KERINGATNYA mengucur di teriknya kampung Hoba, Kelurahan Nangalimang,
Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, saat menganyam
wadah buah buahan dari daun kelapa.
Setelah anyaman wadah itu selesai dibuat, ia pun meletakan buah pepaya,
nanas dan ubi pilihan ke dalam wadah sambil ditata agar indah dipandang.
Dia adalah Simon Petrus Seng. Pria itu didapuk menjadi moan kila babong atau delegasi bagi keluarga calon mempelai Pria.
Penunjukan Simon, karena ia adalah warga asli Sikka, Nusa Tenggara
Timur. Ia dipandang menguasai tradisi meminang gadis dalam budaya Sikka. Pasalnya, calon mempelai pria berasal dari daerah lain.
Sebagai perwakilan delegasi dalam ritual meminang gadis Sikka, Simon ingin memastikan serangkaian barang antaran utama berupa kuda, emas dan uang telah tersedia sesuai kesepakatan.
Sebab denda adat siap menanti jika salah satu prasyarat antaran tidak
dipenuhi calon mempelai pria.
Simon Petrus dimintai kesediaan menjadi delegasi atau utusan bagi Richo
Sogen, calon mempelai pria yang berasal dari Karawatung, Pulau Solor.
Keluarga Sogen bersama rumpun keluarga ibunda Rico asal Lembata, hendak
mempersunting Sherly, gadis asal Sikka. Seluruh ritual mempersunting
gadis Sikka itu dilakukan dalam tradisi budaya setempat.
Simbol Kemandirian Pria
Tak hanya itu, sang delegasi juga memastikan tersedianya antaran
berupa hasil pertanian seperti buah pisang, ubi, kelapa, Padi, jagung,
mangga, pinang, nangka, nanas, ayam, ikan kering, tembakau, sirih, ayam
dan arak. Begitu juga dengan makanan yang sudah dimasak dan perlengkapan sandangĀ calon mempelai wanita di dalam tas. Seluruh antaran tersebut wajib dibawa saat melamar seorang gadis Sikka.
Seluruh bawaan tersebut harus dengan kelipatan ganjil. Dengan komando Simon Petrus, keluarga calon mempelai pria inipun bergerak
menuju kediaman Sherly, calon mempelai perempuan di Desa Ribang,
Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka.
Tiga buah pikup mengangkut seluruh barang bawaan, mulai ikan kering,
tanaman pangan, sampai dengan kuda hingga uang. Kendaraan menjadi
pilihan hanya karena jarak menuju kediaman calon mempelai wanita cukup
jauh.
Hingga sekitar 20 meter dari kediaman calon mempelai wanita, semua
kerabat, dipimpin Simon berjalan kaki. Sementara pikup yang memuat seluruh antaran langsung parkir di depan rumah.
Ritual lamaran pun berlangsung. Simon berjalan di depan iring-iringan kerabat calon mempelai pria dengan memegang 1 ayam dan dua botol arak sebagai simbol permohonan izin, atau dalam istilah adat setempatĀ disebut ketuk pintu.
Menurut Simon Petrus, ada beberapa simbol dari hasil pertanian sebagai
bahan bawaan dalam ritual adat perkawinan di Sikka.
“Hasil bumi saat hantaran ada beberapa makna. Ia menjadi gambaran
kemandirian seorang calon mempelai pria, meyakinkan keluarga perempuan
bahwa calon mempelai pria ini memiliki hasil usaha pertanian, bekal
hidup berumah tangga. Kedua, pinang dan sirih merupakan lambang kejantanan atau keperkasaan. Ketiga, pisang itu melambangkan kemakmuran, sedangkan kelapa itu melambangkan kesuburan atau kesejahteraan,” Ungkap Simon Petrus.
Saat duduk di meja adat, keluarga pria yang diwakili Simon juga menyerahkan uang dan emas sebagaimana kesepakatan dua pihak. Sementara keluarga perempuan membalas antaran itu dengan membagikan sarung bagi
setiap orang yang datang dari keluarga pria, babi 1 ekor, makanan masak, serta sejumlah perlengkapan lain.
Dalam forum adat meminang, kedua belah pihak menyepakati mahar atau belis. Biasanya berupa kuda, emas, gading dan uang. Dalam proses antaran belis juga keluarga pria membawa serta hasil bumi.
“Kalau maharnya itu berdasarkan kesepakatan dan diberikan merupakan
suatu bentuk penghargaan dan penghormatan derajat seorang wanita,”
ungkap Simon Petrus.
Tradisi adat perkawinan di Kabupaten Sikka masih terus terjaga hingga
saat ini. Daerah itu masih meletakan tradisi adat pada kedudukan
tertinggi, meski menjadi salah satu kabupaten yang tergolong maju di
Nusa Tenggara Timur. (N-2)
Sumber: mediaindonesia.com