Ilustrasi: MI/Nasheradio
Manusia
Sambil menarik nafas, ia cabut rumput,
alang-alang kering yang bergoyang ria.
Alunan melodi masih terdengar jelas,
lengan perempuan hangati kepalanya.
Bernapas, bernapas – tak cukup bernapas.
Berlindung ia pada ibu – cuma satu,
pada tanah air – hanya satu-satunya;
tangis, derita, tawa, dan siul berpadu.
Diam di jendela, nyanyi hingga malam tiba,
dan habiskan waktu dalam balutan kasih ibu.
Ruangan
untuk KG Paustovsky
Aku suka ini ruangan,
di mana jeritan terdengar
dalam lengkung kendi hijau.
Aku suka ini ruangan
di mana bidah hidup
setara dengan para dewa.
Bagiku, sesuatu hal hanya persoalan lain
agar kau menemukan makna
angin menyapu asap dan sampah,
di mana harum abad keempat belas
dan abad kedua puluh tajam merasuki
seperdua waktu.
Aku suka ini ruangan
tanpa sandiwara dan perhitungan…
melewati tahun demi tahun
aku suka ini ruangan, yang begitu berarti
mungkin sesuatu di dalamnya,
akan datang tepat pada waktunya.
Hari-hari seperti kartu, bercampur –
kedatangan dan permulaan,
apa yang hidup dan apa yang pudar, –
aku melihat betapa mereka mencemooh,
atau mungkin menatap kami penuh kesedihan.
Aku suka ini ruangan,
ada pantai di dalamnya
dekat di hatiku – jangan lupa…
kau butuh sedikit uang
biar hidup lebih bahagia.
Taman
Tahun empat puluh satu. Kabut dingin.
Prajurit terakhir berangkat ke Taman.
Dan menandatangani vonis mati.
Ia berbaring di tepi pantai,
tergeletak paling depan:
kaki – di pasir
kepala – ke gelombang.
Ombak kotor buat ia tak dapat merangkak –
naik perlahan hingga sampai ke leher;
air pasang menarik kembali arus ombak –
penuh lelah ia menjulurkan kepala ke pasir.
Hai, gelombang!
Hentikanlah, jangan menjadi dukun:
tak perlu memikat seorang pria ke Taman…
Kini waktu mengajariku duduk di rumah.
Menuntun untuk melihat melalui celah-celah.
Apa segera atau tidak segera bergegas ke pantai
untuk pertama kalinya aku menangkap peluru dalam pelarian.
Menyapih kebaikan waktu:
serang, serang, suara serak…
di sini kutitip oleh-oleh buatmu, bagikanlah…
dan ingatlah akan kemuraman hati yang susah.
Aku menghitung duri dan mawar agar tak dianggap orang tak berdosa
Menghitung Bella
Aku duduk di April Square.
Sebelumnya ialah bait Allah,
aku tidak berpikir tentang iman,
hanya melirik perempuan berbeda wajah.
Pada simpang musim semi
sesuatu hampir tidak berbau
tiba-tiba bertengger di dahan
dan duduk di hadapanku.
Gaun pendek bermodis,
dalam balutan mantel kuno,
telapak tangan di bawah dagu
serta wajahnya penuh teka-teki.
Saat itu, aku tidak kenal,
dan tidak ingat:
apa pengantin,
atau janda muda.
Usiaku pendek – tidak dimungkiri,
untuk apa umur panjang, namun tidak berguna…
ia seorang penduduk Petersburg
oleh karenanya jiwanya senantiasa abadi.
Berabad-abad berlalu di Rusia,
genderang harapan dipukul bertalu-talu.
Bukan pedang bangsa asing yang ditebas –
melainkan kemuliaan, emas, dan tipu daya.
Berapa pun usianya – kebiasaan sama,
penuh trik, dan perbuatannya…
selalu menjauh dari kemuliaan
ia tinggal di Vasilyevsky.
Aku menghitung duri dan mawar
agar tak dianggap orang tak berdosa.
Memang metamorfosis selalu ada
namun aku tidak terpengaruh apa pun…
Saat melewati Summer Garden
aku melihat bulan naik perlahan
ada sosok Mikhail bersama Alexander,
benar-benar, seperti bermimpi aku dibuat.
Di jalan dan taman,
baik bersayap maupun tak bersayap,
aku mengetahui bahwa orang-orang selalu
memikirkan Alexander dan Michael¹.
Misterius dan manis
paras mereka berdua seolah-olah bersinar hidup
Alexander dan Michael menampakan wajah
sebelum peluru mematikan mereka.
Hai kalian, penyair masa lalu,
pemuda tampan dan pria tua;
katakan padaku, siapa yang menghangatkan
bulu dan puisi kalian?
Aku kembali duduk di bangku taman
perlahan-lahan menenangkan jiwa sendri
bagaimana pun pandangan orang-orang,
membuatku merasa bebas bicara.
Bagaimana kalian sampai di sana?
Dengan sekuat tenaga atau energi…
tak ingin segera aku susuli kalian
sebab sedang dalam pengasingan!
¹Alexander Pushkin dan Michael Lermontov.
Aku Menghindari Peluru…
Aku menghindari peluru
yang membuat ini langkah pupus.
Aku hanya ingin hidup kembali
di tubuh Krimea yang terlanjur hangus.
Bertumbuhlah menjadi lelaki dewasa
bukan mengepak sayap kecemasan
di belakang punggung sendiri dengan
sayap-sayap patah penuh pengharapan.
Bunga jagung di tembok pembatas,
selamat dari kebakaran
condong
di cabang yang masih hidup,
kehidupan sebelum perang
melihat ke satu arah
dengan kejutan-kejutan.
Sebelum peluru pertama mengarah ke tubuh:
apa aku pengecut?
Sebelum peluru pertama
aku menerjang langsung.
Namun peluru itu bersiul-siul
seseorang diselimuti kematian,
dan bersiap-siap
untuk menerima peluru kedua.
Kawan, kapan kita akan diusir
dari barisan ini?
Jangan menginjak-injak harga diri,
prajurit siap menyerang!
Biarkan mata biru mereka
melihat dan menatap kita
meski kelak semua pergi demi generasi berikutnya.
Aku Tak Pernah Terbang, Tak Pernah Terbang
Aku tak pernah, tak pernah
tak pernah terbang ke angkasa,
tak pernah melihat, tak pernah melihat
kota yang belum kulihat.
Aku tak pernah, tak pernah
tak pernah memahat patung yang belum kupahat,
tak pernah mencinta, tak pernah mencinta
seorang perempuan yang tak kusukai…
Apakah aku berani?
Apa yang bisa kulakukan?
Apakah yang tak bisa kubuat?
Bisakah aku tak berlari?
Ke rumah yang tak kutuju?
Bukankah aku pernah mencintai
seorang perempuan yang tak kucintai?
Tidakkah aku pernah hancur?
Tak akan kupotong simpul
tak akan kulepaskan bundel
dengan kata yang tak kukatakan
lewat lagu yang tak pernah kutulisi
oleh alasan yang tak pernah kulontarkan;
masih pantaskah aku mencintai kamu?
1962
Sumber bacaan:
¹ Bulat Okudzhava. Puisi-puisi Favorit. Moskwa: Pekerja Moskwa, 1989.
² Puisi Soviet Rusia era 1950-1970-an. Buku teks. Disusun oleh I. I. Rozanov. Minsk: Sekolah Tinggi, 1994.
³ Stanzas of the century. Anthology of Russian poetry. Comp. E. Yevtushenko. Minsk, Moscow: Polifact, 1995.
Bulat Shalvovich Okudzhava, penyair, penyanyi, dan penulis lagu berdarah Armenia dan Georgia, lahir di Moskwa, Uni Soviet, 9 Mei 1924 dan wafat di Paris, Prancis, 12 Juni 1997. Novelnya berjudul The Show is Over mendapatkan penghargaan bergengsi dalam Russian Booker Prize pada 1994. Karya Okudzhava telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diterbitkan di banyak negara di seluruh dunia. Ia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di Paris, di mana pada 25 Juni 1995 menjadi konser terakhirnya yang berlangsung di Markas Besar UNESCO. Pada 1997, ia menghembuskan napas terakhirnya di Paris. Nama besar Okudzhava sangat dihormati sebagaimana para penyair legendaris, seperti Alexander Pushkin, Ernst Hoffmann, dan Boris Pasternak. Puisi-puisi di Sajak Kofe diterjemahkan dari bahasa Rusia ke dalam bahasa Indonesia oleh Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan penulis buku kumpulan puisi Hoi!, sebuah kisah tentang diaspora Indonesia di Rusia. (SK-1)
Sumber: mediaindonesia.com