Indeks
MICE  

Kebebasan Ekspresi Beragama/Berkeyakinan Kaum Minoritas di Media Digital

MESKIPUN dilindungi secara konstitusional dalam UUD 1945, dan aturan-aturan turunan lainnya, pada praktiknya kebebasan berekspresi beragama atau berkeyakinan itu rumit, khususnya pada ranah digital. Banyak komunitas minoritas agama dan individu yang tidak beragama, masih mengalami diskriminasi. 

Bebannya berlipat ganda, bagi mereka yang berada di luar enam agama yang dilayani pemerintah, seperti Baha’isme, Sikh, Taoisme, Yudaisme, agama leluhur, dan gerakan atau kelompok spiritual lainnya. Dua yang terakhir, berada di bawah kategori umum “Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME (disebut Penghayat). Kelompok-kelompok ini menanggung beban ganda selain menjadi minoritas, karena pemerintah menganggap bahwa definisi “agama” tidak berlaku bagi mereka (Picard, 2011).

Kebebasan beragama atau berkeyakinan, merupakan bagian dari pengakuan dan perlindungan HAM. Setiap tanggal 10 Desember, diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. Peringatan hari HAM, merupakan sebuah momentum untuk merefleksikan kembali situasi pengakuan dan penegakan HAM di berbagai negara, khususnya Indonesia. Saat ini, masih banyak catatan terkait persoalan HAM yang menjadi PR bersama untuk dapat segera diselesaikan. 

Salah satunya, yang menjadi perhatian serius adalah terkait jaminan kebebasan beragama dan beribadah. Hal itu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep HAM, dan telah diatur dalam Pasal 18 Deklarasi Universal HAM yang menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. 

Tata kelola keberagamaan di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan pasca 1998, di mana semakin menguatnya landasan konstitusional dan hukum terkait kebebasan beragama. Zainal A. Bagir dalam artikelnya berjudul The Politics and Law of Religious Governance (2018) menjelaskan, bahwa konsep kebebasan beragama yang telah disebutkan dalam UUD 1945 memperoleh landasan yang lebih kuat post-reformasi 1998 dalam UU baru terkait HAM, dengan adanya penambahan pasal-pasal baru dalam konstitusi yang diamendemen. Salah satu pasal yang menguatkan hak kebebasan beragama, adalah pasal 28E yang menegaskan, bahwa warga negara mempunyai hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

<b>Dalam ruang digital<p>

Pada Maret 2022, Imparsial mempublikasi laporan terkait kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia periode 2017-2022. Dalam laporan ini, ada 3 topik utama yang menjadi pembahasan. Yakni, terkait persoalan regulasi, implementasi perlindungan kebebasan beragama, dan juga perspektif gender dalam diskursus kebebasan beragama. 

Dalam artikel ini, akan dibahas persoalan regulasi kebebasan beragama, secara khusus di ruang digital. Perlindungan terhadap kebebasan beragama di ruang digital, diatur dalam aturan terkait penanganan ujaran kebencian dalam pasal 156 KUHP. Juga, dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE. Semangat dua regulasi ini, sebenarnya sudah sesuai dengan prinsip HAM. Namun, dalam laporan yang dipublikasi oleh Imparsial, kedua regulasi ini masih sering diimplementasi secara keliru dengan tujuan untuk mempersekusi individu, atau kelompok beragama yang berbeda dengan mayoritas.

Dinamika kehidupan beragama saat ini menunjukkan, bahwa aktivitas komunitas beragama di platform digital mengalami peningkatan yang signifikan secara khusus selama masa pandemi covid-19 dan juga setelahnya. Platform digital, yang mencakup berbagai layanan digital, termasuk media sosial, menawarkan harapan akan ruang sosial yang lebih demokratis, dan tempat bagi kelompok minoritas untuk mengekspresikan keberagamaan mereka dengan lebih bebas. 

Kenyataan di lapangan tidak semudah itu. Teknologi digital berkembang dengan merangkul musuh demokrasinya, seperti menjadi pemicu ujaran kebencian dan penyakit digital lainnya. Berdasarkan situasi ini, tim peneliti dari Prodi Inter-religious Studies Sekolah Pascasarjana UGM, yang merupakan bagian dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dalam kurun waktu setahun terakhir melakukan penelitian terkait kebebasan beragama di ruang digital, dengan fokus penelitian pada kelompok agama minoritas yang belum berada di bawah naungan Kementerian Agama (Baha’I, Tao, Sikh, Yudaisme) dan juga komunitas penghayat.

Tujuan utama dari kegiatan penelitian ini adalah, untuk memetakan aktivitas digital komunitas agama minoritas selama pandemi covid-19, dan prospeknya pasca pandemi. Di samping itu, melalui kegiatan penelitian ini juga, kami ingin berkontribusi terhadap peningkatan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia saat ini pada ranah digital, khususnya bagi komunitas agama minoritas. 

Penelitan ini dilaksanakan di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Jabar (Kasapuhan Cipta Gelar), Semarang, Salatiga, Waingapu dan juga desa Boti (TTS, NTT). Kegiatan penelitian ini sejalan dengan kegiatan penelitian sebelumnya, terkait masyarakat digital di mana usaha yang dilakukan saat ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang setara untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang transformatif, setara dan berkeadilan.

Informasi yang kami dapatkan dari komunitas yang kami teliti, sebagian besar dari mereka sampai saat ini masih “membatasi” aktivitas di media digital. Walaupun, ada satu kesamaan pendapat para narasumber yang melihat bahwa masa pandemi merupakan sebuah momentum untuk memaksimalkan penggunaan media digital. 

Beberapa persoalan teknis dihadapi masing-masing komunitas dalam memaksimalkan aktivitas di media digital, seperti kurangnya SDM yang secara khusus mengurus media digital, ketersediaan peralatan yang mendukung, kualitas sinyal internet, harga kuota internet, dan beberapa persoalan teknis lainnya. Dari aspek teknis ini, berdasarkan data dari narasumber yang diwawancarai, hanya komunitas Sikh & Cipta Gelar yang sudah cukup “profesional” dalam mengelola media digital.

Di samping kendala teknis, tantangan lain yang dihadapi adalah terkait “kebebasan berekspresi” di ruang digital. Sebagian besar narasumber masih melihat ini sebagai suatu tantangan karena masih ada “kecemasan” terkait kesalahpahaman, mispersepsi dari publik terhadap konten yang diupload. Beberapa komunitas agama minoritas, dan penghayat membatasi aktivitas digital mereka dengan “menutup kolom komen” dan juga melakukan “sensor” yang cukup ketat terhadap konten yang akan diunggah di media digital. 

Kecemasan ini muncul, karena ada beberapa narasumber yang mengalami “persekusi digital” seperti dikatakan “sesat, ateis, pemuja roh, dll.” pada saat mengunggah konten di media digital. Situasi ini, kemudian membuat para narasumber sangat hati-hati dengan mengatakan bahwa aktivitas mereka di media digital lebih sebagai sebuah bentuk edukasi publik, bukan promosi seperti yang dipersepsikan oleh beberapa kalangan. Penggunaan media digital, dinilai dapat meningkatkan kerentanan bagi kelompok agama minoritas dan komunitas penghayat. Ada narasumber yang mengatakan bahwa “sosial media dipakai sebagai alat untuk menyerang kelompok minoritas”.

Saat ini, tercatat lebih dari 200 komunitas penghayat berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Hal ini, karena mereka dianggap lebih dekat dengan “budaya” daripada “agama”. Komunitas ini, juga diawasi oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Masyarakat (Bakor Pakem) Kejaksaan, untuk menekankan pendekatan keamanan terhadap gerakan spiritual seperti ini. Agama-agama pan-etnis lainnya, seperti Baha’isme, Sikhisme, Taoisme, Yudaisme, dll mengalami kesulitan mengakses administrasi publik karena hanya tujuh agama, yaitu enam agama pemerintah dan penghayat yang dapat mengisi kolom “agama” di kartu identitas. Sebagian besar pemeluk agama-agama tersebut, kemudian memutuskan memasukkan salah satu dari enam agama di atas dalam data di KTP.

<b>Optimalisasi<p>

Dalam penelitian ini, kami melihat para narasumber tidak mengambil posisi antagonistik terhadap penggunaan media digital. Bahkan, melihat ini sebagai peluang ke depan, mereka melihat penggunaan media digital sebagai instrumen ekspresi keagamaan, di mana di masa lalu hal ini disamakan oleh mereka dengan “telepati”. 

Dalam kegiatan Focus Group Discussion pada saat International Conference of Indigenous Religions (ICIR) di Pontianak (27-30 November), para narasumber dari komunitas penghayat melihat media digital sebagai salah satu sarana terbaik, dalam meningkatkan pengenalan dan rekognisi publik terhadap mereka. Dimana selama ini masih banyak kesalahpahaman tentang komunitas penghayat yang beredar di tengah masyarakat.

Tantangan ke depan, yang merupakan tugas dari gerakan bersama meningkatkan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah penajaman gagasan, terkait aktivitas digital dengan membebaskannya dari asumsi teknokratik bahwa teknologi digital membawa “kebaikan” bagi komunitas agama, sementara bagi yang terbatas aksesnya akan menghadapi konsekuensi negatif. 

Demikian posisi ini juga berdasarkan anggapan ketidaksetaraan sosial dalam konteks perbandingan relatif akses terhadap sumber-sumber sosial. Kenyataan, bahwa banyak komunitas agama, khususnya agama leluhur dan komunitas penghayat mencerminkan kondisi “kesenjangan digital” (digital divide) perlu dilihat sebagai kondisi arbitrer (Epafras, 2022). Jika diukur secara teknokratik misalnya, Skala Literasi Digital Kemenkominfo maka banyak komunitas ini tidak memenuhi akses, keterampilan dan pemanfaatan digital yang “baik.”

Upaya pengarusutamaan kebebasan beragama dan berkeyakinan di ruang digital merupakan tugas bersama, yang hendaknya menjadi perhatian dari semua elemen masyarakat. Kehadiran media digital dalam bentuk internet dan media sosial, telah membawa transformasi dalam interaksi di tengah masyarakat (Putnam, 2000). 

Media digital merupakan alat komunikasi yang ampuh. Ini memungkinkan semua orang dari semua komunitas bisa secara bebas mengekspresikan dirinya. Secara umum, media digital masih dianggap sebagai sebuah platform yang demokratis. Namun, perspektif ini hanya berfungsi di bawah sorotan penggunaan media sosial yang positif. Pada sisi ini, optimalisasi penggunaan media digital dapat membantu untuk meningkatkan kebebasan beragama, dan berkeyakinan bagi semua elemen masyarakat.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version