MICE  

Proporsional Terbuka dan Kemandirian MK

AKHIR 2022 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan pengujian terhadap sejumlah norma Undang-Undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang diadopsi di dalamnya. Setelah diterapkan dalam empat kali pemilu dengan dua varian berbeda, sistem ini sekarang dipersoalkan konstitusionalitasnya. MK diminta untuk menyatakan norma terkait proporsional terbuka itu bertentangan dengan UUD 1945. Gugatan terhadap sistem itu didasari alasan bahwa ia telah mendistorsi peran partai politik sebagai peserta pemilu, menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat, dan berkontribusi atas maraknya politik uang.

Permohonan ini pun mendapatkan tanggapan luas, termasuk oleh Ketua KPU, partai politik, dan masyarakat sipil. Seluruh fraksi di DPR menolak untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, kecuali PDIP yang setuju untuk mengganti proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Adapun kelompok masyarakat sipil juga mendukung agar sistem proporsional terbuka dipertahankan. Di lain pihak, para ahli terbelah pendapatnya, antara yang setuju dan tidak setuju dengan usulan pergantian sistem ini.

 

Kuat-lemah sistem proporsional

Jika ada ahli pemilu menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka tidak memiliki cacat, dapat dipastikan pendapat itu salah. Sebaliknya, jika ada pihak yang menyatakan sistem proporsional tertutup sebagai sistem yang baik dan tidak memiliki borok, juga bisa dipastikan bahwa itu keliru. Proporsional terbuka dan proporsional tertutup merupakan dua varian sistem proporsional yang sama-sama memiliki cacat bawaan, alias tidak sempurna.

Cacat yang sama bisa jadi dimiliki bersama oleh sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup, bahkan semua sistem pemilu. Misalnya, persaingan tidak sehat atau politik uang dalam pemilu. Masalah ini mungkin saja terjadi dalam sistem pemilu mana pun, mau sistem distrik, proporsional terbuka, tertutup, ataupun sistem campuran.

Jika hari ini sistem proporsional terbuka dipersoalkan karena maraknya praktik politik uang, siapa yang menjamin bahwa proporsional tertutup bebas politik uang? Bukankah sistem proporsional tertutup juga bisa dihinggapi persaingan yang tidak sehat dan politik uang? Bukankah pengalaman di masa lalu sudah cukup jadi pembelajaran bagi kita yang hidup di zaman ini?

Oleh karena itu, praktik curang dalam penyelenggaraan pemilu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan pada dosa proporsional terbuka. Praktik curang dan politik uang itu lebih karena memang sikap dan perilaku peserta pemilu Indonesia yang tak kunjung berhasil diperbaiki. Partai politik sebagai pemegang peran sentral belum secara serius melaksanakan perannya untuk melakukan pendidikan politik, dan memastikan para anggotanya tidak berlaku curang dalam pemilu. Pada saat yang sama, upaya penegakan hukum terhadap pelaku praktik curang dan politik uang juga belum berjalan optimal karena berbagai hal. Termasuk lemahnya aturan yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku politik uang.

Selanjutnya, terkait pelembagaan partai politik, sistem proporsional tertutup memang bisa dinilai lebih unggul daripada proporsional terbuka. Sebab, dalam sistem proporsional tertutup, peran partai politik dalam menentukan calon terpilih jauh lebih kuat sehingga jaminan kepatuhan dan kesetiaan anggota legislatif terpilih kepada partai pengusung akan jauh lebih besar. Kondisi demikian membuka ruang lebih banyak bagi parpol dalam melembagakan agenda-agenda politiknya, jika dibandingkan dengan kalau calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak sesuai kerangka proporsional terbuka.

Hanya saja, Indonesia bukan tidak berpengalaman dengan proporsional tertutup. Pemilu 1955 dan pemilu-pemilu masa Orde Baru dilaksanakan menggunakan sistem proporsional tertutup. Sejarah pemilu membuktikan bahwa proporsional tertutup justru menghadirkan wakil-wakil rakyat yang sepenuhnya dikendalikan elite parpol dengan kontestasi yang juga jauh dari kata sehat. Anggota legislatif tidak lebih dari sekadar penyambung lidah partai, bukan sebagai jembatan aspirasi rakyat.

Jika demikian persoalannya, bagaimana mengatasi masalah pelembagaan parpol jika sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan? Pada dasarnya, penguatan peran parpol dalam sistem proporsional terbuka tetap bisa dilakukan sepanjang parpol punya niat untuk melakukannya. Sebab, dalam sistem proporsional terbuka, otoritas penentuan calon anggota legislatif sepenuhnya ada di tangan partai. Dalam rangka memperkuat peran parpol, seharusnya proses pendidikan politik, penguatan kelembagaan partai, dan proses pencalonan anggota legislatif dilakukan secara baik oleh tiap-tiap parpol.

Dalam proses pencalonan, semua parpol sama-sama berkomitmen untuk hanya mengajukan calon-calon yang memang merupakan kadernya, paham dengan perjuangan partainya, dan dapat diandalkan untuk menyerap aspirasi rakyat. Parpol juga sama-sama menahan diri untuk tidak mengajukan orang yang belum pernah dikader di dalam partai serta hanya mengandalkan uang dan popularitas semata.

Jika langkah tersebut dilaksanakan, siapa yang dapat menyangkal bahwa proporsional terbuka juga mampu menopang pelembagaan parpol itu sendiri, bahkan dengan hasil yang bisa lebih baik? Sayangnya, parpol cenderung bersikap pragmatis dengan merekrut calon secara serampangan, dengan hanya melihat popularitas dan kemampuan finansial semata. Akhirnya, ketika terpilih, mereka tidak memiliki kesetiaan kepada parpol sehingga dianggap menjadi masalah dalam pelembagaan parpol.

 

Proporsional terbuka sebagai pilihan

Sistem proporsional terbuka untuk pertama kali diatur dan digunakan pada Pemilu 2004. Pada waktu itu, sistem proporsional terbuka diterapkan dengan varian penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara sesuai perolehan angka bilangan pembagi pemilih (BPP). Varian ini mengalami sedikit modifikasi melalui UU No 10/2008, yang mengatur bahwa penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan perolehan suara 30% angka BPP.

Belum sempat diterapkan untuk Pemilu 2009, varian penentuan calon terpilih ini pun bergeser ke langgam penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak sesuai Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa dengan memilih sistem proporsional terbuka, maka cara penentuan calon terpilih yang dinilai lebih sejalan dengan prinsip prosedural demokrasi ialah dengan mendasarkannya pada perolehan suara terbanyak.

Dari proses lahir, berjalan, dan dilaksanakannya sistem proporsional terbuka dapat dipahami bahwa posisi MK terkait sistem ini lebih pada peran memperkuat dan mempertegas pilihan sistem proporsional terbuka yang telah lebih dahulu dipilih oleh pembentuk undang-undang. Artinya, pilihan sistem proporsional terbuka dan tertutup sejak dari awal telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Hal mana, pilihan terhadap sistem itu, salah satunya disebabkan pengalaman pahit penerapan sistem proporsional tertutup selama pemilu-pemilu Orde Baru.

Secara konstitusional, pilihan sistem proporsional terbuka pada dasarnya tidak bersoal dengan keberadaan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Sebab, proporsional terbuka sama sekali tidak menegasikan peran parpol sebagai peserta pemilu, di mana otoritas kepesertaan tetap berada di tangan parpol.

Alih-alih menegasikan peran parpol, proporsional terbuka justru menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan antara parpol sebagai peserta pemilu dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sistem proporsional terbuka juga dapat digunakan oleh rakyat untuk mengimbangi praktik oligarki parpol yang sulit diruntuhkan.

Tanpa menutup mata atas sisi lemah sistem proporsional terbuka, perkembangan kehidupan parpol yang ada saat ini menuntut kita untuk tetap mempertahankan proporsional terbuka. Memilih untuk menggantinya dengan proporsional tertutup bukanlah tindakan yang tepat, bahkan bisa destruktif bagi demokrasi. Jika berniat mengganti sistem, tidak ada pilihan paling bijak selain pembentuk undang-undang melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap segala aspek mengenai sistem yang akan diterapkan. Adapun proses pengujian yang sedang berlangsung di MK, dengan waktu yang tergolong pendek, tidak akan cukup untuk mempertimbangkan segala aspek berkenaan dan kerumitan dari tiap-tiap sistem tersebut.

 

Kemandirian MK sebagai kunci

MK dengan segala peran konstitusionalnya telah ikut andil dalam memperkuat keberadaan sistem proporsional terbuka. Bahkan dalam putusan terdahulu, MK menegaskan bahwa proporsional terbuka merupakan sistem yang lebih dekat dengan kerangka demokrasi konstitusional yang terkandung di UUD 1945.

Dalam perkembangan ketatanegaraan di bidang kepemiluan belum terdapat alasan konstitusional kuat yang dapat digunakan MK untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, konsistensi sikap MK terhadap proporsional terbuka, dalam menilai permintaan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, sangat diperlukan.

Bahkan, andaipun melihat sisi lemah yang teramat banyak pada sistem proporsional terbuka, MK perlu menahan diri untuk tidak mengubah sistem ini secara mudah. Akan lebih bijak jika MK sebatas memberikan panduan tertentu bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan pilihan sistem yang dinilai lebih sesuai, atau tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Untuk selanjutnya, biar pembentuk undang-undang yang menentukan pilihan sistem setelah mempertimbangkan segala aspek berkenaan dengan alternatif yang akan diambil.

Selanjutnya, karena dorongan perubahan sistem ini juga mengandung kepentingan politik parpol, konsistensi MK hanya mungkin dijaga dengan menjauhkan diri dari segala bentuk intervensi. Bukan mustahil kekuatan politik yang menginginkan proporsional tertutup menekan para hakim konstitusi untuk mengamini keinginannya.

Ketika hakim konstitusi menundukkan diri pada intervensi tersebut, MK akan terjebak pada pilihan keputusan yang sangat mungkin digunakan untuk melegitimasi oligarki politik parpol. Beberapa masalah sekitar MK yang terjadi akhir-akhir ini sudah cukup jadi pengingat bagi para negarawan untuk kembali menegakkan kepala dengan mengutamakan kepentingan masa depan demokrasi negara ketimbang kepentingan kelompok politik.

 

 

Tiser

 

Karena dorongan perubahan sistem ini juga mengandung kepentingan politik parpol, konsistensi MK hanya mungkin dijaga dengan menjauhkan diri dari segala bentuk intervensi. Bukan mustahil kekuatan politik yang menginginkan proporsional tertutup menekan para hakim konstitusi untuk mengamini keinginannya.


Sumber: mediaindonesia.com