MICE  

Membina yang Rapuh Menjadi Tangguh

KEHIDUPAN pendidikan terus menghadapi tantangan dalam mengatasi mentalitas generasi peserta didik yang setiap zamannya memiliki karakteristik unik dan berbeda. Saat ini berbagai generasi menyertai kehidupan pendidik dalam memahami peserta didiknya dengan tujuan agar proses pembelajaran kreatif dapat terlaksana sesuai dengan era generasinya. Mulai sebutan generasi milenial atau Z sampai dengan penemuan generasi stroberi.

Menurut Rhenald Kasali (2017), generasi stroberi ialah generasi yang tampilannya indah, lucu, dan menarik, tetapi di sisi lain mudah hancur. Stroberi ialah buah yang dari segi warna saja sudah begitu menggoda sehingga lupa bahwa stroberi juga memiliki sejumlah kerapuhan. Sama halnya yang terjadi pada generasi sekarang, yang sebentar-bentar memerlukan refreshing atau healing atas hasil kerja kerasnya dalam menjalani hidup.

BPS (2021) mencatat sebanyak 27,94% dari total populasi penduduk Indonesia ialah generasi Z berdasarkan sensus penduduk 2020. Mereka yang termasuk generasi ini ialah yang lahir di rentang 1997-2012 atau usia 10-25 tahun. Generasi Z terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu mereka yang masih bersekolah dan mereka yang mulai menapaki karier di dunia kerja.

Menurut Syarfina Mahya Nadila (peneliti di bidang sosiologi di Direktorat Kebijakan Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Pengembangan Regional BRIN), mengutip survei yang dilakukan Harris Poll, generasi Z adalah generasi yang terlahir dalam ekosistem digital yang mulai tumbuh dan berkembang. Sebagai generasi digital, umumnya mereka sangat kreatif. Kemampuan digital generasi itu tidak perlu diragukan lagi. Mereka dapat diandalkan untuk kerja-kerja yang berkaitan dengan teknologi digital. Kelemahan generasi itu ialah sikap manja dan lemah secara psikologis karena mereka hidup dalam kemudahan akibat kemajuan teknologi digital.

 

Mengenal karakter

Generasi stroberi dapat diidentifikasi dari beberapa karakteristik, yaitu dari bentuk ucap dan tindakan melalui perihal yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Jika dikaitkan dengan dunia persekolahan, tingkah mereka bisa terlihat dari cara mereka menyikapi berbagai tugas dan tuntutan sekolah yang diimbangi dengan kemajuan teknologi.

Jika kita melihat mereka dari luaran, yang tampak ialah remaja dengan terkesan canggih, mampu menguasai teknologi, dan kreatif. Jelas kita bisa melihat betapa mereka sangat mahir menguasai berbagai media digital, menjelajah dunia maya, dan mengikuti tren dunia. Mereka tumbuh dalam lingkungan instan, yang semuanya bisa didapat dengan mudah dan cepat karena adanya digitalisasi dalam segala aspek kehidupan.

Selanjutnya, jika kita menelusuri lebih dalam dan menggali perasaan generasi stroberi, maka kita akan melihat fakta yang berbeda. Generasi itu rapuh karena sering kali mengurung kegelisahan di benak terdalam sehingga mereka hanya mampu memendam kekacauan perasaannya dalam menghadapi situasi kehidupan yang semakin berkembang. Menurut Maslow, hal itu terjadi karena mereka perlu menunjukkan eksistensinya pada dunia melalui pencapaian, kebahagiaan, dan pengakuan orang banyak.

Maka dari itu, generasi Z memiliki hubungan dengan generasi stroberi. Generasi yang saat ini saling dikaitkan akibat dari kepribadian yang terus berkembang setiap masanya. Generasi stroberi ialah generasi yang instan dan jika disatukan dengan generasi Z, yaitu generasi dengan wawasan luas, akan memunculkan dampak positif khususnya bagi perkembangan kepribadian seorang anak.

Melalui perkembangan kepribadian itulah, generasi Z dapat melakukan kegiatan positif yang membantunya mengelola diri dan emosi agar tidak mudah terbawa arus negatif. Misalnya dalam membuat konten, di sini pencampuran kedua generasi bisa saja terbentuk agar tidak goyah jika menghadapi kegagalan dalam perihal membuat konten. Berupaya belajar dari pengalaman bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan tidak bisa diwujudkan secara instan.

 

Memberikan ruang ekspresi

Seperti yang diungkapkan Prof Rhenald Kasali, PhD dalam bukunya yang berjudul Strawberry Generation, orang-orang di sekitar, mulai orangtua, pendidik, dan orang dewasa lainnya harus lebih sadar terhadap ketahanan dan kesehatan mental generasi stroberi sehingga nantinya kita bisa mengubah ‘generasi rapuh menjadi generasi tangguh.’

Kalimat tersebut membuat saya berpikir bahwasanya sekolah memiliki tantangan yang lebih besar dan harus terus melakukan inovasi untuk merangkul generasi itu. Pembelajaran tak boleh hanya mengulas buku di ruang kelas, tetapi juga harus menyentuh ranah realitas kehidupan yang kian berkembang. Tujuannya ialah agar generasi itu mampu menghadapi tantangan dan mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi. Anak-anak juga perlu dibiasakan untuk berpikir kreatif. Proses berpikir kreatif tidak hanya dilakukan pendidik, tetapi juga harus bekerja sama dengan orangtua karena proses perkembangan seorang anak menjadi lebih tangguh ialah tanggung jawab bersama.

Prof Rhenald Kasali, PhD menulis dalam buku Strawberry Generation, “Anak-anak kita harus dapat keluar dari perangkap yang dapat membuat mereka rapuh.” Salah satu penyebab keadaan mental seorang anak rapuh ialah kesulitan mewujudkan keinginan orangtua. Masih banyak orangtua yang memaksakan masa depan anaknya sesuai keinginannya. Ibarat kata, anak-anak dipaksa untuk mewujudkan mimpi orangtuanya, menggapai cita-cita orangtuanya, bukan mewujudkan mimpinya dan menggapai cita-citanya. Seharusnya setiap anak bebas memilih untuk mengembangkan ekspresi berpikir dan pencapaian masa depannya.

Terlalu mengendalikan kehendak anak hanya akan membuat ia merasakan bahwa masa depannya sangat terbatas. Seorang anak sangat membutuhkan apresiasi dan motivasi dalam proses menjalani kehidupan karena hal tersebut dapat membuatnya menjadi lebih baik dan menganggap dirinya memiliki andil untuk menjalani kehidupan. Ia akan lebih bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat dan ia juga belajar untuk menimbang untung dan rugi dari pilihan-pilihan yang ia buat. Dari proses itulah seorang anak belajar untuk menguatkan dirinya menghadapi kehidupan yang kian mudah, tetapi juga kian menuntut persaingan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa kehidupan masa kini dilingkari para penerus generasi, yang artinya perlu kerja keras untuk membentuk penerus menjadi pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi perkembangan modernisasi kehidupan. Bisa saja dalam bentuk baik pola pikir maupun kecanggihan teknologi yang membuat kehidupan semakin instan untuk dijalani. Bagaimanapun juga hidup membutuhkan manusia-manusia yang secara mental terlatih melewati tantangan tanpa harus menghindarinya, yaitu dengan cara menerima berbagai kritik dan saran untuk menumbuhkan motivasi yang lebih dalam.


Sumber: mediaindonesia.com