Indeks
MICE  

PPOK Juga Ancam Perokok Pasif

TEMA Hari Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang diperingati tiap hari Rabu minggu ke-3 November tahun ini adalah Your lungs for life atau Paru-paru untuk kehidupan. Merawat paru-paru berarti sama dengan merawat kehidupan. Namun, banyak masyarakat yang tidak memahami PPOK dan kerap mengiranya sbagai penyakit lain karena gejalanya mirip.

Seperti yang dialami Partini, 64. Sudah lebih dari dua minggu ia kerap mengalami sesak napas yang datang dan pergi disertai dengan batuk berkepanjangan. Bahkan, kala malam hari, napasnya kerap mengi/berbunyi. Mulanya, ia mengira kena asma. Karena mengalami demam tinggi, keluarga membawanya ke klinik. Ia kemudian dirujuk ke rumah sakit dan kemudian didiagnosis mengalami PPOK.

Sesak napas yang dialami Partini menjadi gejala umum PPOK. Pada sebagian besar pasien, sesak kadang disertai dengan mengi dan batuk yang tak kunjung sembuh. Pasien juga merasa mudah lelah, dan sebagian mengalami penurunan berat badan. 

Dokter Spesialis Pulmonologi dan Spesialis Respirasi Paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Dr. Andika Chandra Putra, SpP(K) mengatakan penyebab utama PPOK adalah asap rokok dan polutan. “Umumnya PPOK disebabkan pajanan asap rokok. Pajanan asap rokok terus-menerus menyebabkan radang di saluran napas sehingga fungsi paru dan elastisitas paru menjadi berkurang. Kemudian juga menyebabkan ada produksi mokus atau lendir yang cukup banyak,” terangnya saat dihubungi pada Kamis (24/11).

Namun, meski bukan perokok, tidak menjamin orang tidak terkena PPOK. Perokok pasif memiliki risiko PPOK yang sama dengan perokok aktif. Anto, anak Partini mengatakan ibunya tidak merokok. Namun, lanjut Anto, almarhum Bapaknya adalah seorang perokok berat selama berpuluh tahun sebelum akhirnya meninggal. “Dalam satu hari, Bapak bisa merokok sampai 2-3 pak,” lanjutnya.

Bagaimana membedakan PPOK dengan asma? Pajanan asap rokok atau zat polutan lain kepada orang misalnya terpapar asap pembakaran kayu bisa meningkatkan risiko terjadinya PPOK. Berbeda dengan asma yang terjadi karena genetik atau alergi. Pada penderita asma yang mengalami sesak, fungsi paru bisa kembali normnal, tapi fungsi paru orang PPOK tidak bisa kembali normal.

“Bagi pasien, tentu yang penting berhenti merokok bagi perokok atau jangan merokok bagi yang belum pernah mencoba. Kalau di sisi kebijakan kita punya kawasan tanpa rokok, kemudian biaya rokoknya juga tambah mahal. Itukan salah satu upaya agar merokok di masyarakat kita berkurang,” jelas Andika.

Rehabilitasi

Pada pasien PPOK, apabila kondisinya hanya sesak, pasien akan diberikan oksigen, namun apabila kondisinya sudah akut akan diberikan obat-obatan. “Pada kondisi sesak nafas kita berikan pertama oksigen, karena pada pasien sesak nafas tadi PPOK-nya menyebabkan penurunan oksigen. Yang kedua kita berikan obat-obat untuk melapangkan saluran nafasnya. Yang ketiga pada kondisi akut kita berikan obat-obat anti radang. Yang keempat pencetus timbulnya kondisi akut tadi, kalau yang menyebabkan karena infeksi kita berikan antibiotik,” ucap Andika.

Lanjut Andika, kalau sudah teratasi kondisi akutnya, maka untuk selanjutnya pasien akan diberikan berikan obat-obat controller.

“Obat controller itu obat yang berupa dalam bentuk inhaler atau berupa hisapan atau asap yang namanya respimat, ditambah dengan obat anti radang. Seringkali ada ketakutan dari pasien yang ketagihan atau efek sampingnya dari obat tersebut, padahal dosis yang diberikan itu ukurannya mikrogram. Karena kita tahu fungsi paru pasien tidak akan bisa kembali ke normal, biasanya kita anjurkan dilakukan rehabilitasi medik atau chest fisioterapi/fisioterapi dada. Jadi kita latih otot pernafasannya lagi, sehingga otot-otot pernafasannya jadi lebih baik,” pungkasnya. (H-3)

 


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version