MICE  

Mendobrak Dominasi lewat Koplo

“LEBIH dari sekadar genre musik, Irfan R Darajat menunjukkan bahwa dangdut koplo bisa dikembangkan dan digunakan sebagai lensa untuk memeriksa relasi kuasa dalam produksi budaya.” (Halaman vii).

Kalimat yang ditulis Nuraini Juliastuti di bagian Pengantar buku Irama Orang-Orang (Menolak) Kalah yang ditulis Irfan R Darajat itu sangat pas mewakilkan gambaran dari buku ini. Buku yang memuat hasil penelitian Irfan tentang relasi antara dangdut koplo, politik, dan kemapanan ini menjadi kontribusi penting darinya dalam perjalanan studi budaya populer Tanah Air.

Berprofesi sebagai pengajar di sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Irfan memang memfokuskan studi dan penelitiannya dalam hal-hal terkait kajian budaya dan media, audio visual, arsip musik populer, hingga tentang suara dan demokrasi. Buku itu bukan penelitian pertama Irfan yang membahas tentang dangdut. Beberapa tulisannya tentang dangdut juga telah dipublikasikan, salah satunya berjudul Asolole: Antara Rhoma dan Irama yang dimuat pada laman Indoprogress.com pada 2013.

Diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri pada awal 2023, penelitian yang dimuat dalam buku itu sebenarnya telah diselesaikan Irfan sejak 2017. Meski telah berselang lima tahun, telaah dan pemikiran Irfan dalam buku tersebut tetap terasa relevan. Relevansinya justru terasa semakin menguat mengingat beberapa tahun terakhir popularitas dangdut koplo semakin melesat di berbagai kalangan.

Meski tebalnya tak sampai 200 halaman, buku itu menawarkan sajian komprehensif bagi siapa saja yang ingin lebih dalam mengenal khazanah perdangdutan dalam negeri, khususnya dangdut koplo. Bukan hanya dari sudut pandang musik, melainkan juga lebih jauh menyentuh ranah sosial dan politik masyarakat Nusantara, terutama di Pulau Jawa.

Membuka tulisannya, Irfan lebih dulu menceritakan tentang bagaimana hingga akhirnya ia memiliki ketertarikan kuat pada dangdut koplo. Menggemari genre musik alternatif dari Amerika dan Eropa, ia sendiri tak pernah menyangka akhirnya jadi ketagihan mendengar dangdut koplo.

“Mulanya saya terperangah pada irama dangdut yang lebih ngebut dari irama dangdut yang dulu pernah saya dengarkan. Lalu saya terperangah pada cara tutur lirik di dalamnya yang terkesan jujur, lugas, lucu, dan getir. Kemudian saya terperangah pada pola produksinya, pada pola distribusinya, pada ekspresi penampilnya, pada aksi panggungnya, pada penonton setianya, dan pada semua hal yang ada dalam dangdut koplo.” (Halaman 2).

Tak bisa ditampik, sebagian besar orang Indonesia pasti mengenal dangdut koplo hanya sebagai salah satu subgenre musik dengan irama khas, utamanya pada tabuh kendang yang lebih cepat dan padat.

Lagu-lagu dangdut koplo tak jarang juga menjadi sangat terkenal berkat liriknya yang lucu, berani, dan sangat relevan dengan masyarakat kelas bawah.

Lewat buku itu, Irfan membuktikan bahwa koplo tak sesederhana itu. Di balik irama dan liriknya yang jujur, dangdut koplo ternyata memiliki peran penting sebagai wujud perlawanan masyarakat di lapisan paling bawah terhadap industri musik arus utama yang kerap hanya menguntungkan pihak tertentu.

 

Goyang ngebor

Merangkum apa yang akan ia jabarkan pada enam bab tulisannya, Irfan lebih dulu menghadirkan lini masa perjalanan dangdut koplo. Lini masa tersebut ia mulai dari 1959 hingga 2018. Pada periode tersebut telah terjadi banyak peristiwa yang berkaitan dengan perkembangan dan perjalanan dangdut dan dangdut koplo di Indonesia. Mulai awal kemunculan Rhoma Irama, Inul Daratista, hingga Via Vallen.

Kepopuleran dangdut koplo atau irama dangdut pantura ditandai kemunculan Inul Daratista. Inul menjadi sangat populer setelah muncul di televisi dengan goyang ngebor sebagai ciri khasnya. Inul mendulang kontroversi. Tak sedikit yang menyuarakan penolakan pada Inul, salah satu yang paling lantang menyuarakan penolakan Inul ialah Rhoma Irama.

Dalam buku tersebut, Irfan memang banyak menghadirkan pembahasan tentang sepak terjang Rhoma Irama dalam dunia dangdut. Tak bisa disanggah, Rhoma Irama memiliki peran penting dalam perjalanan musik dangdut di Indonesia. Ia disebutkan penulis sebagai peramu musik yang andal meski di sisi lain juga memiliki keinginan untuk memonopoli dan mengatur berbagai hal terkait dangdut.

Di berbagai kesempatan Rhoma Irama menyuarakan tentang memboikot Inul Daratista. Goyang ngebor Inul dianggap sebagai hal yang mencederai makna dari dangdut sebagai musik rakyat Indonesia yang menjunjung kesopanan dan estetika pada setiap penampilannya. Rhoma juga menyebut koplo bukanlah dangdut karena tak sesuai dengan irama-irama lagu beraliran melayu yang biasa ia buat.

Irfan beranggapan aksi penolakan dari Rhoma Irama tak ubahnya sebagai wujud dari kepentingannya untuk menjaga eksistensi, mengontrol industri, dan keberlangsungan ekonominya sebagai sosok yang mengaku pionir musik dangdut. Kekhawatiran itu tidak mengherankan mengingat Inul dengan cepat meraih popularitas dan wara-wiri di stasiun televisi nasional. Kemunculan Inul juga memicu kemunculan sejumlah penyanyi dangdut lain dengan gaya kontroversial, seperti Anisa Bahar hingga Alam.

Pada bab tiga, Irfan menghadirkan berbagai contoh artikel berita terkait penolakan Rhoma Irama terhadap Inul Daratista. Dalam bab tersebut penulis mengajak pembaca melihat bagaimana bukan hanya Rhoma Irama, melainkan juga media berperan penting dalam menggiring opini publik tentang siapa yang berhak bersuara dan berkuasa di ranah musik dangdut.

“Dapat dilihat bagaimana predikat Raja Dangdut turut disematkan di dalam teks. Hal ini menunjukkan bagaimana media tersebut ingin merepresentasikan siapa yang berkuasa dalam ranah musik dangdut.” (Halaman 58).

Sementara itu, dari sosial dan politik, dalam buku itu, dangdut koplo disebutkan sebagai wujud desentralisasi. Dangdut koplo muncul berkat tumbangnya Orde Baru yang diikuti dengan krisis moneter. Dangdut yang pada era Orde Baru sempat digadang-gadang sebagai musik nasional dan berbagai aktivitasnya dipusatkan di Jakarta akhirnya secara perlahan kembali menepi. Dangdut kembali menjadi musik yang dinikmati masyarakat di daerah.

Krisis moneter yang terjadi saat itu membuat banyak pihak seperti sponsor dan promotor musik tak lagi mampu menghadirkan panggung besar. Begitu juga dalam memproduksi rekaman. Konsumen penikmat musik dangdut juga kesulitan untuk bisa membeli rekaman musik.

Berada di ujung jurang, para penyaji hiburan dangdut tak begitu saja menyerah. Mereka mencoba berbagai cara untuk bertahan. Salah satunya dengan bersiasat mengubah penampilan panggung besar menjadi lebih minimalis, tepatnya menjadi yang saat ini dikenal dengan organ tunggal. Mereka membawa organ tunggal untuk tampil dan hadir lebih dekat di masyarakat.

Pergeseran tersebut membuat musik dangdut kemudian jadi terbagi atas irama yang yang berbeda di setiap daerah. Setiap daerah memiliki ciri khas irama dangdutnya masing-masing. Dangdut koplo merupakan dangdut yang awalnya berasal dari kawasan pantura. Namun, tak sedikit yang menyebut irama musik dangdut koplo memiliki kemiripan dengan irama Jaipong-an Sunda.

Keragaman irama dalam dangdut koplo disebut Irfan sebagai bukti kuat bahwa genre tersebut lahir karena ada unsur etnik yang menyokongnya. Irfan bahkan mengibaratkan dangdut koplo layaknya oplosan.

 

Oplosan

Dangdut koplo disebutnya mewakilkan semangat ‘oplosan’ karena mencampurkan berbagai hal menjadi sebuah genre dangdut baru. Di antaranya, mencampurkan irama melayu, musik daerah, dan unsur musik lain dengan sesuka hati. Dalam lirikya, dangdut koplo kerap diramaikan dengan bahasa Jawa, Indonesia, hingga Inggris. Begitu juga dari segi cara pandang, produksi, hingga pertunjukannya, sarat akan percampuran berbagai genre.

Pada bagian akhir buku, Irfan menghadirkan pembahasan tentang bagaimana dangdut koplo berhasil mendobrak kemapanan segelintir pihak bermodal besar yang menguasai rantai industri musik dan pertunjukan arus utama, khususnya kekuasaan label rekaman.

Rekaman dangdut koplo umumnya didominasi VCD. Proses pembuatan VCD dangdut koplo dilakukan beberapa pihak berbeda. Tidak dikerjakan secara terpusat oleh sebuah perusahaan label rekaman layaknya yang terjadi di industri musik arus utama. Pembuatan VCD dangdut koplo setidaknya melibatkan panitia acara, jasa perekaman, makelar, dan sponsor.

Pihak-pihak yang berperan dalam proses produksi dan distribusi VCD koplo tersebut bisa berubah-ubah pada setiap pertunjukan. Tergantung kesepakatan dengan makelar dan pemilik acara. Pemilik acara memiliki posisi paling tinggi pada rantai produksi mengingat kebanyakan VCD dangdut koplo berisi rekaman pertunjukan dangdut koplo di atas panggung, bukan hasil rekaman di studio atau video klip yang sengaja dibuat sebagai penunjang lagu.

Cara itu mencerminkan dangdut koplo sebagai sebuah entitas yang tak terbatas hanya bisa dikerjakan segelintir orang berkuasa saja. Masyarakat secara mandiri dapat membuat dangdut koplo terus hidup dan menghidupi lebih banyak orang. Cara produksi dan distribusi dangdut koplo yang unik juga tak begitu saja bisa dikatakan sebagai hal yang melanggar hukum.

“Membicarakan pembajakan dalam ranah produksi dangdut koplo rupanya sangat sulit dan ambigu.” (Halaman 146).

Setelah melewati perjalanannya yang penuh dengan perjuangan melawan kekalahan, saat ini dangdut koplo justru semakin diterima masyarakat. Bukan hanya kalangan berusia matang yang berasal dari beberapa daerah di Jawa, melainkan juga anak muda seluruh Indonesia. Itu dibuktikan dengan kemunculan kelompok penggemar Didi Kempot hingga grup-grup musik beraliran koplo baru yang digilai anak muda, salah satunya NDX A.K.A.

“Wacana irama, pemaknaan moralitas, dan praktik produksi yang ‘tidak patuh’ pada hukum kepemilikan dan hak cipta yang dilakukan oleh dangdut koplo memberi tantangan, kritik, atau bantahan terhadap wacana dominan yang dihadirkan Rhoma. Praktik musik dangdut koplo melekat dalam kehidupan sosial masyarakat.” (Halaman 153).

Buku ini akan menghadirkan bukti bahwa praktik musik dalam industri dangdut koplo sedang menguji apa yang selama ini telah berjalan dalam industri musik arus utama. Dangdut koplo memberi alternatif baru dan penyegaran atas sajian dan cara kerja yang kaku dan terpusat meenjadi lebih demokratis. (M-2)

 

Irama Orang-Orang (Menolak) Kalah

 

Penulis : Irfan R Darajat

Penerbit : CV Marjin Kiri

Tahun : Cetakan pertama, Januari 2023

ISBN : 978-602-0788-37-1


Sumber: mediaindonesia.com