MICE  

BPJS Kesehatan Bukan untuk Orang Kaya?

BARU-BARU ini muncul berita bahwa Menteri Kesehatan (Menkes) mencurigai banyak konglomerat menggunakan BJPS Kesehatan untuk berobat. Untuk mem-follow-up kondisi tersebut, Menkes akan mengecek data tagihan listrik pengguna terbesar BPJS Kesehatan. Katanya, ia akan mengukur kekayaan peserta BPJS Kesehatan tersebut dengan menggunakan metrik pembayaran listrik. Dengan statemen ini, Menkes seolah ingin memberi pesan orang kaya tidak diharapkan menggunakan BPJS saat berobat. Bila berita ini benar, statemen Menkes ini terkesan aneh dan berpotensi menimbulkan kontroversi. 

Pertama, apakah ada hal yang salah bila orang kaya atau konglomerat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan? Sepanjang mereka tercatat sebagai peserta dan membayar iuran secara rutin, mereka memiliki hak yang sama dengan peserta lain. Tidak ada perbedaan kategori kaya-miskin atau strata konglomerat-fakir saat peserta mencari pelayanan kesehatan. Sepanjang mereka memenuhi kewajibannya, BPJS Kesehatan tidak bisa melarang atau membatasi mereka berobat. 

Dalam klausul peserta BPJS Kesehatan, tidak pernah disebutkan orang kaya dan konglomerat tidak boleh dapat pelayanan. Hingga saat ini tidak ada satupun sistem asuransi kesehatan yang membatasi orang kaya berobat. Mungkin Menkes ingin orang kaya dan konglomerat membayar iuran BPJS Kesehatan secara teratur tetapi tidak perlu mendapat pelayanan. Bila ini yang diinginkan, kondisi ini lebih tepat dinamakan donasi atau charity dan bukan kepesertaan BPJS Kesehatan. 

Kedua, tidak ada relevansi antara BPJS Kesehatan dengan menguntit pembayaran listrik orang. Tidak jelas apa yang diharapkan: kalau pembayaran listriknya tinggi, apakah mereka harus didiskualifikasi dari kepesertaan? Selain itu, menguntit pembayaran listrik orang tanpa alasan jelas dapat dikaitkan breaking confidential information terkait dengan aspek legalitas. Menkes harus sangat berhati-hati sebelum melakukan tindakan ini. 

Jika memang Menkes ingin hanya orang miskin yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, maka nama BPJS Kesehatan perlu dirubah. Bisa diganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Masyarakat Kurang Mampu (BPJKKM). Pada saat yang sama dibuatkan program khusus BPJS Kesehatan untuk orang kaya. Dengan model ini akan tercipta dua polar BPJS Kesehatan; satunya khusus orang mampu dan satunya tidak mampu. 

Ketiga, pekerjaan rumah Kemenkes masih banyak. Jadi sebenarnya tidak perlu membuang energi untuk memantik hal tidak jelas dan berpotensi kontroversi. Masih banyak hal krusial lain yang perlu dituntaskan. Cakupan vaksinasi dasar bayi dalam 2 tahun terakhir menurun drastis; target 2021 93%, namun yang tercapai hanya 84%. Tahun 2024, target prevalensi tengkes harus di bawah 14%; sementara akhir 2021 prevalensinya masih lebih 24%. Apa bisa menurunkan 10% dalam dua tahun? Hal ini sangat sulit dan memerlukan perhatian serius. 

Hingga kini Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia masih termasuk tinggi bahkan untuk level Asia Tenggara. AKI masih jauh dari target SDG sebesar 12 per 1.000 kelahiran hidup. Kita juga berhadapan dengan isu meta-data kesehatan yang belum solid, persiapan endemi Covid-19 dan kesiagaan menghadap potensi pandemi. 

Kasarnya, negeri ini masih menghadapi banyak persoalan krusial yang lebih membutuhkan energi dan perhatian Kemenkes. Sebaiknya Menkes dan jajarannya fokus menyelesaikan persoalan krusial kesehatan yang masih menggurita di negeri ini. Itu lebih reasonable daripada melakukan hal-hal aneh yang menimbulkan kontroversi. 


Sumber: mediaindonesia.com