PERTUMBUHAN ekonomi triwulan III 2022 yang mencapai 5,72% dinilai tak dirasakan secara merata oleh seluruh kalangan masyarakat. Hanya segelintir golongan yang menikmati buah manis dari pertumbuhan tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, tidak meratanya dampak pertumbuhan ekonomi itu berpotensi memperlebar ketimpangan di Indonesia.
“Kalau ini dibiarkan, maka pada jangka panjang efeknya adalah pada rasio gini yang kembali melebar antara 20% kelompok paling kaya dengan 40% kelompok pengeluaran yang paling bawah dan ini tidak bagus,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (9/11).
Bhima mengatakan, pemilik usaha di sektor pertambangan menjadi salah satu kelompok yang paling menikmati dampak pertumbuhan ekonomi di triwulan III. Sebab, harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan mineral lainnya mengalami kenaikan harga sedari tahun lalu.
Sementara sektor industri manufaktur justru melemah akibat tren penurunan pertumbuhan ekonomi global. Akibatnya, sejumlah sektor di industri pengolahan terpaksa mengurangi jumlah pekerja melalui pemutusan hubungan kerja (PHK).
Padahal, masyarakat yang bekerja di sektor manufaktur masih terimbas oleh dampak pandemi. Kenaikan pendapatan atau upah yang diterima juga tak sebanding dengan tingkat inflasi nasional saat ini.
Alih-alih ikut menikmati dampak pertumbuhan ekonomi, masyarakat di kelompok tersebut justru terjebak dan terancam jatuh ke dalam kemiskinan. “Kelompok ini lah yang tidak menikmati angka pertumbuhan 5,72%. Ini juga dikonfirmasi dari data orang kaya di Indonesia, pada saat pandemi meningkat menjadi 171 ribu orang,” tandasnya.
Upah stagnan, kehilangan pekerjaan, dan dampak pandemi yang masih terasa dinilai memukul kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hal ini juga berimbas pada kemampuan daya beli kelompok masyarakat tersebut.
Guna mengantisipasi pelebaran tingkat ketimpangan, kata Bhima, pemerintah harus mampu memperkuat sektor manufaktur. Ini juga dibarengi dengan paket stimulus secara menyeluruh untuk mencegah terjadinya PHK.
Selain itu, pengambil kebijakan juga dinilai perlu meluncurkan paket kebijakan yang berisi berbagai relaksasi. Beberapa diantaranya, kata Bhima, yakni, pertama, penurunan tarif PPN dari 11% menjadi 8% untuk mendorong belanja kelas menengah atas.
Kedua, mendorong BSU bagi sektor padat karya dan pekerja sektor informal. Ketiga, menambah dan memperluas bansos tunai bagi kelompok menengah rentan agar ketimpangan tidak makin melebar. Keempat, mengendalikan inflasi melalui penurunan harga BBM jenis subsidi, dan pengendalian inflasi pangan lewat koordinasi pemda, BUMN dan sektor swasta. (OL-8)
Sumber: mediaindonesia.com