. Ketika Muhammadiyah mulai melebarkan sayapnya ke mancanegara (di luar nagari Ngayogyakarta), maka proses ‘internasionalisasi’sudah tertanam kuat dalam kesadaran internal Muhammadiyah sejak kelahirannya (Nashir, 2022). Bahwa secara resmi, gagasan tersebut menjadi rencana strategis organisasi pada Muktamar 2010 di Yogyakarta. Dan, diperkuat pada Muktamar 2015 di Makassar, hanya mengaksentuasi sayap gerakan Muhammadiyah di dunia internasional.

Peran-peran organisasi keagamaan di dunia internasional sesungguhnya konsekuensi logis dari kehadiran peran-peran mereka di ranah domestik. Selain struktur organisasi yang merentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, program dakwah Muhammadiyah tersebar di berbagai bidang, melayani dan membantu masyarakat tanpa pandang bulu.

Dari pendidikan di komunitas adat terpencil hingga di tengah kota, dari pemberdayaan ekonomi perempuan dan kaum ekonomi lemah hingga layanan kesehatan yang melayani tanpa sekat agama apatah lagi sekadar tanpa sekat suku dan etnisitas, kerja humanitarian di berbagai daerah bencana dan pendampingan selama pandemi covid-19 hingga peran diplomasi di dunia internasional melalui keterlibatan pimpinan ataupun organisasi di berbagai forum dan kerja sama internasional. Kesemua peran nyata dan amaliah yang menjadi natur dan karakteristik Muhammadiyah tersebut, secara natural mendorong adanya leverage pada ranah internasional.

Peran Muhammadiyah di dunia internasional tidak lepas dari pandangan keagamaan Muhammadiyah yang wasatiyyat-berkemajuan. Merujuk pada fenomena global, terutama pascaperistiwa 9/11, maraknya islamofobia dan fundamentalime-ekstremisme global, Muhammadiyah mesti tampil ke depan untuk membawa narasi dan risalah Islam sebagai agama peradaban bagi semesta yang mendasarkan pada sains dan pendidikan. Kehadiran diaspora Muhammadiyah dan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pimpinan Cabang Istimewa ‘Aisyiyah (PCIA) membawa misi penting Muhammadiyah di mancanegara.

Pandangan keagamaan ini perlu terus dilakukan dalam berbagai pertemuan dan kunjungan para tokoh dan kader Muhammadiyah di mancanegara. Di masa silam, kader Muhammadiyah yang kemudian menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah, Lukman Harun, merupakan sosok yang aktif dan peduli dengan perjuangan umat Islam di berbagai negara. Dalam berbagai kunjungan ke mancanegara, walaupun dalam acara yang berbeda, beliau selalu menyempatkan untuk bersilaturahim dan berkunjung ke komunitas dan pemimpin muslim di negara setempat.

Beliau berkawan karib dengan pejuang Palestina Yasser Arafat dan para pemimpin di negara lain. Sejak lama, perjalanan dan kunjungannya ke banyak negara di seluruh dunia dituliskan dan dipublikasi di berbagai media seperti Suara Muhammadiyah, Panjimas, Kiblat, dan Pelita. Kumpulan tulisan ini kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Penebit Pustaka Panjimas dengan judul Potret Dunia Islam (1985).

Demikian pula peran-peran yang dilakukan oleh banyak tokoh Muhammadiyah seperti Habib Chirzin, Prof Amien Rais, KH Azhar Basyir, Buya Syafii Maarif, Prof Din Syamsuddin, Prof Haedar Nashir, Prof Syafiq A Mughni, Prof Abdul Mu’ti, dan almarhum Prof Bahtiar Effendy. Kesemuanya merupakan diplomat jalur kedua (track two diplomacy)—jalur diplomasi people to people atau non-state actor)—yang menjalankan peran diplomasi internasional bagi Muhammadiyah dan bangsa Indonesia secara lebih luas. Demikian pula dr Sudibyo Markus, Rachmawati Husen PhD, hingga Prof Ruhaini Dzuhayatin.

Peran Muhammadiyah sebagai aktor non-negara sesungguhnya relevan dengan pandangan English School dan juga Constructivism dalam ranah teori hubungan internasional. Teori ini berpandangan bahwa kekuatan ide atau gagasan berperan penting dalam menciptakan tata hubungan dunia yang aman, damai, dan sejahtera.

Berbeda dengan pandangan dominan dalam hubungan internasional, yakni realis yang semata melihat kontestasi kekuasaan negara dan persaingan yang terjadi di dalamnya semata yang berperan dalam tata dunia global. Kehadiran Muhammadiyah dalam ECOSOC di Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan salah satu upaya Muhammadiyah berkontribusi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang menjadi perhatian dan fokus Muhammadiyah.

MI/Seno

 

Tantangan ke depan

Gagasan internasionalisasi Muhammadiyah tidak dapat bertumpu pada slogan semata. Namun, sungguh-sungguh membawa misi mulia tidak saja dalam pandangan Muhammadiyah, tapi juga pandangan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu, tentu peran penting kader-kader, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah sangat penting dalam mewujudkan hal demikian. Salah satu yang penting ialah kehadiran PCIM/PCIA.

Revitalisasi PCIM/PCIA perlu dilakukan untuk mempercepat peran-peran internasional Muhammmadiyah dalam rangka syiar. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun komunikasi dan kolaborasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) (sebanyak 131 perwakilan) setempat dalam melakukan kegiatan dan program. Selain itu, untuk mempersamakan persepsi terkait kondisi negara setempat serta memaksimalkan sumber daya yang terbatas di negara setempat agar program-program dapat bersinergi dan berkolaborasi.

Selain menjadi ujung tombak dakwah gerakan Muhammadiyah di negara setempat, mereka juga menjadi duta bangsa yang dapat tampil ke depan menyuarakan pandangan keagamaan Muhammadiyah yang membawa rahmat bagi semesta (rahmatan lil’alamin). Terlebih, di tengah kebangkitan nasionalis sayap kanan dan islamofobia, tidak bisa tidak, peran kader Muhammadiyah di mancanegara teramat penting untuk bisa mendudukkan perkara Islam sebagai agama rahmat dan peran Muhammadiyah dalam memajukan peradaban.

Di samping itu, strategi kultural melalui pendidikan dan kebudayaan dapat menjadi strategi yang efektif. Di PCIM Mesir, selain mendirikan TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal serta sekolah dasar, mereka juga mendirikan Tapak Suci Putra Muhammadiyah. Tidak kurang 3.000 anggota Tapak Suci yang umumnya ialah warga Mesir aktif mengikuti latihan seni bela diri. Demikian pula di Libanon dan Tunisia, kebanyakan anggota Tapak Suci ialah warga setempat. Selain Tapak Suci, di Libanon juga didirikan sekolah untuk pengungsi Palestina dengan bantuan Lazismu.

Di bidang pendidikan, pendirian Muhammadiyah Australian College (MAC)—sekolah dasar (primary school) Muhammadiyah di Negara Bagian Victoria, Australia, menambah amal usaha Muhammadiyah dan memperkuat peran internasionalisasi gerakan organisasi ini. Mayoritas anak didik di sekolah tersebut ialah warga setempat (WN Australia), dan permanent resident (PR) yang telah lama bermukim di Australia. Pendirian sekolah menjadi ujung tombak dari cita-cita Muhammadiyah mendirikan pusat-pusat keunggulan sebagaimana program strategis kepemimpinan Muhammadiyah periode ini.

Hal ini menjadi menarik ketika pemerintah membuka kesempatan universitas luar negeri membuka cabang atau perwakilan kampusnya di Tanah Air, sementara Muhammadiyah melakukan arus balik membangun sekolah di mancanegara. Selain sekolah, di Malaysia pun didirikan Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMMAM). Pendirian pusat-pusat keunggulan juga dilakukan di Kairo, Mesir, kemudian di Taiwan. Terakhir, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mencanangkan membuka perwakilan kampus di Busan, Korea Selatan.

Berdirinya amal usaha Muhammadiyah yang baru ini tentu menjadi preseden baru mengingat belum pernah ada amal usaha Muhammadiyah berdiri di luar negeri. Persyarikatan memerlukan ijtihad organisasi mengingat pendirian sekolah, universitas, atau pusat kegiatan lain memerlukan prasyarat dan izin tersendiri berupa adanya badan hukum/legal sesuai aturan pemerintah setempat. Bagaimana persyarikatan mengatur mengenai hal ini? Bukankah selama ini segala amal usaha Muhammadiyah atas nama Muhammadiyah sebagai satu-satunya pemilik? Hal yang mendasari tertibnya organisasi. Peraturan dan kebijakan dari tiap-tiap negara yang berbeda tidak menghalangi PCIM negara setempat untuk mendirikan amal usaha berbadan hukum.

Selain pendirian PCIM dan Amal Usaha Muhammadiyah, penguatan forum-forum dialog dan perdamaian merupakan event penting yang bertujuan mendorong transformasi peran agama-agama dalam mengatasi permasalahan dunia akibat hilangnya nilai-nilai spiritual dalam tata kelola dunia secara global. Adanya pertemuan dan pertautan antaragama serta tokoh-tokohnya membuka peluang dialog yang jujur dari hati ke hati antarsesama, dan tidak hanya selesai setelah adanya deklarasi atau message-message di akhir acara.

Rencana tindak lanjut agama-agama dalam mengatasi kemiskinan, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan sudah sangat mendesak. Muhammadiyah turut menginisiasi adanya forum-forum seperti Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum) yang tahun ini memasuki tahun ke-8. Forum tersebut merupakan forum perjumpaan para tokoh, aktivis, akademisi, dan pemerhati perdamaian global untuk melakukan kolaborasi dalam mencari titik temu dan solusi mengatasi problem global.

Program penanggulangan bencana dan kemanusiaan merupakan program lain yang perlu terus diperkuat. Keterlibatan MDMC di bebagai daerah di Tanah Air dan juga di mancanegara (gempa Kashmir, Pakistan, dan lainnya) menunjukkan tekad solidaritas kemanusiaan global Muhammadiyah yang terus berlangsung. Selain itu, program kemanusiaan Muhammadiyah Aid di Palestina, Rohingya, hingga di Mindanao perlu keberlanjutan dan diperkuat secara kelembagaan.

Intensifikasi peran kemanusiaan Muhammadiyah di forum internasional memerlukan kolaborasi lebih luas lagi antarmajelis, lembaga, amal usaha, dan bahkan pimpinan Muhammadiyah di tingkat provinsi atau daerah. Peran Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional adalah menghubungkan beberapa pemangku kepentingan ini agar program-program yang telah dilakukan selama ini dapat lebih memberi manfaat.

Seiring dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan di tingkat global, perlu pendirian lembaga yang fokus pada upaya peacebuilding dan pengembangan peace studies. Ke depan, bukan tidak mungkin akan adanya peran peace keeping dengan melibatkan Kokam atau Tapak Suci. Isu-isu baru yang muncul belakangan, seperti perubahan iklim dan energi terbarukan, memerlukan pendekatan dan formula baru untuk turut serta dalam merumuskan dan memecahkan problem bersama tersebut.

Publikasi internasional mengenai paham keagamaan Muhammadiyah sangat strategis mengingat belum masifnya sosialisasi mengenai paham agama Muhammadiyah dan perlunya Muhammadiyah menunjukkan jati diri sebagai organisasi Islam yang turut serta memecahkan masalah global melalui upaya membangun peradaban, juga menampilkan kosmopolitanisme Islam. Peran media, baik cetak maupun daring yang berbahasa asing (terutama bahasa Inggris dan Arab), menjadi salah satu prasyarat utama dalam mendukung upaya sosialisasi ini.

Ala kulli hal, laju dakwah Muhammadiyah di ranah internasional perlu dukungan sistem yang komprehensif alih-alih bergantung pada individu. Keterlibatan dan kolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (dan perwakilan-perwakilannya di seluruh dunia), organisasi Islam internasional (OIC), mitra-mitra lembaga humanitarian di tingkat global, serta kolaborasi pimpinan, majelis/lembaga, dan amal usaha Muhammadiyah seperti PTM/PTA dan pusat-pusat studi tidak terhindarkan di tengah tantangan dunia yang semakin kompleks. Wallahu a’lam.


Sumber: mediaindonesia.com