MICE  

Perdana Menteri Anwar Ibrahim

PEMILU Malaysia pada Sabtu, 19 November 2022 merupakan pemilu pascapandemi yang tidak berhasil menyusun pemerintah. Meskipun partai-partai oposisi yang tergabung dalam koalisi Pekatan Harapan (PH) di bawah pimpinan Anwar Ibrahim berhasil mendapatkan kursi terbanyak (82), kemudian disusul partai-partai petahana koalisi Pekatan Nasional (PN) yang dipimpin Muhyiddin Yassin (73), dua-duanya tidak bisa membentuk pemerintahan karena tidak mencapai jumlah minimal, yaitu 112 kursi.

Banyak yang menyebutnya ini sebagai hung parliament (parlemen gantung), yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah pemilu di Malaysia. Hasil pemilu itu menggambarkan adanya persaingan sangat ketat antara kekuatan politik etnik Melayu-Islam konservatif dipimpin Muhyiddin Yassin dan kekuatan politik multietnik-agama yang dipimpin Anwar Ibrahim. Jika situasi itu dibiarkan, bisa menyebabkan political uncertainty, bahkan ketidakmenentuan sosial ekonomi.

Potensi konflik akan memperoleh momentumnya menjadi manifest dan akan merusak stabilitas wilayah ASEAN. Karena itu, supaya tidak akan menimbulkan krisis politik yang semakin kompleks dan multidimensional, perlu dilakukan langkah afirmasi di luar mekanisme politik biasa. Campur tangan Raja Al-Sultan Abdullah sangat diperlukan supaya tidak ada kebuntuan dan Anwar Ibrahim kemudian benar-benar ditetapkan sebagai perdana menteri ke-10 Malaysia.

 

Otoritas Raja/Yang Dipertuan Agung

Malaysia, tidak seperti Indonesia misalnya, menganut sistem politik yang berdasarkan kepada sistem parlementer Westminster dengan melakukan adaptasi budaya dari federasi. Sistem Westminster (nama kerajaan di Inggris) itu diadopsi karena Malaysia ialah bekas jajahan Inggris. Dalam sistem itu, kekuasaan eksekutif ditentukan kabinet yang dipimpin perdana menteri dengan syarat didukung partai yang berhasil menguasai suara mayoritas di parlemen.

Berdasarkan sistem itu, negara-negara bagian dikepalai penguasa tradisional Melayu secara turun-temurun, yang sebagian bergelar sultan dan raja. Kemudian untuk penguasa Negeri Sembilan dikenal dengan Yang Dipertuan Agung yang dipilih, dan ditetapkan melalui pertemuan Majelis Raja-Raja untuk lima tahunan. Karena Yang Dipertuan Agung itu dipilih, Malaysia ialah negara dengan sistem monarki elektif.

Jadi, Yang Dipertuan Agung ialah kepala negara persekutuan (federal), yang peran simbolisnya antara lain menjadi pemimpin tertinggi angkatan tentara Malaysia dan melaksanakan fungsi diplomasi. Yang juga penting ialah Yang Dipertuan Agung memiliki kewenangan menunjuk perdana menteri dari partai yang menguasai parlemen secara mayoritas. Masalah muncul jika hasil pemilu tidak berhasil memperoleh suara mayoritas dan menguasai parlemen seperti yang baru saja terjadi saat ini di Malaysia.

Dalam sistem monarki konstitusional (constitutional monarchy), raja atau ratu tidak lagi memiliki kekuasaan dan kewenangan absolut, tetapi dibatasi konstitusi. Para raja dan ratu hanya bertindak sebagai kepala negara saja karena kepala pemerintah dipimpin seorang perdana menteri. Secara historis, sistem monarki konstitusional itu dipilih antara lain karena munculnya tuntutan agar aspirasi masyarakat memperoleh kedudukan dan diperhitungkan sekaligus dilindungi secara politik dan hukum.

Atas dasar itu, harus ada perubahan sistem kekuasaan. Ada negara yang kemudian memilih dan menerapkan sistem demokrasi dengan rakyat memperoleh kedaulatannya, ada juga yang mengombinasikan monarki dan demokrasi. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai monarki-konstitusional dengan raja, ratu, dan sultan tetap memilik kekuasaan dan dalam waktu yang bersamaan, masyarakat juga memiliki kekuasaannya melalui mekanisme demokrasi parlementer.

Dalam situasi tertentu, misalnya terjadinya kebuntuan politik sebagai akibat dari konflik yang berlarut-larut di kalangan kekuatan atau partai-partai politik, Raja atau Yang Dipertuan Agung melakukan langkah afirmasi, yang keputusannya harus ditaati dan mengikat. Kasus naiknya Ismail Sabri Yaakub dan kemudian Muhyiddin Yassin sebagai perdana menteri juga tak lepas dari intervensi Yang Dipertuan Agung.

Kisruh politik saat pandemi mendorong intervensi itu dilakukan agar Malaysia segera bisa menghadapi pandemi dengan baik dan memulihkan ekonomi yang mengalami kemerosotan. Kali ini, intervensi kembali dilakukan agar segera terbentuk pemerintahan baru dan memulihkan ekonomi Malaysia yang saat ini masih terasa berat.

 

Kemenangan Anwar

Keputusan Yang Dipertuan Agung setelah melalui kesepakatan di Majelis Raja-Raja telah menetapkan Anwar Ibrahim menjadi perdana menteri Malaysia. Keputusan itu, selain secara hukum dan politik sangatlah penting dan karena itu sifatnya mengikat, sekaligus juga historis karena kebuntuan politik telah diselesaikan. Pekerjaan penting lebih lanjut yang harus dilakukan Anwar Ibrahim ialah membentuk pemerintahan koalisi.

Bermakna historis antara lain juga karena adanya dukungan yang diberikan UMNO kepada Anwar. Peristiwa itu tentu cukup mengejutkan banyak kalangan karena partai itulah yang dalam waktu yang panjang menjadi sasaran kritik Anwar antara lain karena nepotis dan koruptif. Karena itu jugalah, Anwar memimpin oposisi melawan pemerintah UMNO sejak dipimpin Mahathir hingga Nadjib.

Jatuhnya Nadjib ialah bukti nyata bagaimana Anwar berusaha mengakhiri kekuasaan UMNO. Namun, politik memang tidak bisa hitam putih karena harus ada perhitungan yang pragmatis. Anwar yang telah ditetapkan sebagai perdana menteri kali ini harus juga berhitung karena mesti mendapat dukungan minimal 112 kursi. Karena itulah, keberhasilan Anwar meyakinkan UMNO untuk mendukung sangat penting dan dengan demikian, Anwar mendapatkan tambahan dukungan sebesar 30 kursi.

Setelah 24 tahun berjuang, Anwar berhasil menjadi perdana menteri. Pertanyaan penting lain ialah apakah kepemimpinan baru Anwar ini tetap konsisten untuk membersihkan Malaysia dari korupsi; apakah Nadjib akan terselamatkan dari jeratan hukum? Tantangan Anwar tidak mudah dan hemat penulis, Anwar akan memberikan prioritas untuk melakukan konsolidasi politik supaya pemerintah tidak jatuh dan kemudian economic recovery setelah didera musibah covid-19.

Bisa saja koalisi Pekatan Nasional mencari titik-titik tertentu untuk memperlemah pemerintahan Anwar meskipun itu agak berat karena itu sudah menjadi keputusan Yang Dipertuan Agung melalui kesepakatan majelis para raja. Untuk kepentingan nasional Malaysia dan menjaga stabilitas di ASEAN, hemat penulis, Pekatan Nasional akan mengikuti dengan sepenuh hati keputusan Yang Dipertuan Agung.

Mengikuti pemikiran dan sepak terjang Anwar Ibrahim sejak awal saat masih menjadi Presiden ABIM hingga saat terakhir ini, Malaysia akan memperoleh kesempatan luas mengembangkan dan memperluas kerja sama internasional secara lebih terbuka, antara lain dalam bidang ekonomi.

Kepemimpinan Anwar akan lebih diterima secara internasional karena inklusivitas dan keterbukaannya. Penerimaan internasional itu sangat penting untuk akselerasi pemulihan dan penguatan ekonomi Malaysia. Di sisi lain, pasar internasional juga memperoleh ruang yang lebih baik daripada Malaysia. Kesempatan untuk membuktikan Malaysia sebagai sebuah negara yang berhasil melalui masa sulit akibat pandemi covid-19, dan pandemi politik, telah tersedia di bawah kepemimpinan Anwar yang progresif dan terbuka, setelah 24 tahun menunggu. Wallahu a’lam.


Sumber: mediaindonesia.com