PRO dan kontra pencalonan Anies Baswedan sebagai kandidat presiden RI dari Partai NasDem sejak 3 Oktober 2022, hingga hari ini belumlah mereda, bahkan menambah bising ruang publik. Kebisingan bermula dari kerak masa lalu yang menganggap Anies sebagai pemrakarsa sekaligus pelaku politik identitas, dengan terutama membawa paham keagamaan ke dalam politik.
Perdebatan juga muncul, tentang arti identitas dalam konteks politik, hingga siapa sebenarnya penebar utama dari perilaku politik identitas ini sesungguhnya. Suasana psikologis ini, dengan bantuan media sosial yang akut membawa pesan permusuhan dan kebencian, antara sesama anak bangsa kian mengental. Pengentalan ini ditandai dengan di antaranya, posisi saling curiga, dan mengunci keburukan setiap pihak yang merasa berseberangan dengan setiap gagasan yang ditawarkan NasDem.
Interregnum
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi Indonesia pascareformasi 20 tahun lebih tidak menjadi lebih baik, tetapi cenderung lebih terbuka untuk saling hina dan bercuriga. Semua aktor di semua posisi yang seharusnya menjaga keadaban dalam berkomunikasi, cenderung menunjukkan kebengisan berpikirnya melalui adu argumen yang saling menyalahkan. Kondisi semacam ini selalu terjadi ketika masa peralihan kekuasaan akan terjadi. Seolah menghalalkan segala cara, masyarakat dibuat cemas karena pemerintahan yang saat ini berkuasa selalu ingin tampil paling benar. Padahal, jangan-jangan situasi negara memang sedang tak baik-baik saja.
Dalam argumen Antonio Gramsci dalam karya klasiknya, Prison Notebooks, situasi semacam ini sering disebut sebagai interregnum, zaman ketika yang lama sedang sekarat menanti ajal, tetapi yang baru belum lahir. Pada masa interregnum ini, berbagai gejala yang tidak wajar bermunculan, dan masyarakat hidup terombang-ambing antara kecemasan dan harapan hari kemarin, kini, dan esok yang saling memengaruhi. Pendeknya, interregnum ialah zaman pancaroba.
Setelah empat periode pascareformasi kepemimpinan yang telah dan akan dilalui, bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada situasi saling tuduh tentang politik identitas yang bisa mempertajam jurang pemisah di antara sesama anak bangsa. Dalam menghadapi ketidakpastian dan ketidakterdugaan politik, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Kekuatan proreformasi dan demokratisasi ragu, apakah agenda pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil, sebagai langkah pertama pemantapan proses dan lembaga demokrasi bisa berjalan baik atau tidak. Negara tidak ubahnya perpanjangan tangan rumah tangga penguasa, dan para pemimpinnya cenderung berenang melawan arus reformasi. Kita perlu mewaspadai residu ini. Sebab, kebiasaan buruk tidak mudah sirna. Jangan-jangan, sudah menjadi tradisi yang tidak lenyap hanya karena pemerintahan saat ini akan berhenti di tahun 2024.
Jejak kebangsaan
Perilaku dan kebiasaan para birokrat dan politikus, ketika melihat peralihan kekuasaan sebagai ajang saling curiga dalam rangka melanggengkan, serta memperoleh kekuasaan dengan cara mudah harus dihentikan. Cara mudah yang sering dipraktikkan ialah dengan tuduhan dan menyalahkan seorang kandidat. Inilah yang dirasakan dan dialami oleh NasDem ketika dengan pertimbangan menjaga masa depan keseimbangan kehidupan politik dengan mencalonkan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. NasDem dengan Ketum Surya Paloh dianggap telah melenceng dari jalur nasionalis karena berani mencalonkan seorang Anies yang dituduh sebagai intoleran dan memperbudak politik identitas (i.e. agama) sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan.
Kecenderungan menjadikan Surya Paloh dan Anies sebagai musuh bersama sangat kental dirasakan. Karena itu, masyarakat perlu diberikan pendidikan politik berbasis kebangsaan. Jika argumen umum menyebutkan bahwa Surya Paloh membanting stir ideologinya dari tengah ke kanan (i.e. nasionalis ke islamis), pertanyaannya ialah apakah Anies yang masuk ke dalam perilaku politik Surya Paloh atau sebaliknya, Surya Paloh terhipnotis bujukan untuk lari ke kanan? Kita bisa menjawab pertanyaan ini dengan kematangan pikiran dan hati, berdasarkan sejarah kebangsaan Indonesia.
Bagi saya, pilihan Surya Paloh menetapkan Anies sebagai bakal calon presiden bukan tanpa preseden ideologis. Saya tak kaget, karena 3 tahun lalu ketika NasDem berulang tahun yang ke-8, saya menggambarkan jejak kebangsaan Surya Paloh dalam metafora ‘Ada Tjokro di Hati Surya’. Dalam opini yang terbit tanggal 11 November 2019 itu, saya meyakini bahwa basis ideologi yang dianut oleh Surya Paloh serupa dengan yang pernah dipraktikkan oleh HOS Tjokroaminoto. Kenapa?
Di tengah hiruk-pikuk pujian dan kritik terhadap manuver Surya Paloh (SP) sebagai Ketua Umum Partai NasDem dalam membangun relasi politik antar partai, ada satu yang luput dari amatan kita tentang perilaku politik SP dalam konteks kesejarahan bernegara. Harus diakui bahwa Surya Paloh identik dengan ketegasan, kecepatan dalam bertindak, tangkas, tak suka basa-basi, seperti melekat pada semua sisi dan perilaku politiknya. Secara kultural, ada banyak indikator untuk menyebut wajah Islam moderat yang nasionalis, di mana antara keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan bergabung jadi satu layaknya Tjokroaminoto.
Interaksi Tjokroaminoto dengan Soekarno, Semaun, dan Kartosoewiryo seolah menjadi garis linier kesejarahan Indonesia hingga saat ini. Laksana sebuah takdir, untuk tak menyebutnya kutukan, Indonesia seolah tak bisa keluar dari himpitan dan godaan sayap kiri (left wing) yang diwakili oleh Semaun dengan sosialisnya, sayap tengah (middle wing) oleh Soekarno dengan nasionalismenya, serta sayap kanan (right wing) oleh Kartosoewiryo dengan islamismenya. Tiga warisan inilah, yang terus-menerus bertikai dalam peta politik Indonesia yang katanya demokratis, tetapi terkadang lalai dalam mengawal elan dasar kesatuan kebangsaan dan keagamaan, yang dirumuskan dengan sangat elegan dalam Pancasila.
Meskipun penuh kontroversi, kita tak boleh lupa bahwa kontroversi ialah bagian tak terpisahkan dari batang tubuh dan pikiran Surya Paloh selama 11 tahun memimpin NasDem, keputusan Surya Paloh menetapkan Anies Baswedan menjadi calon presiden, sepenuhnya merupakan efek dari kesadaran tentang kesatuan keagamaan dan kebangsaan yang sangat tinggi. Surya Paloh seolah ingin berkata kepada para lawan dan kawan politiknya untuk menyudahi pertikaian ideologis dalam konteks pencapresan dan sepenuhnya mulai menyatukan ideologi nasionalis, sosialis dan islamis, sebagai jalan keluar kebuntuan polarisasi berlebih. Jejak kebangsaan ini merupakan DNA ideologi sesungguhnya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hambatan demokrasi
Politik identitas, yang hanya meyakini satu komponen dari tridiologi kebangsaan Indonesia ialah ahistoris. Terlalu radikal dengan paham nasionalis buta, atau sosialis buta, dan juga islamis buta, ialah perangkap yang tak pernah disadari oleh para politikus kita. Inilah mengapa hambatan kehidupan demokrasi kita bukan dari ketiadaan sumber daya, melainkan dari cara pandang yang salah. Dalam konteks ini, Surya Paloh sesungguhnya ingin menarik Anies ke tengah dalam bingkai tridiologi kebangsaan kita, yaitu kesadaran tentang eksisnya paham nasionalis, sosialis, dan islamis di Indonesia dalam satu tarikan napas kebangsaan.
Hambatan demokratisasi dan sisi rapuh zaman pancaroba karena polarisasi dan politik identitas harus diakhiri. Jika tidak dihentikan, percikan polarisasi akan terus menjadi residu dan meracuni cara pikir anak bangsa serta ke depan. Kita tidak bisa berharap hanya pada proses pemilu yang jujur dan adil, tanpa terlebih dahulu meyakini tridiologi ini sebagai warisan abadi bangsa Indonesia. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa pemilu yang sukses sebagai awal demokrasi yang mantap memang bukan sesuatu yang mustahil. Namun, skenario ini bukan kelaziman dan tidak terjadi tanpa perjuangan berat yang untuk konteks Indonesia terletak pada garis batas pemahaman para pemimpin parpol dan akademisi untuk menyuarakan pentingnya memahami tridiologi ini.
Energi demokrasi kita, sebaiknya digunakan untuk mengantisipasi beberapa skenario peralihan kekuasaan yang akan terjadi di 2024 nanti. Pertama, kekuatan-kekuatan neopatrimonialis bertarung dan bertikai dengan gerakan reformasi yang belum tentu diwakili oleh parpol sehingga usaha-usaha menciptakan aturan main yang baru di bidang pemilu menjadi terkatung-katung atau gagal. Kedua, pemilu tetap dilaksanakan pada waktu yang sudah disepakati, tetapi cacat. Cacat ini menyangkut pelaksanaan, pengawasan, penghitungan suara, dan lain-lain. Pemilu yang cacat, akan ditolak masyarakat dan menjadi perbuatan sia-sia. Kecacatan akan terjadi, jika polarisasi terus hidup dan politik partisan menjadi menguat.
Ketiga, ada kemungkinan juga pemilu gagal dilaksanakan. Namun, sebabnya bukan yang telah disebutkan di atas, tetapi karena konflik dan gejolak sosial (termasuk yang diprovokasi dan diinstigasi kekuatan-kekuatan lama) berlangsung dengan keras, meluas, dan dengan frekuensi tinggi sehingga pemilu tidak mungkin dilaksanakan. Skenario ketiga ini sangat mungkin terjadi, dan beberapa indikasi sudah menyeruak ke ruang publik dan menjadi bahan diskusi tiada henti.
Akhirnya, keempat, para peserta pemilu, khususnya yang besar-besar, bersikap winner-takes-all. Nafsu mau menang sendiri amat berbahaya dalam era pancaroba. Dalam era ini, yang amat diperlukan adalah inklusi, partisipasi dan keterlibatan sebanyak mungkin pihak dalam lembaga-lembaga negara. Dalam situasi normal, ketika lembaga-lembaga demokrasi sudah berakar lumayan mantap, sikap ingin menang dengan mengalahkan pesaing-pesaing lain boleh-boleh saja, tetapi dalam situasi normal, bukan dalam era pancaroba.
Dalam dua tahun ke depan, empat skenario di atas perlu diantisipasi. Skenario-skenario ini bukan untuk dipilih, tetapi untuk dihindari. Dengan membayangkan skenario-skenario tersebut, pemilu akan tampak semakin penting artinya dan memerlukan dukungan semua pihak, terutama partai politik, supaya dapat terlaksana dengan selamat dan demokratis. Pemilu mungkin tidak akan menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini. Tetapi, sebagai jalan setapak keluar dari interregnum, adakah pilihan lain selain pemilu yang tidak terperangkap oleh senario-senario di atas?
Niels Mulder, (2000) dalam Individu, Masyarakat, dan Sejarah. Kajian Kritis Buku-Buku Pelajaran Sekolah di Indonesia mengingatkan kita semua bahwa keanekaragaman dapat diperberat keadaannya karena primordialisme dan politik aliran. Yang pertama, dapat melahirkan isu-isu berdasarkan suku, agama, ras, dan kelompok/golongan (SARA) yang dapat mengancam keutuhan nasional. Dalam masa lalu, hal ini mengakibatkan timbulnya politik aliran dan mendorong aneka ragam partai politik mengorganisasi para pengikut mereka, dalam segala macam organisasi sosial yang bergabung dengannya. Sebagai kelompok-kelompok yang terorganisasi dengan kepentingan, serta ideologi yang berbeda-beda, mereka sungguh mengancam keutuhan nasional. Selamat Natal dan Tahun Baru 2023.
Sumber: mediaindonesia.com