DEPUTI Bidang Promosi Penanaman Modal, Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan mengatakan bahwa kerja sama Korea Selatan dan Indonesia untuk transisi energi ramah lingkungan sudah ditunjukkan melalui beberapa Nota Kesepahaman (MoU), maupun implementasinya, terutama terkait pengembangan baterai, teknologi penyimpanan baterai, dan kemasan baterai untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Produk dari kerja sama ekosistem baterai kendaraan listrik ini, kata Nurul, akan dibangun dengan cukup baik untuk memenuhi permintaan global, termasuk direncanakan untuk memasok hingga ke Amerika Serikat (AS). Sebab Korsel memunyai perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS. Maka ini menjadi strategi memasukam ekspor produk ke AS, mengingat mereka akan membuka perjanjian perdagangan bebas baru dengan negara mana pun.
AS telah dengan jelas menyebutkan tidak akan ada perjanjian dagang tambahan khususnya mengenai bahan mineral yang kritis, namun Indonesia mendiskusikan kemungkinan untuk mengadakan perjanjian jenis lain.
“Ini indikasi yang jelas bahwa di masa depan, negara-negara yang tertarik dengan baterai nikel EV tidak dapat menghindari Indonesia, yang akan mendominasi lebih dari 30% pasokan nikel global untuk baterai EV,” kata Nurul Ichwan, dalam lokakarya Journalist Network on Korea, yang diadakan Korean Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), akhir Oktober lalu.
Menurut Ichwan, ini adalah negosiasi win-win solution yang Indonesia bisa tawarkan kepada negara mana pun yang ingin menghindari pembatasan perdagangan mineral penting semacam ini.
Namun saat ini Indonesia dan Korsel menghadapi situasi dimana bagi konsorsium beberapa perusahaan besar untuk usaha atau produksi ekosistem baterai EV ini, harus mendapatkan persetujuan merger dari negara-negara secara global.
Hal itu bentuk implementasi global untuk menghindari monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut.
“Sebab produk ini akan kita ekspor ke Amerika, Uni Eropa, lalu ke Vietnam, kita sedang tunggu persetujuan merger seperti apa yang akan dilakukan oleh KPPU masing-masing negara. Setelah disetujui oleh mereka, baru bisa bergerak maju ke dalam joint venture untuk pembuatan unsur baterai yaitu katoda ini di Indonesia,” kata Nurul.
Indonesia, kata Nurul, ke depan menghadapi banyak tantangan, baik yang positif maupun yang negatif. Hal positifnya, menurut dia, Indonesia telah memenuhi komitmen tahun ketiga untuk keinginan mengurangi jejak karbon.
Namun ke depannya, akan ada beberapa perencanaan pembangunan yang akan ditandatangani oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh sektor pemerintah maupun swasta. Dia menyampaikan dalam situasi seperti ini, pemerintah memang harus lebih banyak memfasilitasi, berkolaborasi, serta memberikan lebih banyak arena kepada sektor swasta. “Sebab, apapun kebijakan pemerintah, tidak akan berdampak apa-apa jika tidak melibatkan swasta,” kata Nurul.
Dari segi teknologi, dia mengakui bahwa Indonesia masih memiliki kapasitas yang cukup terbatas. Jadi, sedang dipikirkan transisinya menuju energi ramah lingkungan melalui hilirisasi.
Dari teknologi, Korsel termasuk salah satu negara yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Indonesia, dan ahli dalam industri penyimpanan energi baterai untuk ekosistem baterai kendaraan listrik (EV).
“Kita tahu bahwa Korea Selatan sedang berusaha menambah dana dalam teknologi penyimpanan energi. Sejauh ini LG sedang melakukan teknologi tercanggih dalam penyimpanan energi semacam ini, dan diakui secara global,” kata Nurul.
Strategi yang Indonesia lakukan bersama Korsel adalah mengundang dari industri hilir terlebih dahulu karena kebijakan dari pemerintah mengundang datang ke Indonesia dengan industri hilir, otomatis yang hulu akan datang.
Maka ini membuka kerja sama Indonesia dengan Korsel, untuk memasok permintaan energi battery cell, baterai kemasan, dan battery storage bekerja sama dengan LG dan Hyundai.
Dalam pengembangan ekosistem baterai EV ini, Indonesia hanya memiliki nikel, namun tidak memiliki komponen tambahannya yang masih harus diimpor seperti anoda, dan lithium. Maka Indonesia mengimpor lithium dari Australia, yang pemerintahnya tidak memiliki kebijakan hilirisasi, dan boleh mengekspor lithium ke Indonesia.
“Oleh karena itu, beberapa perusahaan dari Indonesia berinvestasi di Australia untuk memasok dan mendukung ekosistem baterai EV di Asia. Jadi, kita harus menggunakan pemasok simpul untuk memasok atau melakukan substitusi terhadap impor Indonesia ini,” kata Nurul.
Konsistensi Kebijakan
Di sisi lain, Korean Chamber of Commer and Industry (Kadin) untuk Indonesia mengharapkan konsistensi pemerintah Indonesia dalam menentukan arah kebijakan komposisi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk mobil listrik.
Ketua Kadin Korea untuk Indonesia Lee Kang Hyun mengatakan pengusaha asal negerinya telah berinvestasi yang cukup besar untuk memenuhi kebijakan pemerintah. Maka diharapkan konsistensi dari pemerintah untuk menjaga iklim investasi dan para investor yang telah menanamkan modal.
“Kami mendengar Pemerintah Indonesia berencana mengubah peraturan terkait TKDN. Hal itu membuat pemerintah Korea, juga LG dan Hyundai khawatir. Maka kami berharap konsistensi pemerintah, sehingga bukan hanya mengundang investor tetapi juga bisa menjaga yang sudah ada,” kata Lee.
Hyun mengatakan belum menghitung kerugian yang mungkin bisa berdampak ke anggotanya bila kebijakan pemenuhan TKDN diundur. Dalam paparannya, Hyundai setidaknya berpotensi berinvestasi sebesar US$2 miliar atau setara Rp32 triliun (kurs JISDOR Rp15.937) dalam membangun ekosistem mobil listrik dalam negeri.
Dalam investasi pembangunan produksi sel baterai modal yang ditanamkan mencapai US$800 juta, perakitan baterai pak US$60 juta dan kendaraan bermotor listrik US$1,3 miliar.
Pangsa pasar Hyundai di pasar otomotif saat ini berada di kisaran 5%. Menurutnya bila pemain baru dalam industri otomotif bisa masuk tanpa memenuhi kebijakan TKDN, maka akan ada risiko pasar yang telah dibangun bagi para investor sebelumnya.
Informasi dari Lee, bahwa pemerintah disebut akan melakukan revisi terhadap kewajiban TKDN sebesar 40 persen yang seharusnya tercapai pada 2024 kemudian diundur menjadi 2026 demi menarik investasi dari perusahaan-perusahaan mobil listrik ke Tanah Air. (E-3)
DEPUTI Bidang Promosi Penanaman Modal, Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan mengatakan bahwa kerja sama Korea Selatan dan Indonesia untuk transisi energi ramah lingkungan sudah ditunjukkan melalui beberapa Nota Kesepahaman (MoU), maupun implementasinya, terutama terkait pengembangan baterai, teknologi penyimpanan baterai, dan kemasan baterai untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Produk dari kerja sama ekosistem baterai kendaraan listrik ini, kata Nurul, akan dibangun dengan cukup baik untuk memenuhi permintaan global, termasuk direncanakan untuk memasok hingga ke Amerika Serikat (AS). Sebab Korsel memunyai perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS. Maka ini menjadi strategi memasukam ekspor produk ke AS, mengingat mereka akan membuka perjanjian perdagangan bebas baru dengan negara mana pun.
AS telah dengan jelas menyebutkan tidak akan ada perjanjian dagang tambahan khususnya mengenai bahan mineral yang kritis, namun Indonesia mendiskusikan kemungkinan untuk mengadakan perjanjian jenis lain.
“Ini indikasi yang jelas bahwa di masa depan, negara-negara yang tertarik dengan baterai nikel EV tidak dapat menghindari Indonesia, yang akan mendominasi lebih dari 30% pasokan nikel global untuk baterai EV,” kata Nurul Ichwan, dalam lokakarya Journalist Network on Korea, yang diadakan Korean Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), akhir Oktober lalu.
Menurut Ichwan, ini adalah negosiasi win-win solution yang Indonesia bisa tawarkan kepada negara mana pun yang ingin menghindari pembatasan perdagangan mineral penting semacam ini.
Namun saat ini Indonesia dan Korsel menghadapi situasi dimana bagi konsorsium beberapa perusahaan besar untuk usaha atau produksi ekosistem baterai EV ini, harus mendapatkan persetujuan merger dari negara-negara secara global.
Hal itu bentuk implementasi global untuk menghindari monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut.
“Sebab produk ini akan kita ekspor ke Amerika, Uni Eropa, lalu ke Vietnam, kita sedang tunggu persetujuan merger seperti apa yang akan dilakukan oleh KPPU masing-masing negara. Setelah disetujui oleh mereka, baru bisa bergerak maju ke dalam joint venture untuk pembuatan unsur baterai yaitu katoda ini di Indonesia,” kata Nurul.
Indonesia, kata Nurul, ke depan menghadapi banyak tantangan, baik yang positif maupun yang negatif. Hal positifnya, menurut dia, Indonesia telah memenuhi komitmen tahun ketiga untuk keinginan mengurangi jejak karbon.
Namun ke depannya, akan ada beberapa perencanaan pembangunan yang akan ditandatangani oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh sektor pemerintah maupun swasta. Dia menyampaikan dalam situasi seperti ini, pemerintah memang harus lebih banyak memfasilitasi, berkolaborasi, serta memberikan lebih banyak arena kepada sektor swasta. “Sebab, apapun kebijakan pemerintah, tidak akan berdampak apa-apa jika tidak melibatkan swasta,” kata Nurul.
Dari segi teknologi, dia mengakui bahwa Indonesia masih memiliki kapasitas yang cukup terbatas. Jadi, sedang dipikirkan transisinya menuju energi ramah lingkungan melalui hilirisasi.
Dari teknologi, Korsel termasuk salah satu negara yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Indonesia, dan ahli dalam industri penyimpanan energi baterai untuk ekosistem baterai kendaraan listrik (EV).
“Kita tahu bahwa Korea Selatan sedang berusaha menambah dana dalam teknologi penyimpanan energi. Sejauh ini LG sedang melakukan teknologi tercanggih dalam penyimpanan energi semacam ini, dan diakui secara global,” kata Nurul.
Strategi yang Indonesia lakukan bersama Korsel adalah mengundang dari industri hilir terlebih dahulu karena kebijakan dari pemerintah mengundang datang ke Indonesia dengan industri hilir, otomatis yang hulu akan datang.
Maka ini membuka kerja sama Indonesia dengan Korsel, untuk memasok permintaan energi battery cell, baterai kemasan, dan battery storage bekerja sama dengan LG dan Hyundai.
Dalam pengembangan ekosistem baterai EV ini, Indonesia hanya memiliki nikel, namun tidak memiliki komponen tambahannya yang masih harus diimpor seperti anoda, dan lithium. Maka Indonesia mengimpor lithium dari Australia, yang pemerintahnya tidak memiliki kebijakan hilirisasi, dan boleh mengekspor lithium ke Indonesia.
“Oleh karena itu, beberapa perusahaan dari Indonesia berinvestasi di Australia untuk memasok dan mendukung ekosistem baterai EV di Asia. Jadi, kita harus menggunakan pemasok simpul untuk memasok atau melakukan substitusi terhadap impor Indonesia ini,” kata Nurul.
Konsistensi Kebijakan
Di sisi lain, Korean Chamber of Commer and Industry (Kadin) untuk Indonesia mengharapkan konsistensi pemerintah Indonesia dalam menentukan arah kebijakan komposisi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk mobil listrik.
Ketua Kadin Korea untuk Indonesia Lee Kang Hyun mengatakan pengusaha asal negerinya telah berinvestasi yang cukup besar untuk memenuhi kebijakan pemerintah. Maka diharapkan konsistensi dari pemerintah untuk menjaga iklim investasi dan para investor yang telah menanamkan modal.
“Kami mendengar Pemerintah Indonesia berencana mengubah peraturan terkait TKDN. Hal itu membuat pemerintah Korea, juga LG dan Hyundai khawatir. Maka kami berharap konsistensi pemerintah, sehingga bukan hanya mengundang investor tetapi juga bisa menjaga yang sudah ada,” kata Lee.
Hyun mengatakan belum menghitung kerugian yang mungkin bisa berdampak ke anggotanya bila kebijakan pemenuhan TKDN diundur. Dalam paparannya, Hyundai setidaknya berpotensi berinvestasi sebesar US$2 miliar atau setara Rp32 triliun (kurs JISDOR Rp15.937) dalam membangun ekosistem mobil listrik dalam negeri.
Dalam investasi pembangunan produksi sel baterai modal yang ditanamkan mencapai US$800 juta, perakitan baterai pak US$60 juta dan kendaraan bermotor listrik US$1,3 miliar.
Pangsa pasar Hyundai di pasar otomotif saat ini berada di kisaran 5%. Menurutnya bila pemain baru dalam industri otomotif bisa masuk tanpa memenuhi kebijakan TKDN, maka akan ada risiko pasar yang telah dibangun bagi para investor sebelumnya.
Informasi dari Lee, bahwa pemerintah disebut akan melakukan revisi terhadap kewajiban TKDN sebesar 40 persen yang seharusnya tercapai pada 2024 kemudian diundur menjadi 2026 demi menarik investasi dari perusahaan-perusahaan mobil listrik ke Tanah Air. (E-3)
Sumber: mediaindonesia.com