MICE  

Bola Panas RUU (Omnibus) Kesehatan di Tangan Komisi IX DPR

PERJALANAN panjang RUU Kesehatan itu memang mele;lahkan. Setelah masuk dalam Short list Prolegnas, atas inisiatif Baleg DPR dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Baleg DPR dengan mengundang berbagai stakeholder kesehatan, baik yang gurem dan sempalan sampai yang resmi kelembagaannya. 

Anehnya dalam proses RDP itu, Baleg tidak punya draft atau konsep yang lengkap berupa Naskah Akademik, tetapi memberikan beberapa pertanyaan, dan didiskusikan.

 

Saat bersamaan beredar dimasyarakat Naskah Akademik dan Draft RUU (Omnibus) Kesehatan, dan menimbulkan kehebohan dan kegemparan sejagad dunia profesi kesehatan. Pihak DPR tidak mengakui mengeluarkan Draft NA dan RUU itu. Demikian juga pihak Kemenkes. Mungkin yang mengedarkan hantu bernama “Omnibus”. 

Hebatnya, Draft RUU Kesehatan  yang beredar itu, dibahas secara resmi dan diam-diam oleh para pejabat Kemenkes. Para OP (Organisasi Profesi) kesehatan menyebutnya operasi senyap. 

Belakangan pihak Baleg DPR baru secara resmi mengeluarkan Draft RUU (Omnibus) Kesehatan, yang mirip dengan draft yang beredar di masyarakat. 

Komisi IX DPR menyatakan tidak dilibatkan dan tidak mengusulkan RUU (Omnibus) Kesehatan itu. Bahkan ada kecenderungan menolak karena tidak urgens. Komisi IX lebih fokus pada pembahasan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, yang akhirnya ditelan RUU Kesehatan. 

Akhirnya Sidang Paripurna DPR memutuskan untuk membahas RUU Kesehatan itu, sebagai inisiatif DPR, dan menyerahkan Draft RUU (Omnimus ) Kesehatan keada Pemerintah untuk dibahas. 

Tarik ulur belum selesai. Pihak Komisi IX DPR protes karena ada upaya untuk membahas RUU itu di Baleg, bukan di Komisi IX DPR yang membidangi Kesehatan, ketenagakerjaan dan kependudukan. Secara tupoksi memang urusan Komisi IX DPR, tetapi yang paling ”memahami” dan “sepaham” dengan Kemenkes adalah Baleg DPR. 

Karena protes keras Komisi IX DPR, pimpinan DPR memutuskan pembahasan mitra pemerintah di Komisi IX DPR. Komisi IX menunjuk 27 orang sebagai Panja DPR, dan Pemerintah menyiapkan 84 orang sebagai Panja Pemerintah. 

Sewaktu penyerahan DIM Pemerintah oleh Menkes kepada Pimpinan Komisi IX DPR, Rabu 5 April 2023, Menkes menjelaskan dengan mantap bahwa DIM RUU kesehatan itu sudah menyerap 75% aspirasi masyarakat.

“Terhimpun 6.011 masukan partisipasi publik melalui public hearing, sosialisasi, dan website telah didengar, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan. Dari jumlah tersebut sudah 75% ditindaklanjuti,” ujar Menkes Budi.

Dengan percaya diri Menkes menyebutkan  sudah menyelenggarakan partisipasi publik dan sosialisasi RUU Kesehatan sejak 13 sampai 31 Maret 2023. Dalam waktu 2 minggu itu total ada 115 kegiatan partisipasi publik, 1.200 stakeholder yang diundang, dan 72 ribu peserta yang terdiri dari 5 ribu Luring, 67 ribu Daring. 

Hasil DIM RUU Kesehatan menggabungkan 10 undang-undang (UU) dan mengubah sebagian isi UU yakni UU nomor 20/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS.

Dari 478 pasal RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3.020, sebanyak 1.037 DIM tetap untuk disepakati di rapat kerja DPR, 399 DIM perubahan redaksional untuk ditindaklanjuti oleh tim perumus dan tim sinkronisasi, 1.584 DIM perubahan substansi untuk ditindaklanjuti oleh panitia kerja (Panja) DPR.

Kemudian DIM penjelasan ada 1.488, sebanyak 609 DIM tetap, 14 DIM perubahan redaksional, 865 DIM perubahan substansi.

“Pemerintah mendukung RUU Kesehatan inisiatif DPR karena sejalan dengan upaya transformasi sistem kesehatan Indonesia,” ucap Menkes Budi.

Suatu kerja yang luar biasa. Cepat sepertinya substansinya memang sudah dikuasai oleh Tim yang dipersiapkan Kemenkes. Bagaimana kedalaman substansi yang dibahas tidak jelas diungkapkan. Akurasi angka-angka diatas secara kuantitatif “menakjubkan” dalam waktu  2 minggu, tetapi secara kualitatif masih menyisakan pertanyaan. 

Panja Komisi IX DPR sebanayk 27 orang, “dikepung” sebanyak 84 orang Panja Pemerintah. Dari jumlah itu, rasanya tidak mungkin RUU Kesehatan itu inisiatif DPR. Tapi kenyataannya Baleg DPR mengakui, inisiatif Baleg DPR, bukan Komisi IX DPR. 

Harapan kepada Panja Komisi IX DPR

Panja Komisi IX DPR pelajari dulu klaim Kemenkes tentang partisipasi publik yang dilakukan. Prosesnya, substansinya, jangkauan segmen kelompok masyarakat, dan akurasi data yang ditampilkan. 

Ada ribuan pasal yang dibahas dalam DIM Pemerintah, dan menjaring ribuan masukan masyarakat baik luring dan daring dalam waktu singkat ( sekitar 2 minggu), apakah sudah dapat dipastikan sudah akurat, sudah sinkron korelasi antar pasal. Apakah tidak ada lagi substansinya yang terlewatkan?

Menggali lebih dalam lagi partispasi masyarakat, sebagai upaya cross check, dan  pengujian kebenaran informasi yang diperoleh Panja DPR, dan mensinkronkannya dengan masukan DIM Pemerintah. 

Pasal-pasal yang krusial, menimbulkan kegaduhan, dan tidak bermanfaat untuk masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya, dihapuskan saja. Menyisir pasal-pasal yang tidak perlu diangkat dalam bentuk norma Undang-Undang, tetapi cukup regulasi dibawahnya, untuk dihapus. 

Seperti misalnya bocoran yang didapat adv. Muhammad Joni, SH, MH,  bahwa DIM yang dibuat Menkes itu pada DIM 50 Pasal 1 angka 37, menghapus keberadaan Organisasi Profesi  Kesehatan. Ini suatu  usulan keterlaluan dan menunjukkan arogansi kekuasaan yang tidak pantas dan menabrak norma-norma hukum  lainnya. RUU Kesehatan dengan pendekatan Omnibus Law sepertinya sebaga instrumen politik Menkes untuk memberangus eksistensi organisasi profesi.

Panja Komisi IX DPR, disarankan karena banyaknya blunder dalam ribuan DIM itu, untuk  merubah konsep Draft RUU Kesehatan tidak menggunakan metode Omnibus Law. Ini memungkinkan karena yang mengusulkan DPR, dan proses dalam pembahasannya bisa saja berubah dengan tidak membahas DIM-DIM yang berasal dari UU Sektor Kesehatan tertentu. 

Fokus saja membahas DIM pasal-pasal yang terkait dengan perubahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 

Dengan demikian Draft Undang-Undang Kesehatan yang baru itu menjadi jejaring dan menghilangkan irisan kontroversial dengan UU lain di Sektor Kesehatan seperti UU Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, Kedokteran, Bidan, Perawat dan lain-lain. 

Draft RUU Kesehatan, sebagai revisi terhadap UU Kesehatan yang lama ( No. 36/2009) juga tidak perlu menyentuh UU SJSN dan UU BPJS yang bersifat Lex Specialist. Cukup mengelaborasi substansi terkait Kesehatan yang tercantum dalam UU SJSN dan UU  BPJS ke dalam RUU Kesehatan.

Soal isyu tenaga kesehatan dokter spesialist dan pendidikan kedokteran, STR, SIP dan lainnya, tidak perlu diatur dalam bentuk UU. Cukup regulasi dibawahnya dalam bentuk Kepres, PP, dan PMK. Dikhawatirkan Menkes tidak memahami substansi yang hendak dibongkar-pasang itu, tetapi berkeyakinan harus dibongkar. 

DPR Komisi IX pasti sudah memahami bahwa penyusunan RUU dengan pendekatan Omnibus Law menyisakan persoalan yang tidak selesai. Sampai hari ini demo buruh masih berlangsung protes UU Cipta Kerja, UU P2SK yang menyabet  JHT masuk dalam UU P2SK, dan persoalan dengan pihak Kepolisian terkait wewenang penyelidikan, masih belum selesai. 

Panja Komisi IX DPR harus ekstra hati-hati atas potensi  masuknya kepentingan lain yang bermotif jaringan bisnis kesehatan dan kekuasaan untuk mengendalikan BPJS Kesehatan dengan memporak porandakan pasal-pasal dalam UU SJSN dan UU BPJS, melalui tangan Omnibus Law. 

Peserta JKN yang selama ini sudah merasakan manfaat JKN, dan dikelola oleh BPJS Kesehatan secara independen sebagai badan hukum publik, merupakan aset yang harus dijaga dan dipelihara oleh DPR. Perlu diingat, RUU SJSN dan RUU BPJS diusulkan atas inisiatif DPR. Akan menjadi suatu yang ironi jika UU SJSN dan BPJS porak poranda di tangan DPR. (RO?S-40

 

Sumber: mediaindonesia.com