Indeks
MICE  

Pohon Tua Lebih Toleran Terhadap Kekeringan

Analisis baru terhadap lebih dari 20.000 pohon di lima benua menunjukkan bahwa pohon tua, yang berusia lebih dari 140 tahun, lebih toleran terhadap kekeringan daripada pohon muda di kanopi hutan. Mereka juga mungkin lebih mampu menahan iklim ekstrem di masa depan. 

Kanopi hutan adalah zona berlapis-lapis, kompleks secara struktural dan penting secara ekologis yang dibentuk oleh tajuk pohon dewasa yang tumpang tindih.

Temuan ini menyoroti pentingnya melestarikan hutan tua yang tersisa di dunia, yang merupakan benteng keanekaragaman hayati yang menyimpan sejumlah besar karbon yang menghangatkan planet, menurut ahli ekologi hutan Universitas Michigan Tsun Fung (Tom) Au, seorang postdoctoral fellow di Institute for Global Change Biology.

 “Jumlah hutan tua di planet ini menurun, sementara kekeringan diperkirakan akan lebih sering dan lebih intens di masa depan,” kata Au, penulis utama studi yang diterbitkan secara online pada 1 Desember di jurnal Nature Climate Change tersebut, seperti dikutip dari sciencedaily.com.

“Mengingat ketahanannya yang tinggi terhadap kekeringan dan kapasitas penyimpanan karbonnya yang luar biasa, konservasi pohon yang lebih tua di kanopi atas harus menjadi prioritas utama dari perspektif mitigasi iklim,” lanjutnya.

Tim peneliti juga menemukan bahwa pohon yang lebih muda di kanopi atas – jika mereka berhasil bertahan dari kekeringan– menunjukkan ketahanan yang lebih besar, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk kembali ke tingkat pertumbuhan sebelum kekeringan.

Penggundulan hutan, penebangan selektif dan ancaman lainnya telah menyebabkan penurunan global hutan tua. Sementara itu, reboisasi berikutnya – baik melalui suksesi alami atau melalui penanaman pohon – telah menyebabkan hutan didominasi oleh pohon yang semakin muda.

Misalnya, area yang ditutupi oleh pohon yang lebih muda (<140 tahun) di lapisan kanopi atas hutan beriklim sedang di seluruh dunia sudah jauh melebihi area yang ditutupi oleh pohon yang lebih tua.  Karena demografi hutan terus bergeser, pohon yang lebih muda diharapkan memainkan peran yang semakin penting dalam penyerapan karbon dan fungsi ekosistem.

Au mengatakan temuan ia bersama rekan-rekannya tersebut memiliki implikasi penting untuk penyimpanan karbon di masa depan di hutan.

 “Hasil ini menyiratkan bahwa dalam jangka pendek, dampak kekeringan pada hutan mungkin parah karena prevalensi pohon yang lebih muda dan sensitivitasnya yang lebih besar terhadap kekeringan. Namun dalam jangka panjang, pohon yang lebih muda memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dari kekeringan, yang mana  dapat bermanfaat bagi cadangan karbon,” lanjutnya. Implikasi tersebut akan memerlukan studi lebih lanjut, menurut Au dan rekannya.

“Temuan ini berimplikasi pada bagaimana kita mengelola hutan kita. Secara historis, kita telah mengelola hutan untuk mempromosikan spesies pohon yang memiliki kualitas kayu terbaik,” kata Justin Maxwell dari Universitas Indiana, penulis senior studi tersebut.

“Temuan kami menunjukkan bahwa mengelola hutan untuk kemampuannya menyimpan karbon dan tahan terhadap kekeringan dapat menjadi alat penting dalam menanggapi perubahan iklim, dan berpikir tentang usia hutan merupakan aspek penting tentang bagaimana hutan akan menanggapi kekeringan,” lanjutnya.

Tim menggunakan data lingkar pohon jangka panjang dari Bank Data Lingkar Pohon Internasional untuk menganalisis respons pertumbuhan 21.964 pohon dari 119 spesies yang sensitif terhadap kekeringan, selama dan setelah kekeringan pada abad yang lalu. Mereka fokus pada pepohonan di kanopi paling atas.  

Pohon kanopi bagian atas dipisahkan menjadi tiga kelompok umur – muda, menengah dan tua – dan tim memeriksa bagaimana usia memengaruhi respons kekeringan untuk berbagai spesies kayu keras dan tumbuhan runjung.

Mereka menemukan bahwa kayu keras muda di kanopi atas mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 28% selama musim kemarau, dibandingkan dengan penurunan pertumbuhan sebesar 21% untuk kayu keras tua.  Perbedaan 7% antara kayu keras muda dan tua tumbuh menjadi 17% selama musim kering yang ekstrem.

Perbedaan yang berkaitan dengan usia tersebut mungkin tampak cukup kecil. Namun, ketika diterapkan pada skala global, fenomena itu dapat memiliki dampak besar pada penyimpanan karbon regional dan  global, menurut penulis penelitian.  Itu terutama berlaku di hutan beriklim sedang yang merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. (M-2) 


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version