Indeks
MICE  

Kejutan Piala Dunia dan Politik Kita

PIALA Dunia 2022 telah diwarnai kejutan sejak dimulai, terutama ketika Arab Saudi mengalahkan Argentina dan Jepang mengalahkan Jerman. Bagaimana Iran mengalahkan Wales juga menarik, tim Asia lain yang menggoyang dominasi sepakbola Eropa. Di tengah gelombang unjuk rasa bagi demokratisasi, tim yang dilatih Carlos Quiroz ini berusaha menunjukkan, bahwa olahraga tetaplah olahraga, jangan dicampuri politik.

Namun, kejutan ini hanya kelanjutan saja dari apa yang terjadi sebelumnya. Selang hanya beberapa bulan setelah memenangkan Kejuaraan Eropa di tahun 2020, Italia gagal lolos dalam kualifi kasi untuk Piala Dunia 2022. Tim yang sudah meraih empat trofi dalam Piala Dunia ini sebelumnya juga gagal lolos dalam kualifi kasi untuk Piala Dunia 2018 di Rusia. Pecandu sepakbola Italia pun meradang.

Dari Eropa Timur yang tengah bergejolak, Rusia didepak dari babak play-off kualifi kasi karena menginvasi Ukraina. Polandia yang semestinya menjadi lawan akhirnya dinyatakan menang bye menuju final, dan kemudian mengalahkan Swedia. Tim Rusia, kini hanya mungkin memainkan partai-partai persahabatan, itu pun dengan negara-negara yang kebetulan sejalan dengan mereka.

Bagaimana dengan Ukraina yang harus bermain di tengah invasi Rusia? Sebagaimana Rusia, Ukraina harus melalui babak play-off, sebab mereka hanya menjadi runner-up grup di belakang juara dunia 2018, Prancis. Setelah mengalahkan Skotlandia, Ukraina takluk dengan skor tipis 0-1 dari Wales pada Juni 2022, dan gagal melenggang ke Qatar.

Dalam wawancara dengan Skysport, Oleksandr Zinchenko, mantan pemain Manchester City yang kini bermain di Arsenal, menyatakan betapa sepak bola memiliki ‘hukumnya’ sendiri. “Saya minta maaf, baik pada (negeri saya yang tengah berjuang) maupun para pendukung dari seluruh dunia. Bukan salah para pemain, sebab mereka sudah melakukan yang terbaik di lapangan. Namun, itulah sepak bola, apa pun bisa terjadi.”

 

 

Politik kita

Setiap bagian bola yang baik memiliki peluang yang sama untuk berada di atas, di bawah dan di samping. Secara metaforis, peluang setiap tim juga demikian, bahwa peluang untuk menang, kalah atau seri adalah sama. Namun, kemenangan akan ditentukan oleh tim mana yang mampu untuk berada di atas, mengatasi hambatan atau tantangan bukan hanya dari lawan, tetapi juga dari cuaca, kondisi lapangan, dan yang lebih sulit dari dalam diri setiap pemain.

Dibawa ke ranah politik tanah air saat ini, yakni menjelang Pemilu 2024, babak kualifi kasi sudah dimulai. Sudah terdapat partai-partai yang dipastikan lolos untuk bisa bertanding. Dari 40 partai politik yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon peserta Pemilu, terdapat 18 partai yang lolos, yakni 14 partai adalah muka lama dan 4 partai adalah muka baru.

Kalau berhitung soal peluang, 9 partai yang saat ini memiliki kursi di parlemen tentu memiliki peluang yang lebih besar. Mereka seperti tim-tim mapan dalam sepak bola: memiliki sumber daya, akses, pengalaman, dan seterusnya. Walaupun bukan partai pendukung pemerintah misalnya, di mana mereka hanya mengandalkan para anggota legislatif di berbagai tingkatan, serta eksekutif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tetap saja akses sumber daya lebih besar dan mudah dibanding partai-partai baru.

Namun, seperti dalam sepak bola, kejutan-kejutan bisa saja terjadi. Apa yang kurang dengan tim Italia, misalnya? Atau karena kontestasi politik juga dikelola menggunakan ragam aturan dan fatsoen, bukan tidak mungkin akan ada partaipartai yang mengalami nasib seperti tim Rusia, meskipun peluangnya kecil. Karena menciderai hukum dan fatsoen demokrasi internasional, Rusia didiskualifikasi di babak play-off.

Para pemain dalam kontestasi politik adalah para calon yang diusung partai, calon legislatif dan eksekutif. Pertamatama mereka harus memenangkan diri sendiri sesuai jenis dan tingkat pemilu yang diikuti, dan bersamaan dengan itu mereka berusaha memenangkan partai. Sementara, kontribusi partai pada mereka akan sangat tergantung pada strategi yang dimainkan.

Tentu, akan ada partai-partai yang bermain sebagai sebuah tim, ketika pada kenyataannya teramat sering para kandidat main sendiri dan partai juga main sendiri. Bahkan, tak jarang para kandidat di satu tingkat pemilihan ‘bermitra’ dengan kandidat dari partai lain, dengan tingkat pemilihan berbeda. Dalam hal ini, kemenangan individual menjadi prioritas.

 

 

Partai final

Pertandingan final dalam kontestasi politik ada dua: pertarungan calon legislatif (pileg) di tingkat DPR-RI dan pemilu presiden (pilpres). Partai yang berhasil mencapai ambang batas parlemen (parliementary threshold) akan memiliki wakil di Senayan ketika partai yang gagal terpaksa merelakan suara atau kursinya diserahkan pada partai lain.

Partai paling final adalah pilpres, yang sejak jauh-jauh hari sudah diramaikan dengan beberapa bakal calon kandidat. Partai-partai politik, dibantu oleh lembaga-lembaga survei, telah berusaha menjaring calon-calon mereka. Konon, kalau mengusung calon yang populer atau dari partai sendiri, suara partai diyakini akan naik.

Isu-isu, baik yang berisi atau berdasar fakta, atau sebaliknya hoaks dan fiktif, telah berseliweran. Bahkan tanpa malumalu lagi, ragam kelompok masyarakat dan bahkan pejabat negara telah mulai mengkampanyekan calon-calon mereka. Sejauh tak melanggar undang-undang, atau lebih tepatnya selama tidak dibawa ke ranah hukum karena alasan tertentu, mobilisasi dini ini akan terus berlanjut.

Bagi kepentingan pelembagaan sistem politik, ukuran terpenting adalah sejauh mana itu semua mendewasakan, atau mematangkan kapasitas politik rakyat sebagai pemilik suara. Setiap calon dan tim sukses mereka, misalnya, seyogianya memfasilitasi semakin banyak warga negara menjadi pemilih rasional, yang memilih atas dasar pertimbangan akal sehat.

Bagaimana dengan smear campaign atau kampanye hitam? Ini seperti pelanggaran dalam sepakbola. Tackling dalam menghadapi serangan balik adalah salah satu yang paling sering terjadi. Ada juga pemain yang pura-pura jatuh atau dilanggar, playing victim, dengan harapan hadiah penalti, tendangan bebas atau bahkan sekadar memancing emosi lawan.

Sejauh yang saya lihat, ini sudah mulai terjadi, sehingga saya ingin mengingatkan saja. Masyarakat kita sudah semakin cerdas dalam politik. Partai dan kandidat yang tidak hati-hati bisa saja tergelincir, di mana karena terlalu bernafsu justru mengalami antiklimaks, bahkan sebelum pertandingan sebenarnya dimulai.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version