MICE  

Pendidikan Sejarah Lokal dan Involusi Nasionalisme

INDONESIA sudah menikmati kemerdekaan hampir satu abad, tetapi nasionalisme masyarakat Indonesia belakangan mengalami involusi. Alih-alih menjadi penggerak kemajuan dan perajut kebinekaan, nasionalisme sering disalahpahami–kalau bukan diselewengkan.

Benedict Anderson mengingatkan setidaknya ada dua kesalahan dalam memahami nasionalisme. Pertama, kesalahpahaman memahami ‘bangsa’ dan ‘negara’ sebagai dua hal yang mirip. Padahal, kenyataan sejarah justru berlawanan. Setidaknya 85% gerakan nasionalis di dunia justru memulai perjuangannya sebagai sebuah gerakan antinegara yang korup. Sebab itu, dalam batas tertentu, kita harus memahami logika separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka atau Papua Merdeka yang pernah terjadi karena banyak orang yang kehilangan kepercayaan terhadap negara. Kesalahan kedua, nasionalisme hanya dipahami sebagai kejayaan nenek moyang. Padahal, nasionalisme ialah proyek bersama yang berorientasi pada masa depan. Mengglorifikasi masa lalu akan menjebak kita pada involusi nasionalisme.

Agaknya masalah itu berdasar pada pendidikan kita mengenai nasionalisme yang hanya berfokus pada narasi perjuangan pembentukan negara modern. Sementara itu, hal yang lebih mendasar mengenai nilai nasionalisme, utamanya ialah tentang kebinekaan, kurang mendapat perhatian.

 

Lompatan kebinekaan

Sulit bagi Indonesia untuk melangkah ke depan bila narasi nasionalisme pada pendidikan nasional hanya bertatar pada kisah perjuangan. Alih-alih menimbulkan semangat berjuang, nasionalisme yang diajarkan demikian bisa menjadi potensi perpecahan, seperti yang sudah terjadi dalam beberapa kasus. Itu disebabkan nasionalisme tidak selesai pada kisah perjuangan, ia terus berubah bentuk dalam rajutan kebinekaan dan berorientasi pada masa depan.

Saat ini bentuk semangat nasionalisme yang patut diperjuangkan ialah komitmen terhadap demokrasi. Komitmen itu berorientasi pada kemajuan bangsa di masa depan. Itu juga selaras dengan akar demokrasi Indonesia yang menurut Peter Carey telah tertanam sejak dimulainya kebangkitan nasional yang melawan unsur feodalisme sambil memperjuangkan kemerdekaan nasional. Indonesia mendapatkan demokrasi dari perjuangan antikolonial yang pascakemerdekaan dilanjutkan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer, lalu diselewengkan elite, dan kembali tumbuh pascareformasi.

Perkembangan politik terhadap demokrasi yang seperti berjalan di tempat membuat kita terjebak pada narasi kemajuan. Itu disebabkan pemahaman mengenai kebinekaan sebagai unsur utama demokrasi hanya dipahami dalam fakta an sich, bukan pada akar mengenai terbentuknya kebinekaan itu. Pemahaman kebinekaan seperti itu tidak melihat masa lalu dan masa depan.

Dalam hal ini, penguatan pendidikan mengenai sejarah lokal bisa menjadi lompatan bagi kemajuan kebinekaan dan transisi menuju demokrasi yang sehat. Banyak dari kita yang belum mengenal secara baik unsur-unsur kemajuan kita di masa lalu. Misal, siapa menyangka pendahulu kita banyak memproduksi produk-produk kesehatan yang manjur. Dalam segi ekonomi, beberapa daerah memiliki tradisi wiraswasta yang kuat.

Di Aceh, tradisi niaga yang kuat bisa kita lihat, misalnya, dari naskah Ma Baina Salatin. Dalam aturan Kerajaan Aceh, tampak masyarakat Aceh berniaga banyak produk, seperti minyak atsiri, barus, cengkih, bahkan ganja. Begawan sejarah Kuntowijoyo menilai bila terdapat kontrafakta historis yang tidak ada kolonialisme mendalam, Indonesia sebenarnya bisa memiliki kelas borjuasi muslim pribumi yang genuine tidak berjarak dengan masyarakat akar rumput maupun menengah, seperti yang terjadi di Turki.

Dalam pengelolaan tata negara yang plural, kesultanan Islam Nusantara bisa menjadi inspirasi. Di Sumenep, misalnya, dalam logo kesultanan saja selain terdapat siluet bulan bintang, terdapat simbol seperti salib, mahkota, perisai, baju besi yang mencerminkan kebudayaan Eropa. Masjid agung peninggalan Kesultanan Sumenep yang mayoritas berwarna hijau dan kuning juga banyak mencerminkan arsitektur Tiongkok. Salah satu Sultan Sumenep yang bisa menjadi inspirasi dalam mengembangkan pluralisme sebagai unsur kemajuan dan dapat dikaji ialah Sultan Abdurrahman yang menguasai banyak bahasa (poliglot) sehingga dipercaya mengasistensi Raffles dalam menulis History of Java.

 

Sejarah lokal dan tradisi demokrasi

Bila kisah-kisah masa lalu Nusantara yang majemuk itu menjadi muatan pendidikan nasional yang diwajibkan di setiap sekolah melalui otoritas pendidikan daerah, itu akan menjadi lompatan bagi kemajuan pemahaman tentang kebinekaan dan demokrasi. Transisi menuju demokrasi yang diperumit elite politik—dan dalam beberapa momentum menimbulkan semangat separatis—secara bertahap akan terselesaikan. Itu karena demokrasi tidak lagi dibangun elite, tetapi dari bawah. Faktornya bukan hanya ekonomi seperti yang terjadi pada 1998, melainkan juga pandangan dunia terhadap kebudayaan, dan ini lebih mengakar.

Demokrasi bukan lagi menjadi alat, melainkan bertransformasi menjadi tradisi besar (family culture) masyarakat Indonesia. Secara politik, demokrasi sebagai sebuah sistem dan alat perjuangan muncul pada era pergerakan nasional. Secara ekonomi, demokrasi berkembang dari tuntutan rakyat. Secara kebudayaan, demokrasi tumbuh dari tradisi mengenai kemajemukan dan kekayaan sejarah Nusantara.

Pendidikan sejarah lokal akan menjadi paket lengkap kemajuan demokrasi Indonesia dan dengan sendirinya menguatkan nasionalisme sebagai unsur yang mendorong kemajuan. Kita tidak perlu takut untuk memajukan muatan sejarah lokal pada pendidikan. Sebagian kalangan khawatir bahwa pendalaman sejarah lokal pada pendidikan memunculkan semangat separatisme. Namun, pengalaman Jepang, Inggris, Turki, maupun Korea mengalami kemajuan karena mereka memperkuat pendidikan sejarah lokal.

Jepang dapat memajukan agrikultur, arsitektur, perikanan, sampai kesehatan karena mereka belajar dari sejarah lokal mereka. Di Turki, muatan dan riset yang banyak mengenai berbagai aspek sejarah menguatkan nasionalisme dan membuat mereka tahan banting meskipun dikelilingi negara-negara konflik, seperti Iran, Irak, Suriah, Yunani, Armenia, dan negara-negara Balkan.

Di Indonesia, kesadaran tentang kemajuan daerah mulai menguat pascareformasi dengan kehadiran kebijakan otonomi daerah. Meskipun pada aspek politik dan ekonomi berada pada tujuan yang tepat, nahasnya kebijakan itu memperparah catatan masalah Indonesia. Kesadaran tentang kemajuan daerah belum diiringi penguatan budaya.

Dalam hal ini, peran anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai senator daerah bisa dimajukan. Sebagai instrumen yang berfungsi khusus memajukan kebijakan otonomi daerah, mereka bisa mendorong berbagai riset yang objektif mengenai sejarah lokal. Riset-riset itu akan menjadi muatan dasar bagi kemunculan kearifan-kearifan lokal, terlebih ada tindak lanjut untuk menjadikannya populis melalui buku-buku ajar dan akademik, film, kartun, serta promosi-promosi lainnya. Lebih jauh, penguatan sejarah lokal pada pendidikan membawa Indonesia pada lompatan demokrasi yang berkualitas dan berkemajuan.


Sumber: mediaindonesia.com