MICE  

Perubahan Iklim, Sungai Nil, dan Peradaban yang Terancam Tergusur

MEMBENTANG dari Uganda hingga Mesir, peran Sungai Nil sangat penting untuk kelangsungan hidup jutaan orang yang tinggal di Afrika sejak zaman dulu. Di lembah sungai inilah lahir salah satu peradaban manusia modern pertama di dunia, Mesir.

Tetapi, perubahan iklim dan perilaku manusia yang berlebihan, telah menyebabkan sungai itu kian mengering  dan memperburuk kehidupan petani. Selain terancam gagal panen, menyusutnya debit air di sungai itu membuat mereka terancam kekurangan sumber energi listrik.

Dengan panjang lebih dari 6.600 kilometer, lembah Sungai Nil membentang hingga ke-11 negara, termasuk Tanzania, Burundi, Republik Demokratik Kongo, Rwanda, Uganda, Sudan Selatan, Ethiopia, dan Mesir, tempat ratusan kepala negara berkumpul untuk menghadiri konferensi iklim di Sharm el-Sheikh yang dimulai pada Minggu (6/11) lalu.

Pemanasan global dan penggunaan berlebihan oleh manusia membuat sungai terpanjang kedua di dunia itu ‘menderita’. Dalam 50 tahun terakhir, aliran Sungai Nil telah menyusut dari 3.000 meter kubik per detik menjadi 2.830m/detik. PBB memperkirakan kurangnya curah hujan dan meningkatnya kekeringan yang terjadi di Afrika Timur,  membuat aliran sungai itu turun 70% pada tahun 2100.

Badan dunia itu memperkirakan hilangnya 75% air yang tersedia bagi penduduk lokal. Erosi tanah , kegagalan panen, dan kekurangan listrik juga kemungkinan besar akan berdampak pada jutaan orang yang tinggal di Afrika yang bergantung pada sungai untuk bertahan hidup.

Di ujung selatan Sungai Nil, dampak perubahan iklim sangat terasa di danau terbesar di Afrika. Terletak di antara Kenya, Uganda, dan Tanzania, Danau Victoria adalah pemasok air terbesar ke Sungai Nil, kecuali curah hujan. Namun, penguapan, kurangnya curah hujan, dan perubahan kemiringan sumbu bumi, membuat danau itu sekarang berisiko menghilang.

Masalah politik

Satu studi tahun 2020 menganalisis data historis dan geologis dalam 100.000 tahun terakhir dan menemukan fakta bahwa seluruh badan air dapat mengering dalam 500 tahun ke depan. Ini akan berdampak buruk pada Sungai Nil, sungai yang cekungannya meliputi 10% benua Afrika dan merupakan sumber daya penting bagi 500 juta orang yang tinggal di sekitarnya.

“Mereka yang memiliki air paling sedikit hari ini akan memiliki masa depan yang lebih suram karena persaingan untuk mendapatkan air akan semakin sengit,” kata Habib Ayeb, ahli geologi dan profesor emeritus di Universitas Paris-8-Saint-Denis, Prancis, seperti dilansir France24.

“Di negara-negara seperti Mesir dan Ethiopia, kurangnya akses terhadap air di antara penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Nil,  lebih disebabkan masalah politik daripada perubahan iklim,”kata Ayeb.

Prioritas akses terhadap sungai itu saat ini diberikan kepada bisnis pertanian skala besar dibandingkan kepada penduduk lokal. “Ada banyak persaingan untuk mendapatkan air yang diintensifkan oleh agribisnis yang menanam produk untuk ekspor, seperti tomat atau mentimun. Mereka tidak memperhitungkan populasi setempat yang membutuhkan air ini,” tambah Ayeb.

Selain itu, kata dia, ancaman perubahan iklim juga ikut memperburuk situasi. “Tingkat air yang lebih rendah karena pemanasan global akan berdampak pada mereka yang paling membutuhkan,” kata Ayeb.

Ancaman Air Laut

Di ujung utara sungai besar, efek lain dari perubahan iklim dirasakan di Delta Nil, bentuk lahan yang kaya sedimen  tempat pertemuan sungai itu dengan Laut Mediterania. Daerah ini adalah salah satu dari tiga lokasi di dunia yang paling rentan terhadap pemanasan global, menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, karena aliran sungai yang semakin melemah sehingga sukar untuk mendorong kembali masuknya  air dari laut.

Setiap tahun sejak 1960, Laut Tengah telah mengikis antara 35 dan 75 meter tanah di Delta Nil. Jika naik satu meter, itu akan menenggelamkan 34% wilayah sekitarnya di Mesir utara, serta menggusur 9 juta orang yang tinggal di area tersebut.

 “Semakin sedikit air yang ada di lembah Nil, Delta Nil akan semakin digenangi air dari Laut Mediterania,” kata Ayeb. Hal ini tidak hanya membawa risiko erosi tanah dan banjir, tetapi juga mengubah komposisi sungai. “Lapisan air tanah di bawah delta sungai semakin terdiri dari air asin dari Laut Mediterania karena semakin sedikit air tawar yang datang dari hulu sungai,” tambah Ayeb.

Di sepanjang tepi utara sungai air menjadi semakin asin. “Sangat sedikit air drainase (air tawar dari sungai) yang mengalir ke Laut Mediterania; kurang dari 1 miliar meter kubik air.  Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan apa yang ada pada 40 atau 50 tahun yang lalu,” kata Ayeb.

Situasi ini  kemungkinan akan bertambah buruk. Jika suhu terus meningkat, air dari Laut Mediterania akan semakin maju 100 meter ke Delta Nil setiap tahun, menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP). Seiring waktu diperkirakan Laut Mediterania bisa menenggelamkan 100.000 hektare lahan pertanian. Ini akan menjadi bencana besar bagi Mesir, di mana bagian utara negara itu menyumbang menyumbang 30% hingga 40% dari produksi pertanian nasional. (AFP/M-3)


Sumber: mediaindonesia.com