Indeks
MICE  

Sepeda dan Ruang Kota

DI sejumlah ruas jalan di kota besar seperti Jakarta, kita mungkin sering melihat orang bersepeda. Bagi sebagian orang, sarana transportasi yang katanya ramah lingkungan itu, kini jadi alat mobilitas sehari-hari, termasuk pulang dan pergi ke kantor. Istilah kerennya bike to work.

Mereka, para pengguna sepeda itu, umumnya golongan menengah atas. Bukan seperti zaman baheula, yang umumnya kalangan menengah bawah. Sepeda yang mereka gunakan pun bukan lagi sepeda ontel (kumbang), melainkan merek-merek terkenal yang harganya berkisar di antara dua juta hingga ratusan juta rupiah.

Di jalanan Jakarta yang terkenal macet itu, para pengayuh ‘kereta angin’ tersebut mesti bertarung dengan pengguna jalan lainnya. Selain dengan pengendara mobil dan motor, mereka harus berebut ruang dengan pejalan kaki yang kadang seenak udelnya menyeberang. Bukan hanya itu, mereka juga mesti bersaing dengan sesama pengguna sepeda lainnya.

Maklum, banyak jenis sepeda yang berkeliaran di Jakarta, mulai sepeda lipat, sepeda gunung, BMX, sepeda balap (road bike), hingga sepeda ontel yang dikendarai tukang kopi keliling dan tukang siomai, dua profesi yang betul-betul menjadikan sarana transportasi tersebut sebagai aset. Saya bahkan menyebutnya the real bike to work.

Meski di beberapa ruas jalan kini disediakan jalur khusus sepeda, hal itu kerap mengundang polemik. Jenis sepeda apa yang berhak melintas di jalur itu? Lalu, apa sanksinya jika ada yang melanggar? Beberapa hari yang lalu Ditlantas Polda Metro Jaya menegur rombongan pesepeda road bike yang ngebut di luar jalur sepeda yang telah disediakan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, saat jam kerja atau di atas pukul 06.00 WIB.

Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman mengatakan teguran itu dilakukan karena mereka melintas di luar jalur khusus sepeda. Hal itu, katanya, membahayakan dan mengganggu pengendara kendaraan bermotor lain di jalan protokol.

“Fenomena pesepeda yang olahraga pagi hari pada jam kerja 06.00 setiap Senin sampai Jumat itu cukup mengganggu atau membahayakan aktivitas masyarakat yang akan berangkat bekerja,” kata Latif saat dikonfirmasi CNN, Selasa (6/12). Mengutip data Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, sepanjang Januari hingga Juni 2020, terdapat 29 peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pesepeda. Dari sejumlah peristiwa itu, di antaranya mengakibatkan 17 orang meninggal dunia. Selama pandemi covid-19, kata lembaga itu, angka kecelakaan yang melibatkan pesepeda naik 10 kali lipat.

Kalau sudah begini, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Membongkar jalur khusus sepeda yang sudah dibangun Pemprov DKI hingga menelan biaya miliaran rupiah, jelas bukan solusi. Jalur itu dibuat justru untuk melindungi pesepeda. Dalam konteks budaya urban, sepeda memang telah mengalami revaluasi simbolis. Alat rekreasi dan olahraga yang sekaligus jadi sarana transportasi itu, kini semakin diminati banyak kaum urban dan kian eksklusif. Wajar jika kehadiran moda transportasi tersebut telah mengundang perhatian para akademisi, media, dan ahli tata kota.

Selama abad ke-20, kota umumnya memang didesain untuk mengakomodasi kehadiran mobil yang kala itu tengah booming. Mungkin yang perlu dilakukan lebih jauh lagi ialah menata ulang, baik regulasi (termasuk sanksi) maupun infrastruktur penunjang. Bagaimana mengubah jalan yang semula dirancang hanya untuk mobil, menjadi jalan yang juga aman untuk bersepeda. Itu tentu menjadi tugas para ahli tata kota. Pemprov DKI mungkin bisa melakukan studi banding ke negara-negara yang telah maju dalam menata transportasi, khususnya yang ramah untuk pesepeda, seperti Denmark dan Belanda.

Mereka juga mungkin bisa membuka lagi lembaran arsip lama bagaimana pemerintah kolonial Belanda, yang notabene memperkenalkan sepeda di negeri ini, mengatur penggunaan moda transportasi tersebut. Sepeda ialah teknologi yang lahir dari peradaban manusia. Sebagai bangsa yang mengaku beradab, kita tentunya juga harus mau terus belajar, termasuk dari bangsa lain. Bagaimana memanfaatkan teknologi tersebut, baik di masa lalu, kini, maupun nanti. Jangan sekadar jadi konsumen, tanpa tahu manfaat dan mudarat dari kehadiran teknologi tersebut. Wasalam.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version