MICE  

Mardani Diduga Jadi Korban Kriminalisasi

JAKSA Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut

mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Mardani H Maming, dengan hukuman 10 tahun 6 bulan. Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia itu juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp118,7 miliar.

Tuntutan bagi terdakwa yang diajukan ke pengadilan dalam perkara suap izin pertambangan itu, menimbulkan opini beragam di masyarakat, akademisi dan pengamat.

Sejumlah kalangan menilai tuntutan JPU ini sangat berlebihan dan

terkesan dipaksakan. Bahkan perkara ini juga dinilai sebagai bentuk

kriminalisasi terhadap mantan Bendahara Umum PBNU tersebut.

“Banyak kalangan menilai Mardani adalah korban kriminalisasi,” ungkap Sekretaris PWNU Kalsel, Berry Nahdian Furqon, Minggu (15/1).

Berry sependapat dugaan kriminalisasi ini juga bertujuan agar status mantan narapidana yang melekat ke Maming membuat dirinya  tidak bisa

lagi bertarung di kancah politik dan kepemimpinan lainnya.

Seperti diketahui Mardani H Maming adalah ketua DPD PDI-Perjuangan Kalsel, sebuah posisi yang ikut menentukan siapa calon gubernur Kalsel di kontestasi 2024.

Mardani juga disebut-sebut merupakan salah satu calon kuat Gubernur Kalsel. “Tapi itu hanya salah satunya, motif lainnya adalah pertarungan bisnis dan superioritas. Ada pihak yang merasa lebih kuat dan tidak mau ada orang lain yang melebihinya,” tutur Berry.

Jika dugaan ini benar, dia turut menyayangkan bahwa KPK disusupi oleh kasus-kasus titipan seperti itu. Berry mengajak masyarakat untuk lebih kritis dan turut menyuarakan kebenaran agar tidak ada lagi aksi kriminalisasi oleh orang atau kelompok tertentu yang menguasai jaringan bisnis, kekuasaan, dan hukum.

Setali tiga uang, akademisi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin, Profesor Uhaib As’ad sepakat perkara yang menjerat mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming tidak lepas dari pertarungan atau kompetisi bisnis dan politik lokal.

“Sebagai kepala daerah yang punya kewenangan tentu akan banyak pelaku

bisnis mendekat dan jika tidak berhati-hati akan terjebak pada pusaran rent seeking. Apalagi jika kepala daerah mempunyai rivalitas politik dan bisnis yang ingin menjatuhkan dirinya,” kata Uhaib.

 

Kasus Serupa Tuntutan Lebih Ringan

 

Tuntutan 10,5 tahun penjara terhadap Mardani H Maming menuai banyak

kritikan dan dianggap terlampau tinggi dibanding kasus-kasus serupa

lainnya. Sebagai contoh perkara Nurdin Abdullah, mantan Gubernur Sulawesi Selatan yang dituntut 6 tahun penjara terkait suap dan gratifikasi.

Begitu pula dengan Maliki, terpidana kasus gratifikasi di lingkup Pemkab Hulu Sungai Utara, Kalsel dituntut 4 tahun penjara.

“Memang sedari awal sejak penetapan sebagai tersangka sudah

janggal. Kesannya seperti memenuhi orderan,” kata Berry Nahdian Furqon.

Dalam persoalan pengalihan IUP, misalnya, terbitnya izin tersebut sedianya telah melalui kajian di tingkat daerah hingga pusat. Bahkan IUP yang dikeluarkan telah mendapat stempel clear and clean dari Kementerian ESDM.

Berry melihat kasus ini teramat dipaksakan. Selain bermodal

kesaksian orang yang sudah meninggal dunia, peristiwa yang dipermasalahkan KPK terjadi pada 2011 silam. Mardani sendiri membantah telah menerima dana sebanyak Rp118 miliar.

“Tuntutan terhadap Mardani H Maming ini sangat dipaksakan.

Begitu cepat KPK menetapkan sebagai tersangka dibandingkan dengan

kasus-kasus lainnya,” tegas Berry. (N-2)


Sumber: mediaindonesia.com