MICE  

Sektor Investasi Bawa Keluaran Positif dalam Presidensi G20 Indonesia

MENTERI Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengungkapkan, Presidensi G20 Indonesia telah berhasil membawa keluaran yang cukup positif di sektor investasi.

Setidaknya ada 5 keluaran yang berhasil disepakati oleh negara anggota G20 di sektor penanaman modal. Pertama, adanya dukungan pada upaya hilirisasi dari negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya alam melimpah.

Negara-negara maju yang mulanya tampak tak setuju dengan upaya hilirisasi komoditas SDA menjadi luluh dan dapat memahami keinginan para negara produsen hasil bumi itu.

“Itu diawalnya belum mengakui konsep hilirisasi, mereka itu tidak mau. Kita berjuang betul dengan negara  berkembang G20 yang memiliki SDA sangat bagus. Tapi sebagian negara maju itu ingin kita tetap ekspo barang mentah. Sekarang sepaham bahwa negara berkembang diberikan ruang hilirisasi beroritentasi niali tambah,” ungkap Bahlil dalam media gathering di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11).

Kedua, adanya kesepakatan untuk mendorong investasi yang berkualitas. Dalam arti, investasi yang masuk harus dapat memberi manfaat bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, serta masyarakat setempat, alih-alih keuntungannya hanya dinikmati si pemilik modal.

Ketiga, negara-negara anggota G20 juga sepakat untuk mendorong percepatan kemudahan berinvestasi, utamanya dari sisi regulasi. Dalam konteks ini, kata Bahlil, Indonesia telah melakukan hal itu melalui Undang Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Keempat, adanya kesepakatan untuk melalukan pemerataan arus investasi. Ini menjadi poin yang paling diperdebatkan. Lantaran sejauh ini negara-negara berkembang merasa ada ketidakadilan dengan dalih produk yang dijual bukan bersumber dari energi baru terbarukan.

Karena mayoritas negara berkembang merupakan penghasil energi fosil, berbanding terbalik dengan agenda barat yang menggaungkan energi hijau. Maka produk yang dijual oleh negara berkembang memiliki daya tawar rendah, hingga akhirnya harga menjadi turun.

Karena itu, Presidensi G20 Indonesia menekankan dan menyerukan agar ada pemerataan investasi melalui penanaman modal pada sektor energi baru terbarukan (EBT). Kelima, ialah terkait Bali Compendium yang akan dirilis pada Senin (14/11).

Hanya satu keluaran yang urun mendapatkan kesepakatan, yakni terkait pendanaan dan biaya karbon. Hal ini, kata Bahlil, menjadi poin yang paling sulit ditemui jalan keluarnya. Ini karena pada realitanya harga karbon di negara-negara berkembang terlampau jauh lebih rendah ketimbang negara-negara maju.

Padahal, penyumbang emsisi terbesar justru berasal dari negara-negara maju. “Kami pandang sekarang ini belum adil. Negara maju itu harganya tinggi sekali, negara berkembang awalnya hanya US$10 dan sekarang naik ke US$20-30, tapi itu kami anggap belum adil, kami minta US$50. Karena emisi Indonesia itu masih lebih rendah dibanding yang lainnya. Kita deadlock di sini, tidak mencapai kesepahaman,” pungkasnya. (OL-8)


Sumber: mediaindonesia.com