MUKTAMAR ke-48 Muhammadiyah pada 18-20 November 2022 akan berlangsung di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah. Muktamar mengusung tema Memajukan Indonesia, mencerahkan semesta. Hal itu didasarkan pada pertimbangan pemikiran Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah senantiasa hadir dalam dinamika kehidupan kebangsaan di Indonesia. Dalam konteks kekinian Muhammadiyah terpanggil untuk berkiprah dalam memajukan bangsa dan meluruskan kiblat bangsa yang sedang menghadapi berbagai persoalan di berbagai bidang.
Mencerahkan semesta Muhammadiyah berusaha menebarkan kepak sayapnya melakukan gerakan dalam rangka menghadapi persoalan global. Melalui upaya internasionalisasi gerakan Muhammadiyah dilakukan dalam berbagai bidang, baik dalam rangka memperjuangkan jati diri bangsa sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, perdamaian dunia, dan dakwah dalam kemanusiaan global maupun internasionalisasi pendidikan Muhammadiyah di kancah internasional.
Pada muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, 3-8 Agustus 2015, bertema Gerakan pencerahan menuju Indonesia berkemajuan. Maknanya Muhammadiyah berkomitmen untuk terus melakukan usaha-usaha yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan bangsa dari ketertinggalan menuju Indonesia yang makin maju, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Muhammadiyah juga mengumandangkan ‘jihad kebangsaan’ untuk mengisi dan meluruskan kiblat bangsa yang sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka.
Muhammadiyah memandang penting melakukan rekonstruksi Indonesia berkemajuan dan jihad kebangsaan terhadap praktik politik transaksional, korupsi, pengurasan sumber daya alam, kesenjangan sosial, dominasi kekuatan asing, kerakusan elite, kekerasan, konflik sosial, kerapuhan bangsa, dan salah urus negara. Di samping itu, Muhammadiyah senantiasa berusaha untuk melakukan upaya dalam rangka meluruskan kiblat bangsa di tengah era liberalisasi global.
Kiprah Muhammadiyah
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah bertepatan dengan 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta ialah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur‘an dan As-sunnah berasas Islam. Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah yang disusun dengan majelis-majelis (bahagian-bahagian)-nya, mengikuti peredaran zaman serta berdasarkan syura yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau muktamar.
Secara garis besar, kiprah Muhammadiyah selama satu abad dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia, dapat dilihat dalam berbagai perjuangan, dakwah, amal, dan ijtihad yang telah dilakukan dalam menghadapi persoalan baru. Ijtihad ialah pencurahan segenap kemampuan untuk menggali dan merumuskan ajaran Islam baik dalam bidang hukum, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Majelis Tarjih merupakan lembaga khusus yang membidangi masalah agama yang terdiri atas para ulama Muhammadiyah yang berkompeten di dalam melakukan ijtihad guna menghadapi berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara tegas. Majelis Tarjih tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.
Pada saat sekarang di bidang hukum Muhammadiyah konsen terhadap upaya advokasi hukum untuk membela kaum yang lemah, tertindas, dan terzalimi yang tidak mampu melakukan pembelaan hukum, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Muhammadiyah juga terus melakukan pengawalan dalam bentuk kajian dan masukan terhadap berbagai produk perundang-undangan yang dibuat lembaga legislatif, yakni DPR yang dianggap berbau liberal dan hanya menguntungkan pihak asing atau pengusaha besar dan merugikan bangsa Indonesia.
Kiprah yang lebih luas Muammadiyah tidak lepas dengan peran umat Islam pada umumnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni pemahaman umat Islam akan makna ‘kemerdekaan sebagai rahmat Allah’ yang konsekuensinya harus diisi dengan pembangunan bangsa yang selaras dan sebangun cita-cita luhur yang sesuai dengan nilai-nilai spiritual yang religius sebagaimana yang dikenal dalam ajaran Islam.
Dalam hal ini cita-cita luhur merupakan cita-cita bangsa Indonesia dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat; melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia yang abadi. Untuk itu, penting menghargai dan menghormati hak-hak dasar manusia yang kemudian dituangkan dalam Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur hak asasi manusia (HAM).
Aktualisasi hak-hak dasar diwujudkan dalam berbagai kebutuhan, seperti hak berserikat, berkumpul dan berpendapat, hak hidup sejahtera, hak pendidikan, hak kesehatan, hak atas keyakinan, hak untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi, jaminan pekerjaan dan usaha ekonomi. Upaya penegakan hukum dan advokasi dibutuhkan terhadap praktik ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah yang selama ini menjadi konsen Muhammadiyah melalui teologi Al-maun.
Jihad konstitusi
Muhammadiyah berusaha untuk melakukan jihad konstitusi dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan ideologi, kepentingan bangsa berdaulat dan konstitusi 1945, serta produk hukum yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Beberapa contoh gugatan yang melibatkan peran Muhammadiyah dalam melakukan gugatan ke MK ialah gugatan atas UU Sumber Daya Air (SDA), UU Minyak dan Gas (Migas), UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), UU Rumah Sakit, dan secara perorangan kader Muhammadiyah juga berperan dalam menggugat UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Muhammadiyah dalam melakukan jihad konstitusi merupakan bagian dari usaha untuk menegakkan syariat Islam sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar, yang menjadi kewajiban mutlak bagi setiap warga negara dan warga persyarikatan Muhammadiyah. Jihad konstitusi bagi Muhammadiyah merupakan usaha untuk meluruskan kembali kiblat bangsa yang sepanjang reformasi ini telah banyak melenceng dari ketentuan awal. Hal itu akibat hegemoni paham kapitalis liberal yang memengaruhi sendi-sendi fondasi ideologi dan konstitusi bangsa Indonesia. Pada gilirannya berimbas pada produk hukum, berupa undang-undang yang dibuat banyak yang bercorak liberal.
Dalam hal ini jihad konstitusi berusaha mengkaji kembali undang–undang yang dianggap tidak konstitusional dan memperlebar potensi kekuasaan asing di Indonesia. Jihad konstitusi dilakukan untuk meluruskan produk hukum berupa konstitusi dan undang–undang, yang tidak bercorak kerakyatan dan lebih memihak pada kepentinga global. Sesuatu yang dipandang sebagai konsekuensi terpaan global yang sulit terbendung dan memengaruhi wajah hukum di Indonesia menjadi bersifat liberal-kapitalistik.
Karena itu, menurut hemat kami, ke depan pembangunan hukum, termasuk pembuatan UU tidak hanya urusan kaum elite, yakni pemerintah dan DPR yang bersifat sentralistik dan top down, tetapi perlu masukan dari semua pihak. Muhammadiyah sebagai bagian dari stakeholder dan kekuatan masyarakat sipil lain, terpanggil untuk bahu-membahu memberi masukan nilai tambah, yang sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di bidang hukum.
Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan langkah-langkah strategis dan akomodatif yang bersifat partisipatif dalam upaya melakukan pembuatan ataupun pembaruan hukum. Boleh dikatakan bahwa wajah pembangunan hukum Indonesia merupakan representasi kekuatan masyarakat yang akan diaturnya. Dengan demikian, masyarakat secara sadar akan mematuhinya dan berperan serta dalam memecahkan persoalan-persoalan mendasar bidang hukum. Di sinilah kiprah Muhammadiyah dan jihad konstitusi teramat urgen untuk terus diperjuangkan.
Sumber: mediaindonesia.com