Indeks
MICE  

Harapan Warga Keerom terhadap Dana Otsus Jilid Dua

KEBIJAKAN Otonomi Khusus (Otsus) bagi masyarakat Papua sudah berlangsung 20 tahun. Namun di kalangan masyarakat Papua masih ramai mengeluhkan bahwa kebijakan Otsus dan implementasinya belum sesuai harapan. Harapan mereka, kebijakan itu sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU Otsus, yakni perubahan signifikan ke arah kemajuan dan perbaikan kualitas hidup masyarakat Papua, khususnya Orang Asli Papua (OAP), dalam berbagai aspek kehidupan.

Kini kebijakan Otsus sudah memasuki babak 20 tahun kedua atau yang lebih dikenal dengan Otsus jilid dua yang akan berlaku hingga 2041. Jika tidak ada pembenahan secara serius atau bahkan secara ekstrem pada aspek implementasinya, mungkin keluhan yang sama akan kembali terdengar pada 2041.

Dari sejumlah aspirasi yang pernah dimuat di media massa beberapa waktu belakangan ini, aspek yang banyak dikeluhkan masyarakat terkait Otsus jilid satu ialah pengelolaannya yang dinilai kurang transparan. Karenanya, mereka tidak bisa membedakan, pembangunan atau bantuan yang bersumber dari dana Otsus, APBN, atau APBD. “Mungkin untuk uang Otsus, pemerintah perlu cetak uang khusus dengan warna yang lain supaya kami bisa tahu, bantuan yang kami terima itu dari dana Otsus,” ungkap Ortinus Wetipo, 47, warga Wamena yang sudah lebih 20 tahun menetap di Kampung Yammua, Arso, Kabupaten Keerom.

Ortinus yang di kampungnya dikenal sebagai ketua kelompok tani ubi tatas ini mengaku dirinya sudah sering mengajukan proposal ke Pemkab Keerom melalui kepala kampung setempat untuk mendapatkan bantuan pengembangan usaha yang bersumber dari dana Otsus. “Baru hari ini (Sabtu, 10 Desember 2022) kelompok kami (kelompok tani) dapat bantuan alat berat dari Dinas Pertanian untuk kasih gembur tanah (pencetakan lahan untuk menanam ubi tatas) di kebun kami seluas 2 hektare. Namun saya tidak tahu, itu program Otsus atau bukan, karena tidak ada penjelasan. Kami tahunya hanya bantuan. Begitu selama ini memang seperti itu,” sebut Ortinus.

Keluhan lain ialah pengawasan terhadap pendistribusian dana Otsus dari pemerintah daerah ke distrik hingga kampung-kampung. Lemahnya pengawasan menyebabkan oknum-oknum pengelola dana Otsus melakukan penyimpangan untuk memperkaya diri. Hal ini pernah diungkapkan oleh Ketua Komisi C DPRD Keerom, Bonifasius A Muenda. “Sebagai anggota DPRD yang melakukan fungsi pengawasan, kami sering memperdebatkan kemana dana Otsus ini pergi. Otsus itu mengalir dari saku ke saku. Saku orang-orang yang memangku jabatan,” ungkap Bonefasius beberapa waktu lalu.

Karena itu, harapan Ortinus sebagai masyarakat penerima manfaat dana Otsus, perlu ada keterlibatan komponen masyarakat untuk ikut mengawasi pengelolaan dana Otsus, seperti komponen adat, pemuka gereja, organisasi kepemudaan, dan kelompok perempuan. “Dari tokoh gereja, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan ada di dalam situ, sehingga dong nanti ikut mengawasi anggaran (dana Otsus) turun dipakai untuk bikin apa saja, dong nanti yang bicara,” saran Ortinus. 

Ortinus sepakat, penggunaan dana Otsus jilid satu selama dua puluh tahun, perlu disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Kalaupun ada temuan-temuan terkait penyimpangan penggunaannya, oknum-oknum yang terlibat harus bertanggung jawab secara hukum. Karena itu, dirinya mendukung jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa seluruh aliran dana Otsus, mulai dari Pusat ke provinsi, kabupaten, hingga ke perangkat kampung-kampung yang ada di Papua. “Ini supaya pada Otsus jilid dua tidak ada lagi korupsi, sehingga masyarakat lebih merasakan manfaat uang Otsus,” harap Ortinus. (RO/OL-14)


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version