DALAM Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 27 (KTT COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir, Indonesia perlu menarik banyak dukungan pembiayaan internasional untuk mitigasi perubahan iklim. Utamanya untuk proyek pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah membuka kesempatan untuk melakukan percepatan penghentian operasi PLTU sebelum 2050.
“Di COP ini, komitmen tersebut harus digaungkan untuk kebutuhan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang rata-rata berusia 13 tahun. Dukungan pendanaan dari negara maju harus disampaikan lugas,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (8/11).
Berdasarkan kajian Financing Indonesia’s Coal Phase out oleh IESR bersama Universitas Maryland, pada 2030 dibutuhkan biaya besar sekitar US$4,6 miliar atau sekitar Rp72 triliun untuk pengakhiran 9,2 gigawatt (GW) PLTU dan US$27,5 miliar hingga 2045 untuk seluruh PLTU.
Sementara, untuk dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, setidaknya membutuhkan total investasi sebesar US$135 miliar pada 2030.
Meski terlihat jumlahnya besar, Fabby menilai manfaat yang diraih dari pensiun dini PLTU jauh lebih besar di sisi ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Secara ekonomi, manfaat dari pensiun PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan dapat mengurangi biaya pembangkitan listrik rata-rata dalam jangka panjang,” imbuhnya.
Selain itu, tersedia manfaat kesehatan, naiknya ketersediaan pekerjaan hijau di sisi sosial, serta secara lingkungan dapat menghindari biaya retrofit pengendalian polusi udara, dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
IESR mencatat kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Indonesia mencapai USD 135 miliar menuju 2030 dan meningkat menjadi US$455 miliar.
Investasi ini untuk membangun energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik, sistem penyimpanan listrik (storage), investasi efisiensi energi, dan juga pengembangan jaringan transmisi dan distribusi.
Oleh karena itu, Fabby menekankan penting agar fokus pembiayaan publik dan juga dukungan pembiayaan internasional diarahkan ke penciptaan iklim investasi yang positif untuk sistem energi bersih. (OL-8)
Sumber: mediaindonesia.com