Indeks
MICE  

Kurikulum Merdeka atau Merdeka Belajar

SEJARAH mencatat, perubahan kurikulum di tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah bukanlah hal yang biasa dilakukan di negeri tercinta kita ini, Indonesia. Dimulai dari 77 tahun lalu sampai dengan 2022 ini, kurikulum kita telah mengalami hingga 14 kali perubahan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Hal itu dilakukan pemerintah Indonesia bukan ‘karena berganti presiden atau berganti menteri maka berganti pula kurikulum’, tetapi pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudristek dan Kemenag telah melakukan berbagai evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya dan perkembangan isu kontemporer. Di antara evaluasi yang ditemukan, masih ada beberapa kekurangan dan hambatan yang dihadapi oleh perangkat satuan pendidikan (sekolah/madrasah), seperti pendidik, peserta didik, tenaga kependidikan, unsur pimpinan, dan stakeholders.

Uniknya, kekurangan dan hambatan tersebut tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan mereka dalam setiap pertemuan resmi maupun tidak resmi, ataupun pada saat menjadi partisipan pada sebuah penelitian. Di antaranya, kesiapan mereka menyesuaikan perubahan pola pikir implementasi, pemerataan distribusi peserta pelatihan atau workshop perubahan kurikulum, pengurangan dan penambahan syarat-syarat administrasi kelengkapan pengajaran dan pembelajaran (dimulai dari sistematika penyusunan RPP dan sistematika teknik pengajaran buku baca baru), sarana dan prasana pendukung pelaksanaan kurikulum, dan kemampuan mereka di dalam mengoperasikan kecanggihan teknologi pendidikan (seperti E-learning, aplikasi Zoom, Google Meet, dan sebagainya).

Selain itu, masa pandemi covid-19 lalu telah menyebabkan ketertinggalan pembelajaran (learning loss) pada ketercapaian kompetensi peserta didik, serta dari berbagai temuan studi nasional maupun internasional menunjukkan Indonesia telah berada di posisi krisis pembelajaran (learning crisis).

Keunikan di atas menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia masih memerlukan kurikulum yang dapat memerdekakan mereka dari belenggu beberapa kekurangan dan hambatan tersebut. Seiring dengan perkembangan era industri 5.0, pemerintah Indonesia terus mencari desain kurikulum baru untuk dijadikan solusi penanggulangannya. Oleh karena itu, lahirlah kurikulum ke-14 yang diberi nama Kurikulum Merdeka.

MI/Duta

 

Keunggulan

Keunggulan kurikulum ini nantinya akan mampu fokus pada materi yang esensial dan di dalam mengembangkan kompetensi peserta didik pada fasenya. Belajar lebih mendalam, bermakna, dan menyenangkan, juga memberikan kemerdekaan lebih kepada peserta didik, guru, dan sekolah dalam memilih pembelajaran yang sesuai, relevan, dan interaktif, baik pada tingkat pendidikan di bawah Kemendikbudristek maupun di bawah Kemenag.

Ketercapaian keunggulan di atas dapat ditandai dengan keberhasilan menciptakan suasana pembelajaran yang inklusif. Iklim inklusif di sini maksudnya ialah pembelajaran beriklim toleransi dan menghargai satu sama lain sehingga output-nya menghasilkan peserta didik berprofil pelajar Pancasila, yang memiliki sifat kebinekaan global dan berakhlak kepada sesama.

Dengan demikian, sekolah/madrasah diharapkan mampu menyediakan alokasi waktu khusus untuk project penguatan profil pelajar Pancasila tersebut. Misalnya, dengan melakukan kegiatan melatih mereka berkolaborasi menggali dan memecahkan isu atau masalah nyata di lingkungan sekitar. Muatan lokal kedaerahan juga dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah setempat.

Seperti biasanya, pemerintah tidak langsung menginstruksikan seluruh satuan pendidikan (sekolah/madrasah) harus mengimplementasikannya. Namun, mereka harus melalui tahapan-tahapan penerapan. Di antaranya, mereka diminta mempelajari dan memahami konsep dan materi Kurikulum Merdeka. Selanjutnya, mereka diminta mendaftarkan diri dan mengisi survei singkat yang disediakan oleh Kemendikbudristek. Hasil pendaftaran dan pengisian survei ini nantinya tidak dijadikan bahan seleksi, tetapi akan dijadikan bahan pemetaan kesiapan satuan pendidikan yang mampu mengimplementasikan dan menyiapkan bantuan operasional sesuai kebutuhan. Dengan begitu, diharapkan semua sekolah/madrasah akan mampu mengimplementasikan Kurikulum Merdeka ini di 2024.

Sementara itu, implementasi kebijakan baru pada kurikulum di tingkat satuan pendidikan tinggi juga mulai dilaksanakan, terhitung mulai 24 Januari 2020. Kebijakan tersebut diberi nama Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Perubahan kebijakan itu dilandasi empat pokok kebijakan transformasi. Pertama, otonomi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) untuk membuka program studi baru dengan syarat PTN dan PTS itu telah memiliki akreditasi A dan B, juga telah bekerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk QS Top 100 World Universities, kecuali prodi pendidikan dan prodi kesehatan.

Kedua, reakreditasi yang bersifat otomatis untuk semua jenjang peringkat bagi perguruan tinggi dan prodi yang telah siap naik peringkat. Itu artinya, akreditasi yang telah ditetapkan 5 tahun masa berlakunya oleh BAN-PT dan akan diperbarui secara otomatis, serta usulan peningkatan akreditasi PT yang berstatus B dan C, dapat dilakukan kapan pun secara sukarela. Kecuali, ada indikasi penurunan mutu pendidikan dan peninjauan kembali akreditasi.

Ketiga, kebebasan transformasi PTN badan layanan umum (BLU) dan satuan kerja (satker) menjadi PTN badan hukum (BH) tanpa terikat status akreditasi. Dalam hal ini, Kemendikbudristek mempermudah pengajuannya, dan PTN dapat mengajukan permohonan kapan pun apabila merasa sudah siap.

Keempat, pemberian hak kepada mahasiswa mengambil mata kuliah di luar prodi secara sukarela sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS dan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS) yang semula bermakna ‘jam belajar’ menjadi ‘jam kegiatan’. Kebijakan keempat itu diterapkan untuk mewujudkan implementasi nyata dari kerja sama PTN dan PTS dengan organisasi dan/atau universitas di atas, serta mejadi langkah strategis agar mudah bergerak menyentuh kebutuhan nyata di lingkup sosial maupun dunia kerja.

Menariknya, istilah yang digunakan pada perubahan kurikulum dan kebijakan pada kurikulum pedidikan tinggi di atas terjadi hanya sedikit ada pertukaran posisi kata ‘Merdeka’. Jika dilihat, kata ‘Merdeka’ hanya dibalik dari ‘Kurikulum Merdeka’ menjadi ‘Merdeka Belajar-Kampus Merdeka’. Sepintas mungkin ini dianggap sepele, tapi kenyataannya di kalangan para perangkat satuan pendidikan terpantau kebingungan dan terkadang salah sebut.

 

Berkompetensi di luar

Oleh karena itu, menarik bagi penulis untuk membuat catatan ini supaya pembaca dapat membedakan keduanya, sekalipun pada hakikatnya kata ‘Merdeka’ telah digaungkan sejak tahun 1945 sebagaimana telah tertuang di dalam petikan UUD 1945. Pernah pula dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantoro, bahwa kemerdekaan merupakan syarat mutlak peserta didik dalam mengembangkan potensi diri berpikir dan bertindak tanpa tekanan dan hambatan apa pun.

Kendati demikian, kali ini mungkin pemerintah ingin menegaskan bahwa pendidikan kita pada kurikulum dan kebijakan baru ini tidak lagi terfokus pada suasana belajar yang bermodal ‘jago kandang’ di ruang kelas ataupun ruang kuliah sendiri. Akan tetapi, juga mampu berkompetensi di luarnya, baik di beberapa tempat yang nyata dilihat pada keseharian siswa maupun beberapa organisasi multilateral, perusahan multinasional, perusahan teknologi global, startup teknologi, BUMN, BUMD, dan/atau universitas lainnya bagi mahasiswa.

Dengan kata lain, diharapkan nantinya setiap satuan pendidikan akan melahirkan generasi milenial berprofil pelajar Pancasila dan mampu mempraktikkan apa yang didapatkan dari hasil konsep/teori pendidikannya di kancah nasional ataupun Internasional, serta berkarakter pemimpin yang memiliki prinsip Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, dan Tut wuri handayani. Pemimpin yang mampu di saat berada di depan memberikan suri teladan untuk semuanya, di saat berada di dalam kesibukan mampu membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi positif untuk bertindak, juga di saat berada di belakang mampu memberikan dukungan moral dan semangat kerja.

Meskipun, implementasi Kurikulum 2013, Kurikulum 2013 revisi, Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang diserderhanakan) di tingkat pendidikan dasar dan menengah masih belum maksimal diterapkan, serta kebijakan baru pada kurikulum yang menggunakan pendekatan outcome based education (OBE) di tingkat pendidikan tinggi masih dalam proses sosialisasi dan penyesuaian penerapannya. Sehubungan dengan itu, melalui opini ini penulis mengajak semua pihak agar selalu siap menghadapi berbagai perubahan serta mendukung secara sukarela perubahan kurikulum dan kebijakan tersebut sebagai solusi pelengkap kekurangan kurikulum sebelumnya. Selain itu, tetap menjalankan kurikulum yang sedang diterapkan sembari menunggu giliran perubahannya.

Selanjutnya, penulis berharap kepada pemerintah untuk terus mengupayakan kesetaraan dan keadilan distribusi pelayanan kebutuhannya, baik bagi perangkat satuan pendidikan yang berada di perkotaan maupun di perdesaan, seperti pelatihan/workshop berbasis penelitian dan pengabdian, pemerataan peserta pelatihan/workshop di tingkat pusat ataupun daerah, serta pelaksanaan refleksi atau feedback setelahnya. Pun, penambahan bantuan dana operasional serta sarana dan prasarana pendukung pengembangan Kurikulum Merdeka atau Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version