Indeks
MICE  

Kami Bersama Pemerintah Hadapi Uni Eropa dan WTO

PUTUSAN panel WTO menghendaki agar pemerintah Indonesia membuka kembali kran ekspor nikel, yang disengketakan oleh Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO).

Menanggapi hal tersebut Fajar Hasan mengatakan bahwa putusan WTO tersebut harus dilawan, pasalnya putusan WTO tersebut berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan khususnya nikel.

“Putusan panel WTO menghendaki pemerintah Indonesia membuka kembali Kran ekspor nikel berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” kata pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara, Selasa (29/112), melalui keterangan persnya.

Menurut Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Manfaat hilirisasi telah dirasakan oleh rakyat, efek nilai tambahnya menggerakan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi daerah yang memiliki bentangan sumber daya alam melimpah. Misalnya, pembangunan smelter nikel di daerah, menyerap tenaga kerja dan pendapatan negara/daerah menjadi meningkat. 

“Ini fakta statistik dan empirik  bahwa program hilirisasi harus berlanjut, tidak boleh terhenti hanya karena tekanan Uni Eropa dan WTO,” ungkap Fajar Hasan.

Lebih lajut Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat ini mengatakan kebijakan hilirisasi pengelolaan nikel di dalam negeri merupakan kebijakan nasional, dengan tujuan untuk melindungi sumber daya alam, agar pengelolaan dan pemanfatannya di dalam negeri. Negara lain atau badan dunia, tidak boleh mengintervensi kebijakan nasional negara lain. Jika hal itu dilakukan, secara tegas dapat kita katakan bahwa Uni Eropa dan WTO telah mencampuri urusan dalam negeri kita, mengganggu kedaulatan hukum Indonesia.

“Uni Eropa dan WTO harus menghormati rambu-rambu diplomatik dan yuridiksi suatu negara sebagai prinsip dasar hubungan antarnegara atau badan-badan internasional. Oleh karenanya, kami dukung pemerintah untuk melakukan banding atas putusan WTO tersebut,” tandasnya.

Menurut Komisaris Utama PT Tetap Merah Putih saat ini total existing smelter berdasarkan data Kementerian Peridustrian sebanyak 82 smelter, dengan rincian 35 sudah beroperasi, 30 tahap konstruksi, dan 17 tahap Feasibility Study, mayoritas berada di Sulawesi dan Maluku Utara. Smelter tersebut menyerap tenaga kerja sekitar 200 ribu orang yang tersebar di 15 Provinsi. Selanjutnya, smelter tersebut merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan telah ditetapkan sebagai kawasan Objek Vital Nasional Indonesia (OVNI).

“Ini adalah bukti kesungguhan pemerintah dalam program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam. Bahan baku nikel smelter tersebut dari dalam negeri, dipasok oleh penguasaha lokal. Jika kran ekspor nikel dibuka, dapat dipastikan smelter dalam negeri akan kekurangan pasokan bahan baku, dan pembangunan smelter akan tersendat, karena ada opsi bagi pengusaha untuk melakukan ekspor bahan baku. Ketika smelter berhenti, ekonomi lokal akan mengalami turbulensi, ratusan ribu orang akan kehilangan pekerjaan,” ucapnya.

Berikutnya, menurut Pengurus Badan Hubungan Legislatif Kadin Indonesia ini mengatakan bahwa dalam rangkaian pertemuan G20 baru-baru ini di Bali, beberapa pengusaha nasional kita, telah melakukan penandatanganan MoU dengan investor terkait pembangunan smelter pabrik baterai di Sulawesi disaksikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM.  Pertanda, investor makin percaya dengan kebijakan nasional hilirisasi pengelolaan sumber alam.

“Momentum ini harus kita jaga bersama, melalui komitmen dukungan pengusaha terhadap setiap kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya alam,” katanya.

Fajar Hasan mengatakan pada pertemuan puncak G20, menghasilkan Deklarasi Bali, salah satu konsensus negara-negara anggota adalah komitmen bersama untuk beralih dari energi fosil ke energi listrik. Kaitannya dengan pembangunan smelter nikel adalah guna menghasilkan baterai litium untuk kendaraan  listrik, hal tersebut sejalan dengan agenda global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak fosil, nantinya secara bertahap, dunia akan beralih ke energi listrik.

“Mestinya, WTO mendengar dan mempertimbangkan suara pemerintah Indonesia bahwa pembatasan atau pelarangan ekspor nikel terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, untuk mendukung program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam secara optimal di dalam negeri,” tuturnya.

Ia mengungkapkan bahwa hilirisasi juga terkait dengan komitmen Indonesia terhadap agenda global bahwa perlunya transisi energi, dengan menciptakan baterai litium untuk kendaraan listrik melalui smelter nikel di dalam negeri, dengan maksud mengurangi konsumsi energi fosil secara global, guna mencegah pemanasan global atau climate change.

“Indonesia negara berdaulat, kita berhak menentukan nasib kita sendiri, tidak bisa didikte oleh siapapun. Indonesia anggota G20, bahwa kita salah satu raksasa ekonomi dunia, kita akan tunjukan kepada WTO,” pungkasnya. (OL-13)


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version