Urung-urung tempolong kapur
Urung tumbuan
Jadi tempolong kapur
Jadi tumbuan
Urung tempolong kapur
Urung tumbuan’
ITU contoh tuturan jampe atau mantra yang ada di masyarakat Betawi. Jampe itu dibacakan oleh dukun atau bebongkot untuk menyembuhkan sakit tumbuan (sesuatu yang tumbuh pada tubuh), misalnya gondongan atau bengok (beguk atau gondok), dampa, brahma, giduh, sekelan, sresel, bisul, dan bintit. Varian itu tidak mutlak karena penyebabnya berbeda. Prinsipnya, dipukul rata menjadi rumpun yang sama.
Namun, penyakit tersebut dapat disebabkan faktor ilmiah dan nonilmiah. Faktor ilmiah karena virus, jamur, dan bakteri. Adapun faktor nonilmiah berupa ketemplokan, kiriman, teluh, pelet, dan lain yang sejenisnya. Orang Betawi mendefinisikan sakit atau penyakit dengan kata enggak enak badan, meriang, gering, dan mangkig. Itu menggambarkan jenis penyakit ringan.
Untuk penyakit berat (terutama bagi mereka yang berdosa, kualat, duraka/durhaka), disebut kedalon dan seksaan bale. Untuk penyakit yang tidak diketahui sebab-musababnya, disebut bikinan atau kiriman.
Dalam tradisi lisan Betawi, semua jenis penyakit, baik ringan, berat, maupun kiriman, dapat diikhtiarkan penyembuhannya dengan jampe. Penyembuhan dengan jampe harus melalui kemahiran dukun yang memenuhi persyaratan. Sebuah tuturan jampe yang difungsikan untuk penyembuhan kurang ampuh jika tanpa pelengkap atau pendukung utamanya.
Dalam masyarakat Betawi, jampe adalah bacaan yang sering atau biasanya dibaca dengan cara nggrendeng atau solilokui alias bersenandung. Namun, bacaan itu bersifat sangat pribadi karena hanya orang-orang tertentu (dukun atau ‘orang pinter’) yang memiliki kemampuan membacanya. Apalagi jika jampe dianggap sebagai pusaka yang diwariskan leluhur dan harus dijaga serta dirawat. Bagi dukun, jampe ialah pemake atau media yang digunakan untuk menghubungkan alam kasar (manusia) dengan alam alus (penguasa alam semesta). Artinya, menciptakan relasi mikro dan makrokosmos.
Untuk menajamkan power dan efektivitas, prosesi pembacaan atau pengamalan jampe membutuhkan media bantu dan lelaku khusus, tertib, ajeg, dan disiplin. Prosesi itu sudah berbeda antara dahulu yang pra-Islam dengan sekarang. Prosesi sekarang, misalnya, puasa 40 hari,
termasuk puasa mutih dan tetirah atau ziarah ke makam keramat wali Allah.
Setelah sembahyang Magrib dan Subuh atau melazimkan sembahyang malam, mengamalkan wirid sesuai dengan yang diniatkan. Wirid yang dilafalkan misalnya surah Al-Fatihah tujuh kali ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW; membaca surah Al-Fatihah tujuh kali ditujukan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani; membaca ya sayyidi ya rasulullah selama 30 menit dengan khusyuk; membaca kalimah taibah laa ilaaha illallah sebanyak 3.000 kali.
Dengan amalan itu, hati akan terang, pintu ilmu gaib akan terbuka dan mudah menguasai bermacam ilmu gaib. Begitu beragamnya jenis penyakit, begitu pula dengan jenis jampe. Orang yang kadang-kadang mempermainkan jampe untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya dapat berdampak negatif bagi dirinya. Biasanya orang itu terkena dampak negatif atau disebut ketulah.
Adapula orang yang benar-benar serius ingin berprofesi sebagai dukun, tetapi mental spiritualnya tidak mendukung, akan gagal. Orang seperti itu disebut enggak kuat bawa ilmu. Perilakunya tidak normal. Tahap yang paling kritis bagi orang ini ialah menjadi gila.
Secara umum, mengacu kepada cultural sytem (sistim nilai budaya) yang telah digagas leluhur masyarakat Betawi, jampe dibagi menjadi empat ragam utama dikaitkan dengan fungsi dan kepraktisannya.
Pertama, jampe koncian, yaitu jejampean yang digunakan untuk menjaga dan melindungi diri dari berbagai gangguan yang nyata maupun yang gaib. Kedua, jampe setiar atau jalan usaha, yaitu jampe yang dimanfaatkan untuk keperluan berusaha dan berniaga di dalam segala lapangan serta profesi. Ketiga, jampe beborehan, yaitu jampe yang difungsikan untuk pengobatan dan penyembuhan berbagai jenis penyakit. Keempatnya, termasuk jempe kemaslahatan.
Jampe kemaslahatan termasuk di dalamnya hal-hal praktis yang tidak masuk ke kelompok satu, dua, dan tiga. Misalnya, jampe mikat (menangkap) burung atau memancing ikan dan sebagainya. Tentu empat kelas jampe yang dikemukakan dan berlaku pada masyarakat Betawi bukan suatu kemutlakan. Penggolongan itu hanya untuk mempermudah penempatan dan pemanfaatannya dilihat dari sisi penggunaan di masyarakat selain tentu untuk membantu kaum akademisi dalam upaya menganalisis isi yang terkandung di dalamnya.
Warisan leluhur
Siapakah yang menciptakan jampe? Dapat dipastikan jampe diciptakan oleh para leluhur yang memiliki kemampuan membaca gejala alam. Leluhur atau bebongkot itu tidak terlacak namanya, tetapi dapat diduga profesinya, seperti resi, kiai, pujangga, dan orang pinter lainnya. Profesi seperti itu jelas disandangkan kepada orang yang ahli dalam menciptakan atau merangkai teks sastra dan tata bahasa, ahli memainkan kata-kata, mahir dalam seni suara, pandai mengarang dan bercerita. Selain itu, ia memiliki pengetahuan mengenai hal yang ‘kasar’ dan ‘halus’, arif bijaksana, dan memiliki daya ingatan kuat dan tajam.
Apakah jampe dan dukun masih eksis dan ditransmisi saat ini? Tentu saja masih. Di beberapa kampung yang masih melazimkan ritus sedekah bumi atau baritan, seperti di Pondok Rangon (Jakarta Timur) Kampung Setu, Setu Babakan Srengseng Sawah (Jakarta Selatan), Marunda Pulo (Jakarta Utara), dan Muara Tawar (Bekasi), masih melengkapinya dengan jampe dan dukun (juru kunci).
Lapis dukun yang lebih muda kini sudah berani tampil di hadapan publik. Meski penampilannya lebih memperlihatkan nilai pariwisatanya, mereka tetap memiliki nilai positif setidaknya untuk meneruskan tradisi leluhur. (M-3)
Urung-urung tempolong kapur
Urung tumbuan
Jadi tempolong kapur
Jadi tumbuan
Urung tempolong kapur
Urung tumbuan’
ITU contoh tuturan jampe atau mantra yang ada di masyarakat Betawi. Jampe itu dibacakan oleh dukun atau bebongkot untuk menyembuhkan sakit tumbuan (sesuatu yang tumbuh pada tubuh), misalnya gondongan atau bengok (beguk atau gondok), dampa, brahma, giduh, sekelan, sresel, bisul, dan bintit. Varian itu tidak mutlak karena penyebabnya berbeda. Prinsipnya, dipukul rata menjadi rumpun yang sama.
Namun, penyakit tersebut dapat disebabkan faktor ilmiah dan nonilmiah. Faktor ilmiah karena virus, jamur, dan bakteri. Adapun faktor nonilmiah berupa ketemplokan, kiriman, teluh, pelet, dan lain yang sejenisnya. Orang Betawi mendefinisikan sakit atau penyakit dengan kata enggak enak badan, meriang, gering, dan mangkig. Itu menggambarkan jenis penyakit ringan.
Untuk penyakit berat (terutama bagi mereka yang berdosa, kualat, duraka/durhaka), disebut kedalon dan seksaan bale. Untuk penyakit yang tidak diketahui sebab-musababnya, disebut bikinan atau kiriman.
Dalam tradisi lisan Betawi, semua jenis penyakit, baik ringan, berat, maupun kiriman, dapat diikhtiarkan penyembuhannya dengan jampe. Penyembuhan dengan jampe harus melalui kemahiran dukun yang memenuhi persyaratan. Sebuah tuturan jampe yang difungsikan untuk penyembuhan kurang ampuh jika tanpa pelengkap atau pendukung utamanya.
Dalam masyarakat Betawi, jampe adalah bacaan yang sering atau biasanya dibaca dengan cara nggrendeng atau solilokui alias bersenandung. Namun, bacaan itu bersifat sangat pribadi karena hanya orang-orang tertentu (dukun atau ‘orang pinter’) yang memiliki kemampuan membacanya. Apalagi jika jampe dianggap sebagai pusaka yang diwariskan leluhur dan harus dijaga serta dirawat. Bagi dukun, jampe ialah pemake atau media yang digunakan untuk menghubungkan alam kasar (manusia) dengan alam alus (penguasa alam semesta). Artinya, menciptakan relasi mikro dan makrokosmos.
Untuk menajamkan power dan efektivitas, prosesi pembacaan atau pengamalan jampe membutuhkan media bantu dan lelaku khusus, tertib, ajeg, dan disiplin. Prosesi itu sudah berbeda antara dahulu yang pra-Islam dengan sekarang. Prosesi sekarang, misalnya, puasa 40 hari,
termasuk puasa mutih dan tetirah atau ziarah ke makam keramat wali Allah.
Setelah sembahyang Magrib dan Subuh atau melazimkan sembahyang malam, mengamalkan wirid sesuai dengan yang diniatkan. Wirid yang dilafalkan misalnya surah Al-Fatihah tujuh kali ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW; membaca surah Al-Fatihah tujuh kali ditujukan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani; membaca ya sayyidi ya rasulullah selama 30 menit dengan khusyuk; membaca kalimah taibah laa ilaaha illallah sebanyak 3.000 kali.
Dengan amalan itu, hati akan terang, pintu ilmu gaib akan terbuka dan mudah menguasai bermacam ilmu gaib. Begitu beragamnya jenis penyakit, begitu pula dengan jenis jampe. Orang yang kadang-kadang mempermainkan jampe untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya dapat berdampak negatif bagi dirinya. Biasanya orang itu terkena dampak negatif atau disebut ketulah.
Adapula orang yang benar-benar serius ingin berprofesi sebagai dukun, tetapi mental spiritualnya tidak mendukung, akan gagal. Orang seperti itu disebut enggak kuat bawa ilmu. Perilakunya tidak normal. Tahap yang paling kritis bagi orang ini ialah menjadi gila.
Secara umum, mengacu kepada cultural sytem (sistim nilai budaya) yang telah digagas leluhur masyarakat Betawi, jampe dibagi menjadi empat ragam utama dikaitkan dengan fungsi dan kepraktisannya.
Pertama, jampe koncian, yaitu jejampean yang digunakan untuk menjaga dan melindungi diri dari berbagai gangguan yang nyata maupun yang gaib. Kedua, jampe setiar atau jalan usaha, yaitu jampe yang dimanfaatkan untuk keperluan berusaha dan berniaga di dalam segala lapangan serta profesi. Ketiga, jampe beborehan, yaitu jampe yang difungsikan untuk pengobatan dan penyembuhan berbagai jenis penyakit. Keempatnya, termasuk jempe kemaslahatan.
Jampe kemaslahatan termasuk di dalamnya hal-hal praktis yang tidak masuk ke kelompok satu, dua, dan tiga. Misalnya, jampe mikat (menangkap) burung atau memancing ikan dan sebagainya. Tentu empat kelas jampe yang dikemukakan dan berlaku pada masyarakat Betawi bukan suatu kemutlakan. Penggolongan itu hanya untuk mempermudah penempatan dan pemanfaatannya dilihat dari sisi penggunaan di masyarakat selain tentu untuk membantu kaum akademisi dalam upaya menganalisis isi yang terkandung di dalamnya.
Warisan leluhur
Siapakah yang menciptakan jampe? Dapat dipastikan jampe diciptakan oleh para leluhur yang memiliki kemampuan membaca gejala alam. Leluhur atau bebongkot itu tidak terlacak namanya, tetapi dapat diduga profesinya, seperti resi, kiai, pujangga, dan orang pinter lainnya. Profesi seperti itu jelas disandangkan kepada orang yang ahli dalam menciptakan atau merangkai teks sastra dan tata bahasa, ahli memainkan kata-kata, mahir dalam seni suara, pandai mengarang dan bercerita. Selain itu, ia memiliki pengetahuan mengenai hal yang ‘kasar’ dan ‘halus’, arif bijaksana, dan memiliki daya ingatan kuat dan tajam.
Apakah jampe dan dukun masih eksis dan ditransmisi saat ini? Tentu saja masih. Di beberapa kampung yang masih melazimkan ritus sedekah bumi atau baritan, seperti di Pondok Rangon (Jakarta Timur) Kampung Setu, Setu Babakan Srengseng Sawah (Jakarta Selatan), Marunda Pulo (Jakarta Utara), dan Muara Tawar (Bekasi), masih melengkapinya dengan jampe dan dukun (juru kunci).
Lapis dukun yang lebih muda kini sudah berani tampil di hadapan publik. Meski penampilannya lebih memperlihatkan nilai pariwisatanya, mereka tetap memiliki nilai positif setidaknya untuk meneruskan tradisi leluhur. (M-3)
Sumber: mediaindonesia.com