MICE  

Nasib Transisi Energi di Tahun Penuh Bahaya

PADA pidato di perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-19, 17 Agustus 1964, Presiden Soekarno pernah menyebutkan tentang hidup di tahun-tahun bahaya (tahun-tahun vivere pericoloso/Tavip, years of living dangerously). Hal ini secara gamblang dapat merujuk pada situasi dunia internasional saat itu, yang diliputi kabut perang dingin (cold war) antara blok Barat dan blok Timur beserta seluruh ketegangannya. 

Di dekade tersebut, tercatat sejumlah peristiwa geopolitik, di antaranya krisis dari konflik senjata nuklir di Kuba dan dimulainya perang Vietnam. Dalam pidatonya, Bung Karno mengajak bangsa Indonesia bersiap menghadapi tahun-tahun yang tidak mudah.   

Tahun-tahun vivere pericoloso, jika dilihat lebih jauh sedikit, berlanjut pada tahun-tahun setelah Bung Karno wafat. Untuk pertama kalinya dunia internasional menghadapi krisis geopolitik energi pertama dalam sejarah, yaitu oil shock 1973 yang merepresentasikan tensi ekonomi-politik antara negara-negara produsen energi di kawasan Teluk, serta negara-negara konsumen di global north atau negara-negara industri maju dalam mengamankan suplai serta harga energi minyak.  

Jika melihat lebih jauh lagi, kita dapat melihat jargon tahun-tahun vivere pericoloso telah melampaui zamannya serta ada di masa-masa sekarang ini. Tahun krisis yang berbahaya itu adalah 2022. Peristiwa-peristiwa penting global setelah oil shock 1973 hanya perantara saja. Kita bisa melihat pada akhirnya perang dingin berakhir, hingga membentuk tatanan internasional yang terombang-ambing di antara karakteristik unipolar (didominasi AS sebagai satu kekuatan global) dan multipolar (munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru). Kita lalu menyaksikan krisis-krisis besar di setiap dekade pascaperang dingin, yaitu dua krisis ekonomi pada 1997 dan 2008, serta pandemi covid-19 di 2022. 

Tahun penuh bahaya

Tahun 2022 menjadi tahun penuh bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). Dunia internasional yang baru mencoba pulih setelah dihantam krisis pandemi harus terpukul lebih keras lagi oleh triple krisis; pangan, energi, dan finansial. Hal ini dipicu sebagai dampak kelanjutan invasi Rusia ke Ukraina, dan perang lanjutan yang masih berlangsung hingga saat ini. Peristiwa geopolitik tersebut berdampak pada rantai pasokan global serta bagi perekonomian negara-negara maju maupun berkembang.

 

Dengan pentingnya momentum pulih dari pandemi global di 2020 dan 2021, Presidensi G-20 Indonesia 2022 mengangkat tema utama Recover together, recover stronger (pulih bersama, bangkit lebih kuat) dengan tiga pilar utama yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi berkelanjutan. Mulusnya proyeksi hasil-hasil G20 berlangsung di triwulan pertama 2022, namun segera menghadapi situasi persidangan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya.

 

Negara-negara terutama anggota G-20 yang merupakan forum kekuatan ekonomi terbesar mulai mengabaikan kerangka multilateral mereka untuk memperkuat pencapaian tujuan-tujuan global. G-20 menjadi ajang kumpulan ketegangan dan perdebatan kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang bersinggungan dan tersirat upaya untuk saling menjegal. Walaupun begitu, dokumen-dokumen konsensus lainnya tetap dapat dihasilkan G-20 2022 seperti Bali Compact yang lahir dari forum Energy Transitions Working Group (ETWG) dan Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM).

 
Bali Compact merupakan dokumen kompilasi prinsip-prinsip transisi energi pertama sepanjang penyelenggaraan forum transisi energi ETWG-ETMM G-20, dalam upaya mempercepat transisi energi serta menjamin ketahanan energi dalam mencapai tujuan jangka menengah (agenda 2030 SDGs) maupun jangka panjang (net zero emission/carbon neutrality masing-masing negara).  

Pada geopolitik energi, situasi geopolitik energi saat ini sangatlah berbeda dengan oil shock 1973. Pada konsep dasar dari pemikir klasik kajian strategis Mahan (1914), geopolitik mengacu pada persaingan dan tensi politik antarnegara dalam mengamankan teritorinya, baik daratan maupun lautan. Pada oil shock 1973, geopolitik telah bergeser pada persaingan ekonomi energi dalam mengakses sumber daya minyak bumi.

 

Saat ini, perspektif geopolitik tersebut sudah sangat jauh berkembang. Persaingan geopolitik energi saat ini bukan lagi hanya minyak bumi, ataupun juga gas dan batubara. Tensi geopolitik internasional saat ini berkaitan erat dengan agenda perubahan iklim, transisi energi, pengembangan energi terbarukan, serta upaya mengamankan rantai pasok mineral kritis (critical minerals) yang sangat vital untuk pengembangan teknologinya, seperti pertama kali dikemukakan oleh O’Sullivan et.al (2017) dari Universitas Harvard.     

 
Bisakah optimistis?

‘Musim dingin’ yang direpresentasikan oleh krisis global belum lagi akan segera berakhir. Pada 2023, IMF hanya memproyeksikan perekonomian global akan tumbuh sebesar 2,9%. Di tahun krisis 2022 ini, IMF sampai harus beberapa kali merevisi tingkat pertumbuhan ekonomi global dari tadinya 4,4% menjadi 3,8% pada April 2022, lalu turun lagi menjadi 3,2% pada Juli 2022. 

Kita juga dapat meihat contoh pada tujuan global SDG energi (SDG7). Setelah tahun pandemi 2020, masih terdapat sebanyak 2,4 miliar penduduk dunia tanpa akses pada energi bersih untuk memasak (clean cooking), serta 730 juta penduduk dunia tanpa akses listrik.

Situasi-situasi ini tentu tidak dapat diabaikan. Masyarakat internasional melalui forum-forum internasional dapat menyuarakan untuk menghentikan konflik internasional serta memitigasi dampak-dampaknya. Melalui forum G-20 sebagai the most premier economic forum, Indonesia kepemimpinan Indonesia di G-20 penting dalam beberapa hal strategis.

Indonesia dapat menetapkan dasar-dasar agenda global pada pentingnya mengisi dekade aksi (decade of action) untuk mencapai agenda 2030 SDGs, yang menjadi suara negara-negara berkembang dalam mengejar level pembangunan serta tujuan-tujuan global. Perlu diingat, Presidensi G-20 Indonesia merupakan presidensi pertama yang mengawali empat presidensi G-20 berturut-turut dari negara berkembang, yaitu India 2023, Brazil 2024, dan Afrika Selatan 2025. 

Dengan demikian melalui leadership Indonesia di G-20, dekade aksi dapat diisi. Presidensi G-20 menjadi legacy, dan tahun-tahun bahaya dapat secara bersama ditangani. Kabar baik, KTT G-20 menyepakati Deklarasi Bali berisi 52 poin deklarasi yang disahkan sebelum penyampaian keketuaan G20 dari Presiden Joko Widodo kepada Perdana Menteri India Narendra Modi, Rabu (16/11/2022). 

Dari 52 poin kesepakatan, ada dua poin khusus terkait sektor energi yang mana para pemimpin G-20 menyepakati untuk mempercepat dan memastikan transisi energi yang berkelanjutan, adil, terjangkau, dan investasi inklusif. Bali Compact dan peta jalan transisi energi Bali juga disepakati menjadi panduan untuk mencari solusi mencapai stabilitas pasar energi, transparansi, dan keterjangkauan.

Dalam konferensi pers yang disampaikan Presiden Jokowi, disampaikan pula bahwa beberapa komitmen pendanaan untuk pengembangan transisi energi di Indonesia disepakati dalam forum G-20 tahun ini, termasuk just energy transition partnership (JETP). Hal ini ditambah dengan proyek-proyek potensial dan proyek-proyek yang sedang berjalan dengan beragam mitra dan pemangku kepentingan dalam transisi energi berkelanjutan, sebagai deliverable konkrit yang dapat ditindaklanjuti. 

Kesemuanya itu menjadi angin segar bagi Indonesia serta sinyal bagus bagi dunia internasional di tengah tahun-tahun bahaya. Sebuah harapan besar bagi akselerasi transisi energi dan aksi iklim negeri ini. 


Sumber: mediaindonesia.com