PENGADILAN Tipikor akan memutus perkara kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak sawit pada Rabu (4/1/2023). Majelis hakim diingatkan untuk memperhatikan fakta-fakta yang ada selama persidangan.
Guru besar hukum dari Universitas Borobudur, Faisal Santiago meminta majelis hakim PN Tipikor agar memperhatikan seluruh fakta-fakta persidangan saat memutus kasus dugaan kasus pidana korupsi terkait CPO ini.
“Semua tergantung majelis hakim yang memutuskan berdasarkan fakta-fakta persidangan,” kata Faisal, Selasa (3/1).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut para terdakwa kasus dugaan korupsi PE minyak goreng dengan beragam. Mulai dari 7 hingga 12 tahun penjara dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.
Tuntutan mendapat sorotan karena ganti rugi triliunan dinilai tidak memiliki dasar yang jelas. Misalnya keuntungan yang diterima atau terdakwa, atau pertambahan kekayaan terdakwa atau perusahaan sebesar jumlah yang dituntut.
Eks Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, uang pengganti biasanya meliputi uang pokok yang dicuri atau diambil. Kemudian, monetisasi uang kerugian yang diderita oleh banyak orang, dan uang keuntungan plus potensi keuntungan yang gagal didapat.
Menurur Laode, dari ketiga jenis uang tersebut, kata Laode, JPU seharusnya menjelaskan uang pengganti yang dimaksud, merupakan jenis yang mana.
“Biasanya komponennya meliputi tiga hal itu dan perhitungan nya harus jelas. Biasanya dakwaan jaksa menjelaskan alasan dari jumlah uang pengganti yang dituntut,” ujarnya.
Dalam persidangan digelar pada 6 Desember 2022, saksi ahli dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, dalam kesaksiannya mengatakan bahwa ia menggunakan metode Input-Output dalam penghitungan kerugian negara, antara lain karena keterbatasan data. Ia juga mengakui tak menghitung pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang sudah dilakukan para terdakwa.
“Di dalam analisis, itu tidak saya perhitungkan, karena dilihat shortage nya,” kata Rimawan.
Dosen UGM itu menjelaskan bahwa analisanya berfokus pada dampak dari yang dilakukan para terdakwa, terhadap krisis minyak goreng atau shortage yang terjadi di dalam negeri. Sehingga pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang dilakukan seperti pajak dan bea cukai, tidak dipertimbangkan dalam penghitungan kerugian negara.
Namun, Rimawan menilai bahwa ekspor yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut juga telah memberikan manfaat kepada negara. Ia mengaku bisa melakukan penghitungan lebih komprehensif jika diberikan data-data terkait manfaat yang didapat negara dari ekspor tersebut.
Menurutnya, jika bisa dibuktikan, maka nilai kerugian negara yang tercantum dalam tuntutan para terdakwa bisa berkurang.
“Kalau itu (variabel manfaat) dimasukkan, maka angka kerugiannya akan turun lagi,” kata Rimawan.
Ada lima terdakwa dalam kasus ini. Di antaranya mantan Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Lalu, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. (OL-8)
Sumber: mediaindonesia.com