Indeks
MICE  

Optimisme Indonesia dalam Berdaulat Pangan

RESESI yang diprediksi bakal hadir pada 2023 tidak membuat optimisme chef Ragil Imam Wibowo, 51, surut. Baginya, Indonesia harus berdaulat pangan, bukan sekadar ketahanan pangan. Dia justru sangat percaya diri Indonesia tidak akan mengalami resesi, tetapi hanya perlambatan, khususnya pada sektor pangan.

“Indonesia berdaulat pangan, kita punya semuanya, memiliki sumber bahan makanan yang cukup untuk kebutuhan penduduk Indonesia,” ucapnya dalam acara Pangan Lokal Antiresesi yang diselenggarakan Jalansutra, Sabtu (10/12).

Dia menambahkan asal tidak dipaksa harus mengonsumsi satu produk, misalnya beras, penduduk Indonesia bisa memilih sendiri bahan makanan, seperti ubi, singkong, pisang, dan sorgum. “Penduduk Indonesia Timur, jika di zaman lalu tidak ‘dipaksa’ mengonsumi nasi, sekarang mungkin mereka tetap aman secara pangan. Demikian juga dengan hutan yang lestari dan menyediakan bahan makanan. Orang yang mengandalkan hutan untuk pangan tidak membutuhkan uang,” katanya

Terkait konsumsi karbohidrat, dia juga berkisah telah hampir 20 tahun menjauhi nasi, gula, dan terigu. Selain alasan kesehatan agar gula darahnya stabil, dia juga memang punya keinginan kuat untuk diet ketiganya. “Jika terpaksa saya ingin nasi, saya akan pilih beras yang terenak, seperti beras adan krayan dari Kalimantan Utara atau beras dari Gorontalo,” tambah dia.

Meski demikian, dia tidak menafikan harga beras dari berbagai daerah setiba di Jakarta menjadi relatif mahal jika dibandingkan dengan harga beras pada umumnya. “Beras biasa pun sebenarnya juga mahal tanpa intervensi pemerintah. Selain beras dari berbagai daerah, sorgum juga relatif mahal, tetapi jika saya bisa memberi usul pada pemerintah, cobalah diintervensi dari segi logistiknya supaya lebih banyak orang bisa menikmati. Pemerintah daerah bahkan bisa saja bekerja sama dengan maskapai penerbangan. Itu pernah dilakukan pemerintah daerah di Halmahera Barat,” ucapnya.

Bahan lokal

Pendiri dan pemilik Restoran Nusa Indonesian Gastronomy itu juga memberikan solusi agar keluarga bersiap jika perlambatan ekonomi terjadi di Indonesia. “Solusinya adalah belanja bahan makanan secukupnya, konsumsi makanan yang beragam, dan menggunakan bahan lokal.”

Baginya, tradisi memasak di rumah juga harus tetap dilestarikan. “Memasak dan mengonsumsi makanan dari rumah akan membuat kita semakin berdaulat pangan. Selain itu, rumah akan menjadi memori rasa pertama bagi anggota keluarga,” katanya seusai mendemokan membuat swamening, makanan khas Papua.

Chef yang mengaku mudah bosan itu, kini sedang sibuk mengerjakan proyek pembuatan buku yang didanai Ambassador Fund-US Embassy. Proyek tersebut telah separuh jalan meriset masakan-masakan daerah yang hampir punah. Sedikitnya 15 perjalanan ke berbagai daerah telah dijalani dirinya dan sang istri, Meilati Batubara. “Ada masakan Aceh yang sudah sangat sulit dimasak karena menggunakan biji ganja selain tempoyak. Kemudian di Padang kami menemukan sambal tulang, mereka menyebutnya memahat tulang. Membuat sambal dengan tulang sapi sebagai umaminya.”

Terakhir, dia bercerita bahwa orang di daerah sangat senang berbagi resep. “Karena mereka bangga ada orang luar daerah yang tertarik mencoba masakan mereka, apalagi berusaha membuatnya,” tutup chef Ragil. (H-3)


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version