MICE  

Peran Orangtua di Era Digital

BEBERAPA tahun silam saya pernah diminta menemani seorang kawan perempuan pergi ke sebuah acara undangan. Saat itu, pacar kawan saya ini sedang berada di luar negeri. Entah kenapa dia meminta saya menemaninya. Itu mungkin yang disebut friend with benefits, tanpa selalu dikaitkan dengan hubungan yang berorientasi seksual. Istilah sekarangnya mungkin TTM, teman tapi mesra. Lagi pula, saya juga telah dikenal baik oleh keluarganya. Mungkin orangtuanya juga berpikir, lebih aman jika saya yang menemani anak gadisnya bepergian malam.

Beberapa tahun lalu, pola hubungan sosial semacam itu lazim. Kaum pria terutama, kadang sering dimintai tolong oleh kawan, sepupu, atau keponakan perempuannya datang ke suatu acara, apalagi yang diadakan malam hari. Tujuannya mungkin tentu agar lebih safety, bukan semata demi gengsi biar enggak dikira jomlo datang sendirian.

Makanya, saya agak heran jika sekarang muncul bisnis sewa pacar di sejumlah kota besar. Salah satu fungsi pacar sewaan itu antara lain menemani untuk datang ke acara, seperti undangan atau hajatan dan semacamnya. Tarifnya beda-beda. Dari puluhan hingga ratusan ribu. Bergantung pada permintaan klien. Buju buneng. Pacar sewaan itu (tentu saja untuk kalangan remaja) bisa untuk sekadar jadi teman curhat, baik daring maupun luring. Atau menemani nge-date, seperti makan dan nonton bioskop. Sejauh ini, hal yang diizinkan hanya sebatas berpegangan tangan dan berangkulan, selebihnya dilarang. But who knows? Lagi pula, siapa bisa menjamin si klien bukan seorang psikopat?

Perkembangan teknologi memang telah mengubah segalanya, dari pendidikan, pekerjaan, hingga pola hubungan sosial. Hiperkonektivitas di era digital ini membuat relasi pergaulan manusia kini semakin luas dan nirbatas. Kita dapat bercakap-cakap dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, tidak lagi terikat ruang, jarak, dan waktu. Namun, semua itu tidak lantas membuat kualitas hubungan sesama manusia semakin meningkat. Pola relasi semacam itu tidak menjadikan kita mengenal pribadi satu sama lain. Kita tetaplah makhluk yang saling terasing. “Hubungan sosial di dunia maya itu palsu, bro,” ujar seorang kawan sedikit nyinyir.

Pernyataan yang tidak sepenuhnya salah. Apalagi, kalau kita kaitkan dengan bisnis pacar sewaan yang marak diberitakan belakangan ini. Hal yang paling mendasarinya tentu saja uang. Pertanyaannya, sebegitu keringkah relasi sosial dengan lingkungan di sekitarnya sehingga seseorang harus menghubungi jasa penyewaan semacam ini? Apakah si klien betul-betul sedang mencari jodoh atau saking frustrasinya karena lama menjomlo? Atau jangan-jangan cuma iseng biar terlihat hebat bisa gonta-ganti pacar? Apa si pengelola rental pacar sewaan itu juga mewawancarai motivasi si klien terlebih dahulu?

Tentu, banyak pertanyaan kritis lainnya yang dapat kita lontarkan terkait dengan fenomena itu. Apalagi, bagi mereka yang berperan sebagai orangtua. Menjadi orangtua di zaman sederhana saja sudah cukup sulit, siapa pun yang punya anak pasti tahu itu. Apalagi, di era digital saat ini membuat segalanya serbapraktis. Namun begitu, peran orangtua kiranya tetap dibutuhkan. Bahkan, mereka harus lebih terlibat jika ingin memastikan putra-putri mereka tidak melakukan kesalahan, baik di dunia nyata maupun maya, sehingga tidak mempermalukan nama baik keluarga ataupun merusak masa depan mereka.

Di zaman yang memaksa anak-anak kini menjadi lebih cepat dewasa dari usia fisik mereka, orangtua kiranya perlu menyadari bahwa cara terbaik untuk menolong putra-putri mereka ialah mengingatkan tentang bahaya yang mengintai di luar sana, terutama terkait dengan privasi dan keamanan data. Percayalah, cara lama orangtua (dan guru) bicara dari hati ke hati dengan anak tetap akan sangat berguna meski zaman dan perkembangan teknologi semakin canggih. Jangan sampai nanti malah muncul bisnis orangtua sewaan. Wasalam.


Sumber: mediaindonesia.com