MICE  

R-20, Nahdlatul Ulama dan Tantangan Second-Track Diplomacy

NAHDLATUL Ulama (NU) sukses besar menyelenggarakan event internasional Religion Twenty (R-20). Agenda yang digelar di Nusa Dua, Bali, 2-3 November, dan dilanjutkan di Yogyakarta pada 4-5 November 2022 menjadi penanda penting diplomasi kemanusiaan Nahdlatul Ulama dan Indonesia. R-20 merupakan bagian utama sebagai official side event rangkaian perhelatan G-20 tahun ini, dengan posisi Indonesia sebagai tuan rumah dan pemegang amanah presidensi.

Dalam penyelenggaraan R-20 kali ini, Nahdlatul Ulama menggandeng Muslim World League (MWL), sebagai penyelenggara bersama. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya C Staquf dan Sekjen Muslim World League (MWL) Syaikh Mohammed al-Issa bersama-sama memainkan peran penting untuk mengajak para pemimpin agama di seluruh dunia, untuk secara jujur menganalisis problem mendasar kemanusiaan sekaligus berperan meretas solusi atas sengkarut masalah dunia saat ini.

Gus Yahya C Staquf menyampaikan forum R-20 ini merupakan panggilan kemanusiaan bagi para pemimpin agama besar di dunia, untuk secara jujur mengakui problem-problem mendasar yang ada, dan kemudian memetakan langkah ke depan. Jika selama ini peran agamawan seolah tersisih di panggung politik internasional untuk pengambilan keputusan-keputusan besar menyangkut hajat hidup banyak orang, di berbagai belahan dunia, ada narasi yang bergeser bahwa peran agamawan masih sangat relevan.

R-20 membuktikan trajektori diplomasi perdamaian yang selama ini dirancang Nahdlatul Ulama sejak zaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menemukan momentumnya. Nilai-nilai dasar untuk kontribusi membangun perdamaian global, sudah ditancapkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Ahmad Shiddiq, hingga Kiai Abdurrahman Wahid. Konsolidasi untuk mengukuhkan cara pandang kiai-kiai Nahdlatul Ulama dalam kontribusinya terhadap kemanusiaan global, juga terus dibangun oleh Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Mustofa Bisri, serta kiai-kiai lainnya.

Saat ini, energi semangat, nilai moral, hingga jaringan terakumulasi menjadi gerakan strategis. Forum besar R-20 menjadi bukti bahwa Nahdlatul Ulama mampu menjadi anchor untuk memainkan peran penting dalam rangka mencari solusi atas masalah-masalah yang mengimpit dunia saat ini. Permasalahan Ukraina-Rusia berdampak secara global, begitu juga masalah serius Israel-Palestina, Xinjiang Tiongkok, Hong Kong, hingga sengkarut politik dan krisis di negara-negara Timur Tengah dan kawasan lainnya.

 

MI/Duta

 

Panggilan sejarah

Forum R-20 tahun ini sejatinya merupakan panggilan sejarah. Betapa sengkarut politik, ekonomi, dan keamanan yang terjadi di belahan dunia tidak bisa diurai hanya dengan pendekatan konvensional. Dunia sedang tidak baik-baik saja, ada problem-problem mendasar terkait dengan kemanusiaan yang harus dicari solusinya. Perlu ada strategi lain, yang menghasilkan keputusan-keputusan penentu secara kolektif dengan basis moral dan agama, untuk menghadirkan solusi atas kompleksitas masalah yang selama ini sulit diurai.

Krisis kemanusiaan semakin melebar di pelbagai kawasan. Situasi ekonomi-politik yang fluktuatif menghadirkan ketegangan global. Dampak krisis Ukraina-Rusia nyatanya melebar ke kawasan Eropa, dengan munculnya masalah lonjakan harga pangan dan tarif dasar energi yang meroket. Selain itu, rantai pasokan logistik dunia juga terganggu, yang kemudian berdampak secara luas di negara-negara lain. Sementara itu, para pemimpin politik dunia berada pada situasi saling bersekutu dan berpihak, serta saling mengunci dengan kartu dan kekuatannya masing-masing.

Untuk itulah, forum R-20 saat ini menemukan relevansi strategisnya. Nahdlatul Ulama mengajak para pemimpin agama-agama dunia untuk keluar dari jebakan perang asimetris dan situasi saling mengintai antarkekuatan politik global, yang selama ini nihil solusi. Inilah pentingnya platform agama dan etika digunakan, sebagai trajektori baru yang langsung bersentuhan dengan dinamika pemeluk agama di setiap negara.

Di sela-sela konferensi, saya berdiskusi secara personal dengan Archbishop Professor Thomas Schirrmacher dari Jerman. Beliau merupakan teolog dan aktivis kemanusiaan yang sudah berpuluh-puluh tahun malang-melintang di forum-forum agama, dan level tinggi politik internasional. Profesor Thomas menyeru betapa saat ini para agamawan perlu bersama-sama membangun gerakan untuk menjawab krisis global.

Ia mengisahkan situasi di Eropa yang tidak mudah karena krisis energi dan pangan. Krisis energi semakin mengkhawatirkan menjelang musim dingin. Harga gas dan energi melambung tinggi, begitu juga dengan harga pangan yang melonjak. Situasi ini tidak mudah karena belum ada tanda-tanda jalan keluar yang benderang dari kemelut saat ini. Intinya, situasi ekonomi-politik saat ini sedang terbelit dan membutuhkan strategi baru di luar platform yang sudah ada.

Begitu pula dengan Rabbi Silvia Chemen, perempuan pemuka agama Yahudi dari Argentina. Ketika berbincang secara personal, Rabbi Silvia mengisahkan betapa dirinya terharu mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya di forum R-20 ini. Ia merasa sebagai minoritas dari kelompok agamawan, perempuan Rabbi Yahudi, yang diberi ruang untuk bercerita kondisi umat Yahudi di Amerika Selatan, sekaligus bersama-sama terlibat dalam gerakan global, untuk meretas solusi kolektif di tingkat dunia.

 

Kerja bersama pasca-R-20

Forum R-20 yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama-Muslim World League (MWL) dan didukung penuh pemerintah Indonesia, menjadi penanda bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki tatanan dunia. Puluhan pemuka agama dari lima benua, serta lebih dari 400 partisipan lintas negara yang terdiri dari analis kebijakan internasional, sarjana, think-tank, diplomat, hingga jurnalis internasional berkumpul dalam forum ini untuk mendiskusikan langkah bersama.

Lalu, bagaimana tantangan selanjutnya pasca-penyelenggaraan R-20 pada tahun ini? Pertama, perumusan gerakan bersama untuk solusi perdamaian global. Bertemunya ratusan pemuka agama lintas benua, dari setiap kelompok yang berlainan ideologi dan kultur, menjadi langkah awal untuk mencari solusi atas problem kemanusiaan global, sekaligus memetakan langkah strategisnya.

Pertemuan pemuka agama dan high level religious leader dari setiap sekte, meniupkan spirit baru, betapa agama masih berpeluang menjadi jalan pencerahan. Ketika selama ini pemuka agama seolah belum terdengar untuk terlibat dalam kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup pengikut agama di berbagai belahan dunia. Meski ada kesedihan yang mendalam ketika membahas tragedi, persekusi kelompok agama satu terhadap lain, tantangan Islamophobia dan antisemitisme, sekaligus radikalisme agama dalam berbagai bentuknya. Akan tetapi, ada secercah cahaya harapan yang terbit dari Nusa Dua Bali, dari forum R-20 ini.

Perumusan gerakan bersama ini menjadi penting, untuk memetakan langkah jangka pendek, menengah, dan panjang dari setiap pemimpin agama yang terlibat. Pada konteks ini, Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Kiai Miftachul Akhyar-Gus Yahya C Staquf, menjadi penggerak untuk mengeksekusi gerakan bersama ini.

Kedua, R-20 membuktikan Indonesia mampu menjadi pemain aktif di ranah internasional, khususnya diplomasi perdamaian dan kemanusiaan. Ini kolaborasi diplomatik yang elegan, antara pemerintah Indonesia dan Nahdlatul Ulama, dalam penguatan two-track diplomacy. Strategi diplomasi yang saling melengkapi inilah yang menjadikan bargaining power (kekuatan daya tawar) Indonesia di level dunia meningkat.

Ke depan, kolaborasi progresif antara diplomat-diplomat Kemenlu dan aktivis Nahdlatul Ulama bisa terus ditingkatkan, guna memaksimalkan peluang-peluang yang telah terbuka dari forum R-20 dan G-20 pada tahun ini. Apalagi, sekarang ini ada ribuan kader santri yang telah terkoneksi dengan jaringan global, baik melalui pendidikan formal, riset, maupun interaksi dinamis secara profesional.

Nahdlatul Ulama juga memiliki jaringan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di 38 negara. Desain besar Nahdlatul Ulama yang menjadikan kader-kader PCINU sebagai ’emissary’ Nahdlatul Ulama merupakan potensi penting yang bisa terkonsolidasi melalui gerakan internasional pasca-R-20. Ribuan diaspora santri ini sejak kecil terdidik dalam nuansa akademik tradisional untuk belajar kitab-kitab klasik, sekaligus terinjeksi ilmu sains multidisiplin yang tersambung dengan ilmuan-ilmuan dunia. Mereka menggeluti beragam bidang keilmuan: artificial intelligence, data science, financial engineering, biomedik, futures studies hingga robotika, dan beragam displin ilmu lain. Inilah wajah baru Nahdlatul Ulama pada momentum seratus tahunnya.

Ketiga, pekerjaan besar pasca-R-20 membutuhkan keseriusan kader Nahdlatul Ulama di segala lini. Forum R-20 ini ibaratnya pintu gerbang bagi Nahdlatul Ulama untuk berkhidmah, untuk kerja kemanusiaan secara global. Gus Yahya C Staquf sudah membuka pintu dan merangkul jaringan internasional secara solid. Genderang sudah ditabuh, pintu untuk berjuang sudah terbuka.

Maka, kader-kader NU di seluruh dunia harus bersiap untuk menyambut khidmah ini. Kolaborasi dan kerja bersama antarkader menjadi penting, guna menguatkan barisan, serta mengukuhkan berbagai kerja sama yang telah dibangun Nahdlatul Ulama. Konsolidasi gerakan inilah yang menjadikan Nahdlatul Ulama mendapatkan momentum strategis sebagai aktor kunci dalam diplomasi kemanusiaan global.

 


Sumber: mediaindonesia.com