PADA 15 Desember 2022, pemerintah dan DPR bersepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) menjadi UU P2SK. Proses pembuatannya dengan metode omnibus law. Salah satu UU yang direvisi ialah UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), khususnya program jaminan hari tua (JHT) dan program jaminan pensiun (JP).
Muatan UU P2SK terdiri atas 27 Bab dan 341 Pasal. Bab XII UU P2SK memuat tentang Dana Pensiun, Program Jaminan Hari Tua (JHT), dan Program Pensiun yang terdiri atas 68 Pasal. Pasal 188 mengatur hal baru program JHT dengan merevisi Pasal 36, 37, dan 38 UU SJSN. Pasal 189 mengatur tentang harmonisasi program pensiun, termasuk pengaturan program pensiun yang bersifat wajib yang mencakup program JHT dan program JP yang merupakan bagian dari SJSN.
Itu merupakan upaya pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja pada hari tua dan memajukan kesejahteraan umum serta menata SJSN guna mendukung pengembangan dan penguatan sektor keuangan. Pemerintah dan DPR mengakui bahwa pekerja merupakan subjek pembangunan yang sangat berperan dalam sektor keuangan melalui program jaminan sosial.
Namun, pembahasan UU P2SK dilakukan dengan cepat dan tertutup serta tidak melibatkan masyarakat, khususnya serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) terkait Bab XII. Seharusnya pemerintah dan DPR melibatkan masyarakat sesuai amanat Pasal 96 UU No 13 Tahun 2022 sehingga tidak mengulang pembentukan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi karena minimnya keterlibatan masyarakat.
Apalagi program JHT merupakan isu sensitif bagi kalangan SP/SB dan pekerja mengingat hadirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2 Tahun 2022 tentang JHT menjadi polemik yang memicu aksi demonstrasi kalangan SP/SB. Pada akhirnya, Menteri Ketenagakerjaan merevisi Permenaker No 2 Tahun 2022 menjadi Permenaker No 4 Tahun 2022, yaitu memperbolehkan kembali pencairan dana JHT sebulan setelah pekerja mengalami PHK.
Pasal 188 UU P2SK membagi dana JHT menjadi dua akun, yaitu akun utama (AU) dan akun tambahan (AT), dengan komposisi AU lebih besar dari AT. Dana pada AU hanya bisa dicairkan saat pekerja memasuki masa pensiun, cacat total tidak bisa bekerja kembali, serta meninggal dunia. Bila terdapat kepentingan mendesak, peserta JHT dapat mengambil sebagian atau seluruh dana JHT pada AT. Pasal 188 akan mengatur kembali pencairan dana JHT pada Permenaker No 4 Tahun 2022, yaitu pekerja hanya bisa mencairkan dana di AT, tidak bisa mencairkan seluruh dana JHT pasca-PHK.
Ketentuan itu akan beroperasi bila tiga peraturan pemerintah (PP) yang diamanatkan Pasal 188 UU P2SK sudah disahkan. Ketiganya, yaitu PP tentang besaran proporsi iuran yang ditempatkan pada AU dan AT, PP tentang manfaat JHT serta hasil pengembangan dana JHT, dan PP tentang besaran iuran JHT. Merujuk Pasal 339 ayat (1), PP tersebut ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU P2SK diundangkan. Pembentukan 3 PP tersebut dapat dikemas dalam satu PP.
Melibatkan serikat pekerja
Penetapan dua akun tersebut merupakan solusi atas polemik antara Permenaker No 2 Tahun 2022 dan Permenaker No 4 Tahun 2022. Pasal 188 tersebut mendukung pekerja dan keluarganya melakukan consumption smoothing (CS) untuk mencapai keseimbangan antara pembiayaan kebutuhan saat ini dan tabungan masa depan. Itu merupakan upaya pemerintah dan DPR untuk memastikan masyarakat lansia terhindar dari kemiskinan.
Belajar dari polemik Permenaker No 2 Tahun 2022, pemerintah harus membangun komunikasi yang intens dengan SP/SB untuk menjelaskan ketentuan baru JHT, termasuk menyosialisasikan dan mengedukasi pekerja. Pemerintah pun harus melibatkan SP/SB dalam pembahasan PP. Pemerintah harus mematuhi Pasal 96 UU No 13 Tahun 2022. Penting bagi SP/SB untuk merumuskan pokok-pokok pikiran dan usulan pasal per pasal dalam PP tersebut.
Tentang iuran, untuk meningkatkan manfaat JHT, baik di AU maupun AT. Maka itu, perhitungan iuran JHT harus berbasis pada upah yang terdiri atas upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, tanpa ada pembatasan upah, termasuk mengakomodasi penambahan iuran top up yang bersifat sukarela. Selain itu, besarnya iuran JHT dievaluasi secara berkala setiap tiga tahun dengan pentahapan besaran iuran menuju 8%, seperti penahapan pada iuran JP.
Terkait manfaat, saat ini program JHT baru memberikan manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan kepada pekerja peserta JHT. Manfaat JHT harus mampu membantu dua kebutuhan utama pekerja lainnya, yaitu pangan dan transportasi. Oleh karenanya, SP/SB harus menggagas hadirnya MLT pangan dan transportasi dalam PP. Dana pada AU yang ditempatkan dalam investasi jangka panjang berpotensi memberikan imbal hasil investasi lebih besar yang dikembalikan kepada pekerja untuk menambah saldo JHT-nya dan dapat mendukung MLT pangan dan transportasi.
Tentang proporsi iuran pada AU dan AT, iuran 3,7% yang dibayarkan pemberi kerja dapat ditempatkan pada AU, sementara iuran 2% dari pekerja ditempatkan pada AT. Dengan meningkatkan basis upah untuk iuran dan adanya kenaikan iuran JHT secara berkala, itu akan menambah jumlah AT yang dapat dicairkan pekerja.
Untuk memastikan manfaat JHT dapat diakses seluruh pekerja, PP harus mengatur kepesertaan wajib JHT bagi pekerja dalam usaha mikro, non-ASN, pekerja migran Indonesia, pekerja jasa konstruksi, dan pekerja bukan penerima upah. Perbaikan regulasi tersebut harus disertai dengan peningkatan pengawasan dan penegakan hukum.
Semakin banyak pekerja yang menjadi peserta JHT akan mendukung penurunan angka kemiskinan masyarakat lansia, semakin besar dana JHT mendukung sektor keuangan Indonesia. Pembangunan Indonesia akan ditopang secara signifikan oleh dana pekerja pada jaminan sosial ketenagakerjaan. Babak baru JHT dalam UU P2SK menjadi momentum peningkatan kualitas pekerja pada saat bekerja ataupun pascapensiun dan kemandirian membangun bangsa.
Sumber: mediaindonesia.com