Indeks
MICE  

Bersepakat Melanggar Konstitusi

NEGARA yang dapat dikatakan memiliki pemerintahan konstitusional ialah negara yang pemerintahannya memperhatikan batasan yang ditentukan konstitusi. Begitu lebih kurang nukilan KC Wheare dalam Modern Constitutions. Pemerintahan konstitusional itu merupakan pemerintahan yang kekuasaannya tunduk pada batas-batas yang diatur dalam konstitusi. Tunduk, atau tidaknya sebuah pemerintahan negara tergambar dari keputusan dan tindakan penyelenggara negara, dalam hal ini pejabat-pejabat negara. Sebab, sebagaimana dikemukakan Harun Alrasid, negara merupakan organisasi yang terdiri atas jabatan-jabatan sehingga wajah negara akan tergambar dari tindakan pejabat-pejabat yang mengisi jabatan tersebut.

Kerangka pemahaman terkait pemerintahan konstitusional yang demikian dipahami secara umum oleh para penstudi hukum tata negara, dan juga wajib dipahami secara baik oleh penyelenggara negara, apalagi para pejabat tinggi negara. Hal demikian menjadi sangat penting agar negara tidak dijalankan sesuka hati, tetapi dilaksanakan sesuai kerangka legal yang digariskan konstitusi dan hukum organik (organic laws) turunannya. Artinya, konsep pemerintahan konstitusional bukan hanya sekadar teori yang mesti diketahui, melainkan juga sebagai kewajiban moral yang mesti dilaksanakan para pejabat negara.

Idealitas sederhana di atas saat ini sedang diuji dalam praktik ketatanegaraan Indonesia. Arahnya, paham konstitusionalisme dimaksud sedang memasuki musim gugur. Hal itu, secara nyata dapat kita lihat dalam proses pemberhentian hakim konstitusi oleh DPR yang tidak sesuai dengan undang-undang. Kelanjutannya, sekalipun menuai kritik luas terhadap proses pergantian hakim konstitusi yang dilakukan DPR, Presiden Jokowi tetap melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi pengganti Aswanto (23/11).

Sebagian besar orang yang menekuni hukum tata negara awalnya tidak, yakin Presiden Jokowi akan tetap melantik Guntur Hamzah. Alasannya sederhana, tidak mungkin praktik pemberhentian hakim konstitusi yang nyata-nyata keliru dilegitimasi oleh Presiden. Selain itu, tidak mungkin sekelas negara hukum Indonesia dikelola dengan cara yang justru keluar dari semangat paham konstitusionalisme, yang terpatri erat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi. Namun, pikiran itu buyar ketika Presiden memilih untuk tetap melantik hakim konstitusi kontroversial dimaksud. Ada apa dan atas alasan apa Presiden tetap melakukan pelantikan?

Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu hanya Presiden yang tahu. Hanya, tindakan itu bisa juga dibaca menggunakan perspektif hukum, dan praktik ketatanegaraan yang ada. Pertama, bisa jadi Presiden tetap melakukan pelantikan karena Presiden memaknai bahwa peran Presiden dalam pengangkatan hakim konstitusi usulan DPR dan MA hanya sekadar menetapkan. Presiden sebatas menempatkan diri sebagai pejabat tinggi negara yang sedang melaksanakan fungsi administrasi negara, berupa tindakan menetapkan hakim konstitusi yang diajukan DPR.

Bila alasan itu yang mendasari sikap Presiden. Artinya, Presiden tidak lagi mengambil porsi sebagai pimpinan tertinggi negara yang sedang menjalankan dan menjaga konstitusi agar dijalankan selurus-lurusnya, tetapi sebatas menjadi administrator yang tidak terlalu penting menilai benar, atau tidaknya substansi yang akan ia tetapkan. Ia cukup menilai bahwa pergantian hakim konstitusi ini sudah melalui proses pengajuan dari DPR, dan Presiden tinggal menetapkan saja. Soal ada persoalan hukum dalam proses pergantian hakim di DPR, itu dianggap bukan urusan Presiden.

Kedua, tindakan Presiden melantik hakim konstitusi yang pengangkatannya bermasalah, bisa jadi didasarkan atas pertimbangan bahwa menurut Presiden, proses yang dilakukan DPR sudah benar. Bila sudah benar, untuk apa dipersoalkan dan kenapa tidak harus dilantik? Jika alasan kedua ini yang jadi basis pemikiran untuk tetap melantik Guntur Hamzah, sesungguhnya Presiden telah tidak taat lagi pada sumpah atau janjinya sebagai Presiden.

Ketika dilantik, Presiden mengucapkan sumpah jabatan di hadapan MPR sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Sumpah jabatan dimaksud adalah, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik­baiknya dan seadil­adilnya, memegang teguh undang­undang dasar dan menjalankan segala undang­undang dan peraturannya dengan selurus­lurusnya serta berbakti, kepada nusa dan bangsa.”

Dalam norma dimaksud, begitu tegas dinyatakan, bahwa seorang Presiden mengikatkan diri di bawah sumpah terhadap kewajiban untuk memegang teguh UUD, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Sumpah jabatan bagi seseorang yang mengemban jabatan adalah ikatan tertinggi. Ikatan itu, melebihi dari sekadar kewajiban untuk mematuhi konstitusi, apalagi undang-undang. Sebab, sumpah bukanlah sekadar ikatan Presiden dengan rakyat yang dipimpinnya, melainkan juga ikatan suci dengan Yang Mahakuasa. Dengan demikian, apabila pejabat yang mengemban amanah dihadapkan pada dilema, apakah harus melaksanakan fungsi administrasi jabatan semata, atau menjaga kekuasaan negara agar berjalan lurus sesuai konstitusi dan undang-undang, maka ikatan sumpah yang ia ucapkan memaksa ia untuk mengambil opsi kedua.

Bahkan, dengan berbekal sumpah jabatan itu, seorang Presiden dapat mengambil keputusan, atau tindakan untuk mengoreksi atau meluruskan setiap tindakan lembaga negara lainnya (termasuk DPR), yang dinilai melanggar hukum atau undang-undang. Lebih-lebih, jika keputusan atau tindakan itu juga secara nyata mengganggu desain konstitusi, yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebegitu besar sesungguhnya peran Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkannya.

 

Negarawan dan nasib MK

Sekarang semua sudah terjadi. Guntur Hamzah telah dilantik dan Aswanto sudah diberhentikan. Dalam keterangannya, Aswanto menyatakan tidak akan mempersoalkan pemberhentiannya itu, sekalipun cacat hukum. Tindakan Aswanto tersebut memang memiliki kelemahan. Sebab, sikap Aswanto akan menyebabkan pintu untuk melakukan koreksi hukum terhadap keputusan pemberhentian hakim konstitusi itu menjadi tertutup. Hanya, sikap tersebut bisa saja diambil, setelah mempertimbangkan dengan matang terkait proses peradilan yang kelak akan ia lalui.

Kalaupun misalnya Aswanto memilih untuk melakukan upaya hukum melalui PTUN, namun dengan “intervensi” yang begitu kuat terhadap kekuasaan kehakiman seperti terjadi pada MK, PTUN juga akan sulit menghadirkan putusan yang lurus. Sekelas MK saja bisa dipreteli sedemikian rupa, apalagi jika hanya sekadar hakim di tingkat PTUN bukan?

Di sisi lain, pilihan sikap Aswanto dimaksud, menjadi petunjuk ihwal kualitas kenegarawanan yang ia miliki. Sekalipun ia terlihat diperlakukan tidak adil dengan jabatannya, ia memilih untuk tidak mempersoalkan. Menjadi hakim konstitusi bukanlah segalanya. Sehingga, ketika jabatan itu hilang ia pun tidak memusingkan. Seharusnya, kaliber orang-orang seperti itulah idealnya yang mengisi jabatan hakim konstitusi berkualifikasi seorang negarawan itu. Sebaliknya, bagi yang justru menghalalkan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, menjadi tidak layak menyandang martabat seorang negarawan.

Dengan tertutupnya mekanisme koreksi melalui PTUN, jalan alternatif yang seharusnya ditempuh adalah mendorong proses koreksi oleh DPR. Hanya, koreksi melalui DPR pun tidak mungkin diharapkan. Sebab, sumber awal masalah itu justru muncul dari DPR sendiri. Lalu? di tengah terjadinya persepakatan terhadap pelanggaran konstitusi, dan sudah tidak ada kekuatan yang bisa diharapkan untuk melakukan koreksi, selemah-lemahnya adalah berdoa untuk kebaikan negara hukum demokratis kita. Pasrah? Yang pasti, doa bukanlah bentuk kepasrahan, melainkan harapan. Harapan, agar prinsip-prinsip negara hukum demokratis yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bisa tegak kembali pada waktunya nanti.

Lalu bagaimana nasib MK? tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan ini. Tindakan Presiden melantik Guntur Hamzah sudah membuat terang arah perjalanan MK ke depan. Apalagi, saat ini sedang berlangsung proses perubahan UU MK, di mana salah satu materi yang hendak dimasukkan adalah mengenai evaluasi hakim konstitusi oleh Presiden, DPR dan MA. Tiga lembaga tersebut, sewaktu-waktu dapat mengevaluasi hakim konstitusi berdasarkan pengaduan masyarakat kepadanya.

Proses evaluasi ini akan dapat menjadi alat bagi Presiden dan DPR untuk mengendalikan hakim konstitusi dalam proses pengujian undang-undang. Bahkan, mengendalikan proses penyelesaian sengketa hasil pemilu. Hakim-hakim konstitusi yang tidak mau tunduk pada kemauan Presiden, DPR, dan MA tinggal menunggu giliran mendapatkan pengaduan masyarakat, lalu dapat kartu merah dan diberhentikan sebagai hakim konstitusi.

Dengan begitu, tidak akan ada lagi kemandirian hakim konstitusi dan tidak akan ada lagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di MK. Bila kemerdekaan kekuasaan kehakiman telah dibunuh, harapan tegaknya hukum dan keadilan mesti dikubur dalam. Hukum tidak akan lagi menjadi panglima. Hukum dan peradilan, tidak akan lebih dari sekadar alat legitimasi bagi kehendak siapa yang berkuasa. Kita patut mencatat bahwa masa ini adalah era runtuhnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman Indonesia.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version