MICE  

Nuklir Iran, Sikap Arab, dan AS

HUBUNGAN Iran dengan Arab Saudi dan UEA memburuk kembali terkait dengan program nuklir Iran, isu perbatasan Iran-UEA, dan demonstrasi rakyat Iran. Pada 11 Desember lalu, dalam Konferensi Kebijakan Dunia di Abu Dhabi, Menlu Saudi Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud menyatakan, jika Iran memperoleh senjata nuklir yang operasional, Saudi akan mengambil langkah yang sama untuk menopang keamanan mereka.

Pada hari yang sama klaim UEA atas tiga pulau di mulut Selat Hormuz, yaitu Tunb Besar, Tunb Kecil, dan Abu Musa, didukung Tiongkok, sahabat Iran. Ketika UEA masih di bawah protektorat Inggris, tiga pulau itu dikuasai Inggris. Namun, pada 1971 saat Inggris meninggalkan UEA, Syah Iran Mohammad Reza Pahlevi mengirim kapal perang untuk menduduki pulau-pulau strategis itu. Sejak itu, hubungan Iran-UEA selalu mengalami pasang surut.

Terkait dengan demonstrasi rakyat Iran, Teheran menuduh Saudi bersama AS, Inggris, dan Israel sebagai otaknya. Tuduhan Iran itu tentu saja mengecewakan Saudi yang sebenarnya ingin memulihkan hubungan dengan tetangga mereka itu. Hubungan Riyadh-Teheran terputus sejak 2016 menyusul eksekusi mati ulama Syiah Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr, yang didukung Iran. Eksekusi terhadap Nimr dikecam pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Segera setelah itu, sejumlah pemuda militan membakar Kedutaan Besar Saudi di Teheran. Tak pikir panjang, Saudi memutuskan hubungan diplomatik.

Putusan diplomatik itu hanyalah puncak gunung es. Sejak Revolusi Iran 1979, kontestasi Saudi dan Iran dalam memperebutkan pengaruh di Timur Tengah terus berlangsung. Namun, intensitasnya bergantung pada ideologi presiden yang memimpin Iran dan siapa yang memimpin Gedung Putih.

Ketika Iran dipimpin Pesiden Mohammad Khatami yang moderat (1997-2005), hubungan Iran-Saudi membaik. Sebaliknya, saat Mahmoud Ahmadinejad yang konservatif memimpin Iran (2005-2013), hubungan Teheran-Riyadh memburuk. Dalam memperebutkan pengaruh, Iran memimpin poros bulan sabit Syiah yang meliputi Iran, Irak, Suriah, dan Libanon. Sementara itu, Saudi memimpin poros status quo yang terdiri dari Saudi, UEA, Bahrain, Mesir, dan Yordania.

Ketika berkuasa, Presiden AS Barack Obama melakukan deeskalasi dengan Iran. Ada dua alasan di baliknya. Pertama, AS butuh Iran dalam menstabilkan Irak pascakejatuhan rezim Presiden Saddam Hussein dan upaya memerangi Islamic State (IS). Kedua, AS ingin menghentikan program nuklir Iran melalui jalan diplomasi. Karena itu, setelah melalui perundingan panjang dan melelahkan, pada 2015 tercapai kesepakatan nuklir Iran, nama resminya Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), antara Iran dan AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Prancis, plus Jerman (P5+1). JCPOA mengharuskan Iran membatasi program nuklir mereka dengan imbalan Teheran bebas mengekspor minyak dan gas mereka ke pasar global.

 

Pemerintahan Donald Trump 

Kesepakatan itu disambut komunitas internasional. Namun, Saudi, UEA, Bahrain, dan Israel kecewa. Mereka ingin JCPOA mencakup larangan Iran mengembangkan program rudal balistik dan keharusan mereka mundur dari negara-negara Arab yang dikangkangi mereka melalui pembentukan milisi-milisi Syiah bersenjata di Irak, Suriah, dan Libanon. Tanpa mencakup dua poin itu, kebebasan Iran mengekspor energi mereka ke pasar global justru membuat mereka lebih leluasa menjalankan politik regional yang agresif dan ekspansif.

Presiden AS Donald Trump menjawab keprihatinan sekutunya di Timur Tengah. Pada 2018, AS mundur dari JCPOA, diikuti sanksi ekonomi yang melumpuhkan guna memaksa Iran merundingkan kembali JCPOA dengan memasukkan dua klausul di atas. Tindakan Trump memorak-porandakan ekonomi Iran. Namun, bukannya tunduk pada kemauan AS, Iran malah meningkatkan kadar uranium hingga 60% dan menimbun stok mereka, yang jauh melebihi ambang batas yang dibolehkan JCPOA. Tindakan Iran bertujuan meningkatkan bargaining power mereka vis a vis AS.

Lebih jauh, Iran diduga menyerang tanker-tanker internasional di dekat Selat Hormuz, tempat lalu-lalang lusinan tanker yang mengangkut minyak dan gas dari Teluk ke Eropa dan Asia. Malah, serangan terhadap instalasi minyak Aramco di Saudi, yang untuk beberapa hari memotong produksi minyak negeri itu hingga setengahnya, diduga kuat dilakukan Iran. Memang, sebelumnya Iran telah mengancam akan mengganggu ekspor energi Arab Teluk bila mereka tak dibolehkan menjual energi mereka ke pasar global.

Eskalasi Iran-AS hampir saja berujung perang terbuka ketika pada 2020 Trump memerintahkan serangan dengan drone terhadap Jenderal Qassem Sulaimani, komandan pasukan elite Quds. Jenderal legendaris itu pun tewas di tempat. Iran membalas dengan menembakkan puluhan rudal ke pangkalan militer AS di Irak. Memang tak ada personel militer AS yang tewas karena Iran sengaja mengumumkan rencana serangann mereka untuk memungkinkan tentara AS menjauhi target serangan. Namun, lebih dari seratus tentara AS menderita gangguan saraf akut.

 

Pemerintahan Joe Biden

Dalam rangka berfokus pada kawasan Indo-Pasifik untuk membendung Tiongkok yang makin agresif dan asertif, sekali lagi AS melakukan deeskalasi di Teluk. Pertama, Biden menyatakan AS tak lagi membantu koalisi Arab (Saudi dan UEA) memerangi milisi Syiah Houthi dukungan Iran di Yaman. Biden mendorong penyelesaian diplomatik melalui perundingan antara Iran dan koalisi Arab.

Sejak April 2021, telah berlangsung empat perundingan rahasia antara Iran dan Saudi di Baghdad. Namun, tak ada kemajuan signifikan. Saudi bersedia mengakhiri perang bila Iran juga menghentikan bantuan mereka ke Houthi. Memang secara geopolitik, bila Yaman jatuh ke dalam pengaruh Iran, halaman belakang Saudi menjadi rawan, yang dapat mengganggu keamanan mereka.

Selain isu Yaman, Biden pun ingin memulihkan JCPOA. Karena itu, sejak April 2021 Iran terlibat perundingan dengan P5+1 di Wina, Austria. Perundingan mengalami banyak kemajuan. Namun, sejak Juni, perundingan terhenti total ketika perundingan Iran-AS di Doha, Qatar, tak mengalami kemajuan. Ada dua poin yang sulit dipenuhi AS. Pertama, tuntutan agar AS mencabut Korps Garda Republik Islam dari daftar pendukung terorisme yang dibuat Trump. Kedua, agar AS tidak lagi menuntut Iran menjelaskan jejak-jejak uranium buatan manusia di masa lalu, di situs-situs nuklir yang tidak dideklarasikan Iran. Buntunya pemulihan JCPOA tentu saja menggembirakan Saudi, UEA, dan Israel.

Namun, dalam rangka meningkatkan political leverage mereka, Iran malah meningkatkan kembali kadar pengayaan uranium tanpa pengawasan IAEA lagi. Terutama, setelah Iran mencopot kamera pengintai IAEA dan menggunakan kembali sentrifugal canggih yang dilarang JCPOA. Aktivitas Iran itu tentu saja mengkhawatirkan negara-negara Arab Teluk dan AS karena Iran hanya memerlukan sedikit langkah lagi untuk membuat bom nuklir. Apalagi, Iran telah menguasai sepenuhnya iptek nuklir.

Dalam konteks itulah pernyataan Menlu Saudi di atas bisa dipahami.

Perundingan dengan Iran bertambah sulit ketika AS, Inggris, dan UE membanjiri mereka dengan sanksi baru terkait dengan penjualan drone Iran ke Rusia dan sebagai respons atas penegakan hukum yang keras oleh rezim Iran terhadap para demonstran terkait dengan kematian Mahsa Amini di tangan polisi moral.

 

Penutup

Eskalasi di Teluk berlangsung di tengah keprihatinan dunia atas realitas pandemi covid-19 yang memukul perekonomian global. Belum lagi masalah itu teratasi, terjadi perang Rusia-Ukraina yang menciptakan krisis energi dan pangan, dan memicu inflasi di mana-mana. Bahkan, diprediksi dunia akan memasuki resesi tahun depan. Belum lagi isu perubahan iklim. Semua itu memerlukan kerja sama internasional untuk mengatasinya. Dus, eskalasi di Teluk, apalagi berujung perang, sangat tidak diharapkan. Timur Tengah, terutama dunia, tak mampu lagi memikul perang baru. Untuk itu, semua pihak harus kembali ke asal sehat. Perang selalu menghancurkan dan menimbulkan penderitaan manusia.


Sumber: mediaindonesia.com