MICE  

Kejaksaan harus Kejar Aset Koruptor Jiwasraya di Luar Negeri

JAKSA eksekutor perlu mengeksekusi aset para terpidana kasus megakorupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (persero) yang berada di luar negeri. Langkah ini untuk mengoptimalkan proses asset recovery atau pemulihan aset dari total kerugian keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun.

Menurut anggota Dewan Pakar Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Yunus Husein, pihak kejaksaan dapat meminta bantuan Camden Asset Recovery Inter-agency Network (CARIN), jejaring internasional penegak hukum dalam bidang pelacakan aset.

“Bisa minta tolong agency to agency, kalau di kejaksaan ada kerja sama CARIN. Sudah dipakai belum untuk aset-aset di luar negeri?” katanya kepada Media Indonesia, Jumat (3/2).

Selain itu, Yunus mengatakan bahwa pecalakan aset terpidana Jiwasraya perlu melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurutnya, PPATK dapat membantu meminta informasi keberadaan aset-aset terpidana di luar negeri.

“Saya khawatir belum (dilakukan), hanya yang di dalam negeri saja yang diaduk-aduk. Kalau cuma ngandelin (aset) dalam negeri saja, enggak banyak hasilnya,” ujar mantan Ketua PPATK itu.

Dunia internasional, sambung Yunus, turut menyoroti rendahnya asset recovery Indonesia dalam tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering, organisasi internasional yang memerangi pencucian uang.

Padahal, Indonesia sedang berupaya menjadi anggota penuh FATF. “Salah satu kritikan FATF ke Indonesia adalah, ‘You asset recovery-nya kecil, padahal korupsinya rankingnya tinggi’,” beber Yunus.

Terpisah, Kepala Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung Sayaifudin Tagamal mengungkap, pihaknya telah menyetor penyelesaian barang rampasan kasus Jiwasraya sebesar Rp3,11 triliun. Angka itu dihimpun setelah perkara Jiwasraya inkrah atau berkekuatan hukum tetap, yakni sejak September 2021 sampai Januari 2023.

Dua terpidana skandal Jiwasraya, yakni Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dan Komisaris PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, masing-masing dijatuhi pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp10,728 triliun dan Rp6,078 triliun.

Yunus menjelaskan, jaksa eksekutor boleh menyita aset-aset Heru dan Benny baik yang diperoleh secara tidak sah maupun yang sah untuk menutup pembayaran uang pengganti. Terlebih, keduanya dihukum pidana penjara seumur hidup, sehingga tidak ada pengganti pidana kurungan sebagai hukuman subsider.

Sebelumnya, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih berpendapat, rendahnya penyelesaian rampasan ke kas negara dalam kasus Jiwasraya disebabkan karena jajaran Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) hanya mengandalkan Pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aturan itu menjelaskan pidana tambahan lain berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan maupun pencabutan seluruh atau sebagain perusahaan.

“Memang harus diberdayakan proses penyitaan dengan integritas yang tinggi sejak di penyidikan. Pakai upaya paksa, sita,” kata Yenti. (OL-8)


Sumber: mediaindonesia.com