Indeks
MICE  

Sederajat, Semartabat

KUNJUNGAN tersebut hanya berlangsung singkat. Tidak sampai 3 jam. Namun, para peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka 2022 pulang membawa segudang cerita. Dan tentunya perubahan paradigma.

Ini terjadi pada akhir pekan lalu, tepat pada Hari Disabilitas Internasional yang jatuh setiap 3 Desember. Sebanyak 20 mahasiswa menyambangi Sekolah Luar Biasa Rawinala cabang Dolok Sanggul. Mereka berasal dari berbagai kampus di Tanah Air dan program tersebut dipusatkan di Universitas Sumatera Utara (USU), Kota Medan.

Medan dan Dolok Sanggul terbentang sejauh 279 km. Perjalanan ditempuh lebih dari 12 jam karena rombongan melakukan beberapa kali perhentian. Sore sudah hampir jatuh ketika peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka 2022 tiba di Sekolah Luar Biasa Rawinala cabang Dolok Sanggul.

Wakil Direktur Bidang Penelitan & Pengembangan Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala Pendeta Masriani Sihite menceritakan kunjungan itu kepada saya, Senin (5/12/2022) kemarin. “Saya pikir mereka pasti sudah lelah. Tapi ternyata bagus banget konsentrasi mereka,” kata Masriani.

Sebanyak 20 mahasiswa dan pendamping langsung berinteraksi dengan anak-anak disabilitas. Kegiatan ini menghadirkan pengalaman baru yang tidak terlupakan. Mereka kini memahami bahwa anak-anak disabilitas sejatinya bisa bercanda dan bermain sama seperti orang normal pada umumnya. Para mahasiswa kemudian meletakkan jauh-jauh anggapan bahwa anak-anak tersebut merupakan sosok yang harus dikasihani.

Perubahan paradigma terhadap kaum disabilitas memang sangat diperlukan. Diharapkan kunjungan ke-20 mahasiswa itu bisa bermultiplikasi agar terbentuk masyarakat inklusi terhadap orang-orang dengan disabilitas dan dalam konteks yang lebih luas negara mampu menghadirkan kebijakan yang aksesibel.

Disabilitas ialah kondisi seseorang mengalami hambatan permanen secara fisik maupun intelektual yang menyebabkan dia terhalang untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Penyebabnya adalah lingkungan yang tidak aksesibel. Lingkungan di sini terbagi menjadi dua.

Pertama adalah paradigma atau konstruksi sosial yang melekat terhadap orang-orang disabilitas. Kedua adalah lingkungan dalam konteks pelayanan dan fasilitas umum yang tidak aksesibel.

Penggunaan kata disabilitas juga dirasa lebih tepat karena ada makna yang mendalam, yakni sebuah perjuangan, ikhtiar untuk menggugah banyak pihak, dan advokasi agar hak-hak kelompok disabilitas dipenuhi. Bahwa anak-anak disabilitas sesungguhnya punya potensi tapi jadi terhambat karena lingkungan yang tidak aksesibel.

Lebih dari itu, Peringatan Hari Disabilitas Internasional yang baru saja berlalu diharapkan bisa menghadirkan perubahan paradigma. Bahwa sejatinya kita semua sederajat, semartabat, tidak kurang, tidak lebih. Hanya beda potensi karena disebabkan oleh faktor lingkungan.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version