Indeks
MICE  

Bentuk Lain Songket Palembang

LAHIR di lingkungan perajin songket di Palembang membuat Kiagus Muhammad Aditia tumbuh akrab dengan kain tersebut sejak belia. Namun, minatnya pada kain tradisional tersebut baru terjadi pada 2010, saat ia berkuliah. Ketika itu, laki-laki yang akrab disapa Adit itu mengamati ada persoalan mengenai kain songket yang pengembangan produknya stagnan. Namun, karena saat itu masih berkuliah, Adit belum bisa berbuat banyak dan konkret pada produk tenun tersebut.

Setelah lulus kuliah dari jurusan ilmu komputer, ia mencoba mengepul limbah kain songket untuk dikreasikan menjadi gantungan kunci. Modalnya cukup Rp150 ribu saja. Namun, dari situ bisnisnya pun bergulir. Adit bisa mengumpulkan modal menjadi lebih besar, hingga Rp3 juta.

Pada 2017 itu, Adit mendirikan merek Pash, merek yang menawarkan suvenir dari kain songket Palembang. Dari sekadar gantungan kunci, itu berkembang ke produk tas, dompet, hingga pakaian siap pakai. Ketika dia memulai bisnisnya pada tahun pertama, Adit langsung menaruh produk-produknya di lokapasar digital.

“Pada awal-awal kehadiran lokapasar digital di Indonesia, saya sudah langsung memanfaatkannya. Cuma, ya, ketika itu masih sepi pasarnya. Jadi, saya jualan diimbangi offline juga. Baru pada 2018 saya geber digital marketing-nya,” cerita Adit mengenai perjalanan awal bisnisnya kepada Media Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (6/12).

Yang dilakukan Adit ketika itu ialah memasang iklan berbayar di lokapasar digital. Ia mengalokasikan bujet Rp2 juta-Rp3 juta. Berkat cara itu, Pash pun mendapat kunjungan di toko digital mereka dan terjadi peningkatan transaksi penjualan.

“Namun, sebenarnya saya merasa kurang puas ketika itu. Saat itu, kan, Pash baru punya satu customer service, masih belajar juga, dan saat minat calon kustomer mulai muncul, banyak yang tidak tertangani sehingga ada transaksi-transaksi yang tidak terjadi,” lanjut Adit.

Dengan berbekal latar belakang pendidikannya dan kemauan belajar secara autodidak, Adit pun mengulik lebih jauh produksi konten-konten kreatif di platform digital, termasuk optimalisasinya. Kala itu, konten foto dan video masih diproduksi Adit sendiri. Meski demikian, Pash berhasil mendapat atensi dan bisa menambah pengikut mereka di media sosial. Kini, Instagram Pash, @songketpash sudah memiliki 13,9 ribu pengikut.

Dari yang semula produksi hanya berkisar puluhan item untuk produk fesyen, kini Pash sudah mampu memproduksi dalam jumlah ribuan per bulannya. Sementara itu, variasi produk (SKU) sudah ada 200 lebih per tahun ini. Saat ditanya terkait dengan omzetnya pada 2022, Adit tidak mau menyebutnya secara gamblang. Ia hanya menyiratkan usahanya kini mencatat omzet jutaan rupiah per bulannya.

Dok. Pash

Kain songket Palembang.

 

 

Inovasi dan pewarna alam

Salah satu yang ditawarkan Pash sejak awal ialah memberikan sentuhan kebaruan pada kain songket Palembang. Caranya ia memadukannya ke beberapa produk suvenir dan fesyen. Jadi, kain songket tidak saja dikenakan saat pesta adat atau upacara formal, tetapi juga dipakai di keseharian yang lebih kasual.

Inovasi yang juga dilakukan ialah pemberian variasi warna yang lebih modern. Pada dasarnya, kain songket Palembang memiliki karakter dasar warna merah mencolok dengan benang berwarna emas. Namun, Pash menawarkan beberapa pengembangan warna kekinian.

“Misalnya kami ikuti perkembangan tren warna fesyen. Seperti pada 2021 itu, kan, ngetren warna lilac lalu ada warna sage untuk tahun ini. Benangnya, yang lazimnya emas, kami ubah ke silver agar lebih terlihat modern dan ternyata banyak orang suka.”

Pash pun menyediakan variasi produk bagi pelanggan yang memiliki fokus pada produk yang etis secara lingkungan dengan warna-warna alam yang memanfaatkan pewarna alami. Pengembangan itu mulai dilakukan pada tahun lalu.

Saat ini, pasar Pash umumnya perempuan dari kelompok usia 30-50 tahun. Latar belakang mereka diaspora Palembang di luar negeri atau luar kota atau mereka yang memang pecinta dan kolektor wastra. Namun, Adit menjelaskan ada juga kalangan yang memang bukan asal Palembang dan mereka yang baru mau mengoleksi kain songket.

Pash pun kini tengah merancang produk yang menyasar perempuan kelompok usia di bawah 30 tahun. Namun, ia menyebut mereknya masih merumuskan formula yang tepat. Itu termasuk model produk serta rentang harga yang bisa masuk kantong generasi lebih muda.

 

Peran digital

Karena Adit dan Pash sudah cakap digital sejak merek tersebut lahir, hal itu juga menjadi keuntungan bagi mereka ketika badai pandemi melanda pada 2020. Saat banyak usaha lain gulung tikar hingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja karyawan, Pash cukup tangguh melalui pandemi selama dua tahun.

Adit mengaku mereknya terdampak oleh pandemi pada dua bulan awal, yakni pada April-Mei 2020. “Kami bersyukur karena sudah cukup melek digital marketing sejak 2017. Jadi, saat pandemi covid-19 2020, kami bisa bangkit setelah dua bulan awal. Bahkan profit kami bisa tumbuh 70% dari 2019. Ini seperti buah manis dari yang kami lakukan sejak beberapa tahun sebelumnya.”

Cara yang dilakukan Pash ketika itu ialah mengurangi operasional toko luring dan mengajak para karyawan tokonya untuk berpindah melayani pelanggan secara daring. Dari yang awal punya satu layanan pelanggan, kini Pash sudah memiliki total enam karyawan, khusus untuk melayani pelanggan online. “Selama pandemi, kami tidak melakukan PHK. THR juga kami bayar secara penuh,” ujar Adit.

Kini, untuk mengurusi konten kreatif, Pash sudah memiliki divisi tersendiri. Mereka juga berinvestasi untuk mendukung kebutuhan konten seperti imembeli ponsel pintar hingga laptop. Sekarang ini mereka mengalokasikan bujet iklan rerata Rp2 juta per bulannya.

Adit menambahkan, pemasukan Pash saat ini 90% berasal dari platform daring. Sementara itu, 10% sisanya dari toko luringnya. Mereknya pun dilirik beberapa instansi yang melakukan pembinaan pada UMKM. Seperti pada tahun ini, Pash masuk daftar Brilianpreneur dari BRI. Itu program pendampingan bagi UMKM di Indonesia yang melalui kurasi dan nantinya juga disediakan semacam pasarnya.

Di tengah proyeksi pemerintah dalam mendorong digitalisasi UMKM Indonesia, dalam pandangan Adit, ada beberapa hal yang masih perlu diintensifkan. Misalnya terkait dengan keberlanjutan pelatihan digital bagi para UMKM.

“Selain itu, UMKM di luar pusat Jakarta kerap kali terkendala oleh biaya logistik yang cukup tinggi. Kami, misalnya, kirim produk ke Indonesia bagian timur. Itu berbeda kalau basis kami di Jakarta. Saat ini, kami paling mengandalkan reseller di beberapa kota luar Palembang seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Riau,” tutup Adit. (M-3)

 

Biodata

Pash

Produk: Kain songket Palembang, fesyen songket, dan suvenir dari kain songket

Sejak: 2017

Domisili: Jalan Kiranggo Wirosentiko No 998, 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Kota Palembang, Sumatra Selatan

Instagram: @songketpash

Website: songketpash.com

 

Pemilik

Nama lengkap: KGS M Aditia

Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 2 Mei 1993

Pendidikan : Ilmu Komputer Universitas Sriwijaya

Penghargaan Pash : Pemenang 2 Nasional Wirausaha Muda Berprestasi Kemenpora 2018


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version