Indeks
MICE  

Menggaungkan Spiritualitas Ekologi

AGAMA dan krisis menjadi dua isu yang banyak diperbincangkan masyarakat dunia akhir-akhir ini. Agama dibicarakan karena bisa bertahan, bahkan berkembang pada abad ke-21 jauh melampaui prediksi para pakar. Sementara itu, krisis didiskusikan karena terjadi hampir di seluruh belahan dunia dengan karakter yang relatif senada.

Meskipun demikian, tampaknya belum banyak negara atau agensi global yang memberikan perhatian serius mengenai potensi agama dalam membantu mengatasi krisis global. Dalam situasi demikian, Indonesia, sebagai Presidensi G-20, telah menjadi pionir ketika memasukkan Religion Forum (R-20) sebagai official engagement gelaran G-20 Bali Summit.

R-20 yang dihelat beberapa pekan lalu, mengusung isu spiritual ekologi sebagai bagian komitmen pemimpin agama dalam meretas solusi global. Krisis ekologi telah disepakati menjadi persoalan bersama. Pada saat yang sama, agama dianggap sebagai sumber kekayaan spiritual manusia. Bahkan, tidak jarang agama dan spiritualitas dianggap identik, bahkan cenderung tumpang-tindih. Di luar polemik pelik antara agama dan spiritualitas, agamawan bertanggung jawab menjadikan agama sebagai inspirasi bagi kerja-kerja lingkungan. Para pemimpin agama yang hadir di R-20 beberapa waktu lalu mengemban tugas berat membangun komunitas beragama yang tidak hanya ramah, tetapi juga peka terhadap alam. Sudah saatnya kecintaan kepada alam menjadi parameter bagi kekayaan spiritual umat beragama.

Pada dataran teoretis, semangat kemanunggalan manusia dengan alam terekam dalam ayat-ayat kitab suci dan diabadikan dalam ornamen-ornamen tempat-tempat sakral yang eksis sejak berabad-abad silam. Hal itu menandakan komitmen ketuhanan haruslah berbanding lurus dengan komitmen lingkungan. Namun, di tingkat praktis, muncul masalah serius mengenai pola keberagamaan dalam merespons krisis lingkungan.

Thomas Berry (2009) menilai pemimpin agama di era modern cenderung gagal mengenali hal paling dasar mengenai hubungan manusia dengan yang lain. Menurutnya, hubungan manusia dengan bumi dan seluruh semesta tidak boleh diposisikan lebih rendah daripada hubungan manusia dengan yang Ilahi atau dengan sesama manusia.

Senada dengan Berry, Jadul Maula, Ketua Lesbumi-NU, dalam pidatonya pada forum R-20 mengatakan praktik keberagamaan justru berpotensi menjadi sikap destruktif jika tidak dibarengi dengan kesadaran akan keterikatan terhadap lingkungan.

Berangkat dari kesadaran tentang betapa terlambatnya para pemimpin agama merespons persoalan ekologis, para pemuka agama dapat melakukan pengarusutamaan pada setidaknya dua instrumen religius: pertobatan dan ibadah atau persembahan ekologis. Dengan pertobatan ekologis, masyarakat beragama dapat melakukan sebenar-benarnya penyesalan atas ketidakpedulian mereka terhadap lingkungan semesta. Sementara itu, dengan ibadah atau persembahan ekologis, manusia akan terpacu untuk memberikan perhatian dan komitmen terbaiknya bagi kesinambungan alam semesta.

MI/Duta

 

Menuntut keterlibatan komunitas agama

Kerusakan lingkungan dewasa ini memasuki fase serius yang tidak bisa diabaikan. Misalnya, pada isu air bersih, data World Wide Fund for Nature Indonesia menyebutkan 82% dari 550 sungai di seluruh Indonesia kondisinya tercemar dan kritis. Selain karena mekanisme alamiah, kerusakan lingkungan yang berisiko tinggi terhadap terjadinya bencana terutama disebabkan oleh ulah manusia.

Manusia menghancurkan sistem pendukung kehidupan di bumi pada tingkat yang mengkhawatirkan. Ekosistem sedang terdegradasi oleh industrialisasi yang cepat dan pembangunan tanpa henti. Tidak dapat dimungkiri bila manusia telah mengubah iklim dan meracuni udara dan air hingga mengancam keselamatan manusia dan spesies lainnya. Manusia dengan kekuatan dan imajinasinya tidak pernah berhenti ‘membangun’.

Konsekuensi dari pembangunan ialah perusakan alam dan rekayasa lingkungan. Satu spesies bernama manusia itu, telah mengancam jutaan spesies lain penghuni planet ini dengan begitu cepat dan pasti. Ledakan populasi dari 3 miliar pada 1960 menjadi lebih dari 8 miliar saat ini dan tuntutan berikutnya pada dunia tampaknya berada pada jalur yang tidak berkelanjutan. Mary Evelyn Tucker dan John Grim (2016) menulis ledakan populasi dari 3 miliar pada 1960 menjadi lebih dari 7 miliar pada saat tulisan itu diterbitkan, tampaknya akan membawa pertumbuhan yang tidak berkelanjutan.

Sejauh ini, ekologi sering kali secara eksklusif dianggap sebagai urusan biologi atau pekerjaan rumpun hard science. Faktanya, rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti kewalahan mengatasi krisis lingkungan. Sementara itu, pada sisi yang lain, sebagaimana disindir Barbour (2000), ilmuwan sering mengalami kesulitan berkomunikasi dengan komunitas agama, baik karena ketegangan historis antara agama dan sains maupun karena dogmatisme dari sumber agama.

Di sisi lain, kerusakan lingkungan disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya ialah gaya hidup materialis dan cara berpikir sekuler. Mocrief (1970) menilai sikap materialistis dan sekularis telah memberikan pengaruh besar terhadap menguatnya sikap destruktif masyarakat. Alasan lain yang menuntut agama harus terlibat, terutama dalam konteks Indonesia mengenai posisi agama yang terbukti menjadi variabel pembanding kekuatan negara.

Semangat keberagamaan dalam banyak kasus, telah menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia dalam merumuskan kebijakan publik. Agama telah masuk sangat dalam di berbagai sektor publik dan memberikan pengaruh besar bagi pemerintah dalam mengambil keputusan. Sayangnya, peran agama dalam mengatasi persoalan lingkungan, walaupun sudah dilakukan, masih sangat minim. Krisis menuntut segala potensi untuk digunakan. Paradigma bahwa persoalan lingkungan urusan eksklusif ilmu pengetahuan alam semata harus diakhiri dan mulai menggali potensi lain seperti ilmu sosial dan agama.

Studi Erin P Joakim & Robert S White (2015) menggambarkan respons lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia yang menunjukkan bahwa struktur fisik, keterlibatan kolektif dalam kegiatan, jaringan, dan perspektif teologis memberikan peluang bagi inisiatif yang bertujuan mengurangi risiko bencana. Melihat sedemikian akutnya persoalan lingkungan dan pentingnya peran agama, penyelesaian problem itu tidak dapat dilakukan secara parsial dan komunitas agama harus terlibat di dalamnya.

 

Tobat dan ibadah ekologi

Pertobatan dan peribadatan ialah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keberagamaan. Pertobatan ekologis berangkat dari perintah agama-agama untuk selalu bertobat karena manusia tempat salah dan dosa. Sementara itu, ibadah berkait erat dengan perilaku dan komitmen untuk terus memberikan yang terbaik kepada alam demi kualitas keberagamaan yang lebih baik. Keduanya memiliki landasan teologis, sekaligus mengakar dalam tradisi masyarakat. Hal itu terlihat dari respons komunitas beragama dalam menyikapi bencana yang terjadi di Indonesia.

Pertobatan yang sesungguhnya harus dimulai dari pengakuan, selama ini umat beragama telah mengabaikan suara-suara alam. Perubahan iklim dan krisis lingkungan secara alamiah dapat terjadi. Akan tetapi, kini penyebab perubahan-perubahan itu diketahui didominasi oleh cara berpikir dan sikap manusia. Karenanya, para ahli menyebut saat ini kita hidup dalam era Antroposen, sebuah era ketika rekayasa manusia telah secara dominan mengubah struktur alam raya.

Pada saat demikian, suara alam tidak lagi terdengar karena tertutup keserakahan dan bunyi nyaring orang-orang yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa. Untuk memulai pertobatan ekologis, masyarakat beragama harus benar-benar insaf bahwa rusaknya lingkungan sebagian besar karena ulah manusia.

Sementara itu, ibadah ekologis tidak dapat dicapai tanpa ketulusan dan komitmen untuk memberikan yang terbaik kepada alam sebagai refleksi atas ketaatan kepada Tuhan. Inisiatif-Inisiatif simbolis telah banyak dilakukan komunitas agama di Indonesia. Maulid Hijau di Lumajang, Jawa Timur, Ibadah air di Gereja Jawa Wonogiri, Jawa Tengah, atau Nyepi di Bali ialah sedikit di antara upacara agama yang pernah ada. Kegiatan-Kegiatan tersebut ialah inisiatif untuk ditindaklanjuti dengan karya yang lebih nyata.

KH Yahya Cholil Staquf, penggagas R-20, mengakui bahwa sebagian praktik keberagamaan menjadi penyebab bagi krisis global. Pengakuan senada juga pernah diungkapkan Uskup Bandung Mgr Antonius Subijanto OSC. Beliau mengajak seluruh umat, khususnya umat Katolik, agar melakukan pertobatan ekologis dengan melakukan tiga hal: mengakui kehadiran atau keberadaan segala sesuatu di sekitar kehidupan manusia, menghormati keberadaan mereka (tanah, udara, air, pohon, dan berbagai makhluk lainnya), dan menjaga serta merawat mereka sebagai makhluk yang sama ciptaan Allah yang Mahakuasa.

Gus Yahya dan Uskup Subijanto hanyalah dua di antara tokoh agama yang insaf akan pentingnya mengakui kesalahan manusia atas persoalan di planet ini. Selain keduanya, tentu masih banyak lagi para tokoh agama berpengaruh, khususnya yang turun menjadi bagian dari pertemuan R-20.

Tokoh-tokoh agama tersebut menuangkan komitmen mereka pada komunike R-20. Komunike tersebut dibuat sebagai upaya memobilisasi tokoh agama, sosial, ekonomi, dan politik dari seluruh dunia untuk memastikan bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi yang dinamis, bukan masalah.

Pada poin kesembilan naskah tersebut, termaktub statement penting berkaitan dengan lingkungan, yakni memanfaatkan kearifan ekologi spiritual yang tertanam dalam tradisi keagamaan dunia, untuk memastikan lingkungan alam, termasuk unsur bumi, udara, dan air dihormati dan dilestarikan. Komunike itu menjadi penanda bagi dimulainya sebuah gerakan spiritual ekologis, yang dimulai dengan pertobatan dan dilanjutkan dengan ibadah ekologis secara bersama-sama, di setidaknya 20 negara yang telah berkomitmen dalam R-20.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version