Indeks
MICE  

Becoming Muhammadiyah dan Pentingnya Menjadi Tenda Kultural

JIKA ditelisik asal muasal pimpinan dan aktivis Muhammadiyah, dapat dipahami bahwa mereka sejatinya berasal dari berbagai latar belakang sosial. Mereka bukan hanya berasal dari keluarga Muhammadiyah. Mereka menjadi Muhammadiyah bukan semata karena bapak dan ibunya aktivis persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Lebih dari itu, banyak aktivis organisasi ini yang semula tidak banyak mengenal Muhammadiyah. Bahkan, ada juga sebagian aktivis Muhammadiyah yang berlatar belakang nahdliyin. Mereka berproses menjadi (becoming) Muhammadiyah dengan beragam cara. Dengan kata lain, sesungguhnya banyak jalan untuk menjadi Muhammadiyah.

Di antara buku yang membahas beragam kisah mengenai proses seseorang menjadi Muhammadiyah dapat ditemukan sejumlah karya. Salah satunya, buku berjudul Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Islam Berkemajuan (2016). Buku ini berisi tentang autobiografi aktivis gerakan Islam Berkemajuan yang berdiaspora di berbagai wilayah dengan latar belakang sosial berbeda-beda. Pada awalnya, buku ini dirancang menjadi salah satu kado muktamar ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015 silam. Namun, karena ada keterlambatan beberapa tulisan, akhir nya buku ini baru diterbitkan Mizan pada 2016.

Buku yang berisi beragam kisah menjadi Muhammadiyah, juga dapat dibaca dalam 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014). Bahkan, lebih awal lagi, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur telah menerbitkan dua buku berjudul Siapa & Siapa (2005 dan 2010). Buku Siapa & Siapa ini terinspirasi dari beberapa publikasi dalam bahasa Inggris: Whos is Who, What is What, dan Who and Who.

Beberapa buku tentang autobiografi aktivis persyarikatan ini menggambarkan beragam kisah perjalanan seseorang dalam bermuhammadiyah. Di antara mereka, bahkan menjadi anggota pimpinan Muhammadiyah yang melegenda. Dari beragam kisah itu, ternyata tidak mudah menjadi Muhammadiyah. Selalu ada pergulatan dan dialektika pemikiran dari sebelum hingga menjadi Muhammadiyah.

 

MI/Seno

 

Bermula dari kekaguman

Seseorang bisa menjadi Muhammadiyah, dengan sebab-sebab yang tampak sederhana. Lihat saja pengalaman Aspari, kepala stasiun kereta api Sumberpucung, Malang. Sebelum akhirnya jatuh hati pada Muhammadiyah, Aspari merupakan pengagum tulen KH Ahmad Dahlan. Sebagai pedagang batik, Kiai Dahlan memang sering singgah di Sumberpucung dan Kepanjen untuk menemui pedagang batik yang menjadi mitra dagangnya. Apalagi di dua daerah itu tersedia jalur kereta api yang menghubungkan Yogyakarta dan Surabaya.

Sebagai abdi negara, Aspari sangat terkesan dengan perilaku Kiai Dahlan yang rendah hati dan sederhana. Secara diamdiam, Aspari datang ke Yogyakarta untuk melihat keseharian Kiai Dahlan. Tatkala bertamu di rumah Kiai Dahlan, dia mendapat perlakuan yang sangat baik. Tatkala masuk waktu zuhur, dia diajak salat berjemaah. Secara jujur, dia mengatakan pakaiannya kotor sehingga khawatir tidak sah jika digunakan salat. Kiai Dahlan pun memberikan pakaian layak pakai pada Aspari untuk salat.

Pakaian pemberian Kiai Dahlan, kemudian dibawa pulang ke Sumberpucung. Ternyata, peristiwa sederhana itu memberi kesan mendalam bagi Aspari. Dia pun bertekad mendirikan Muhammadiyah di daerahnya. Hingga pada 1922, Muhammadiyah berdiri di Sumberpucung. Aspari merupakan salah satu tokoh penting kelahiran Muhammadiyah di daerah ini. Menjadi Muhammadiyah karena kekagumannya pada kesederhanaan Kiai Dahlan. Bagi Aspari, Kiai Dahlan layaknya ulama yang pandai merawat kata. Kiai Dahlan konsisten menjaga satunya kata dengan perbuatan.

 

 

Terpikat paham Islam berkemajuan

Figur Kiai Dahlan juga menjadi perhatian tokoh-tokoh nasional. Di antaranya ialah Soekarno dan Ruslan Abdulgani (Cak Rus). Dua tokoh ini menjadi Muhammadiyah karena terpikat paham Islam berkemajuan yang didakwahkan Kiai Dahlan. Sejak mengikuti pengajian Kiai Dahlan di Masjid Plampitan Surabaya, Soekarno muda merasa sejalan dengan paham agama yang diajarkan pendiri dan ideolog Muhammadiyah ini. Seperti tampak dalam salah satu karyanya: Islam Sontoloyo, Pikiran-Pikiran Progresif Pemikiran Islam (2010), Soekarno sangat menentang kekolotan, kejumudan, takhayul, dan kemusyrikan, yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Soekarno pun menjadi Muhammadiyah.

Sepanjang hayatnya, Soekarno juga sangat dekat dengan Muhammadiyah. Saat pengasingannya dipindah dari Pulau Ende, Nusa Tenggara Timur, ke Bengkulu, Soekarno resmi menjadi anggota Muhammadiyah pada 1938. Saat Ketua Muhammadiyah Bengkulu, Hasan Din, memintanya menjadi guru sekolah Muhammadiyah, Soekarno menerima tawaran itu dengan senang hati. Soekarno pun diangkat menjadi ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Putri Hasan Din, yakni Fatmawati, merupakan salah satu murid yang diajar Soekarno. Fatmawati kemudian dinikahi Soekarno. Interaksi Soekarno dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah tetap terjaga hingga dia wafat. Begitu cintanya kepada Muhammadiyah, Soekarno berwasiat agar jika wafat, jenazahnya ditutup dengan bendera Muhammadiyah.

Sementara itu, Cak Rus lebih dikenal sebagai tokoh politik, nasionalis, pejuang, dan pelaku perjuangan heroik dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Tokoh multitalenta ini merupakan arek Surabaya asli. Yang belum banyak diketahui publik, Cak Rus sejatinya bagian dari keluarga besar Muhammadiyah. Dalam suatu kesempatan, Cak Rus mengatakan bahwa di dalam hidupnya pengaruh Muhammadiyah sangat kuat. Latar belakang keluarganya juga Muhammadiyah. Hanya, Cak Rus mengaku belum pernah memiliki kartu anggota Muhammadiyah.

Cak Rus tetap menjadi Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Cak Rus mengatakan, akan sangat senang jika ada orang yang memtertuang dalam tulisan tangan bertanggal 9 Mei 1991, yang terpampang di dinding Masjid Plampitan. Dalam pandangan Cak Rus, dakwah Kiai Dahlan berbeda dengan ulama pada masanya. Para kiai masa itu umumnya berdakwah dengan menekankan hafalan ayat-ayat al-Qur’an. Yang terpenting untuk dihafal tentu saja surat Yasin. Hal itu, karena surat Yasin selalu dibaca dalam acara-acara keagamaan yang diselenggarakan masyarakat. Dalam dakwahnya, para kiai juga mengajarkan ilmu kanuragan, seperti cara menghilang dan ilmu kesaktian lainnya.

Sementara itu, dakwah Kiai Dahlan lebih mengedepankan penggunaan akal pikiran dalam memahami Islam. Kiai Dahlan juga mengajak ulama berijtihad, memberantas takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Menurut Cak Rus, Kiai Dahlan tergolong ulama yang berani berdakwah. Cak Rus mencontohkan, pada saat para kiai masih berkeyakinan bahwa khotbah Jumat harus disampaikan dalam bahasa Arab, Kiai Dahlan berkhotbah dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa. Cak Rus juga mengagumi dakwah Kiai Dahlan, yang menekankan prinsip bahwa yang penting dalam beragama ialah beramal (a faith with action). Semboyan Muhammadiyah, berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat), diakui Cak Rus begitu memenga ruhi perjalanan hidupnya.

 

 

Tertarik ajaran welas asih

Ada juga pengakuan menarik tokoh Muhammadiyah dari kalangan profesional, yakni Dokter Soetomo. Saat meresmikan rumah sakit Muhammadiyah Surabaya pada 1924, Dokter Soetomo menyampaikan pidato yang menggugah empati hadirin. Dokter Soetomo yang saat itu menjadi penasihat Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) Muhammadiyah bidang kesehatan menyatakan alasannya tertarik menjadi anggota organisasi yang didirikan Kiai Dahlan. Dokter Soetomo menyatakan tertarik dengan ajaran kewelasasihan atau kedermawanan yang dipraktikkan Kiai Dahlan. Melalui majelis Penolong Kesejahteraan Oemoem (PKO), Kiai Dahlan membidani kelahiran rumah sakit dan panti yatim piatu untuk menolong masyarakat miskin.

Kata-kata ‘Oemoem’ juga sangat mengesankan Dokter Soetomo. Itu karena kata-kata itu menegaskan komitmen Kiai Dahlan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi semua kalangan tanpa membedakan agama, paham keagamaan, dan etnik. Saat menyampaikan pidato peresmian rumah sakit itulah, Dokter Soetomo mengajak hadirin yang sebagian adalah nonik-nonik Belanda untuk menyumbang. Ajakan Dokter Soetomo, ternyata mampu menggerakkan hati nonik-nonik Belanda untuk menyumbang. Secara spontan, mereka melepaskan kalung, cincin, dan gelang, untuk didonasikan ke rumah sakit Muhammadiyah yang berada di Jalan KH Mas Mansur tersebut.

Pengakuan pahlawan nasional, yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama rumah sakit pemerintah Provinsi Jawa Timur,. penting dikemukakan sebagai inspirasi sekaligus alasan menjadi Muhammadiyah. Testimoni Dokter Soetomo memang tidak berlebihan. Sebab, para pendiri dan ideolog Muhammadiyah Pengpada periode awal dikenal memiliki ajaran dan praktik hidup: sedikit bicara banyak kerja, beretos amal salih, pemurah dan dermawan, cinta sesama, fi lantropisme, kesukarelaan, dan voluntarisme.

Aktivis Muhammadiyah, juga digambarkan memiliki etos kerja layaknya kaum Calvinis sebagaimana digambarkan Max Weber dalam The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism dan Cliffort Geertz dalam Paddlers and Princes. Dua buku ini, menggambarkan sikap hidup sederhana, bersahaja, suka menabung (dunia dan akhirat), kerja sebagai panggilan, dan sebagainya. Dengan ideologi itu, lahirlah nilai-nilai unggul di Muhammadiyah, yakni tradisi bahwa yang kaya adalah organisasi, bukan individu. Juga ada etika organisasi yang dipegang teguh pimpinan dan anggota. Nilai-nilai utama itu hingga kini tetap terjaga.

 

 

Menjadi tenda kultural

Testimoni Aspari, Soekarno, Cak Rus, dan Dokter Soetomo hanya sekadar contoh perjalanan seseorang menjadi (becoming) Muhammadiyah. Pengalaman mereka bisa menjadi pelajaran berharga, terutama bagi Muhammadiyah. Tentu, masih banyak pengalaman orang dengan berbagai latar belakang sosial yang kemudian menjadi aktivis, bahkan pimpinan Muhammadiyah. Dari pengalaman-pengalaman becoming Muhammadiyah itu, rasanya penting dibangun komitmen untuk menjadikan organisasi ini sebagai tenda kultural. Sebagai tenda kultural, Muhammadiyah harus mengedepankan ideologi yang terbuka.

Dengan begitu, siapa pun dan apa pun latar belakangnya dapat bergabung dengan Muhammadiyah. Jika pada awal perkembangannya Muhammadiyah sukses memikat elemen masyarakat dari berbagai latar belakang sosial, pada abad kedua seharusnya organisasi ini juga menjadi rumah besar tempat berhimpunnya beragam kelompok dan mazhab pemikiran (school of thoughts). Dengan begitu, Muhammadiyah akan menjadi laksana rumah kebudayaan sebagaimana pernah dikemukakan Moeslim Abdurrahman dalam Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (2003).

Penting disadari bahwa menjadi Muhammadiyah, sebagaimana juga menjadi muslim, merupakan sebuah pergumulan yang tidak pernah selesai. Melalui amal usaha yang bergerak dalam berbagai bidang serta dakwah yang mencerahkan dan menggembirakan, Muhammadiyah berpotensi menjadi tenda besar yang memayungi beragam aktivis dengan berbagai latar belakang sosial. Apalagi, pada abad kedua ini ada tekad membaja di kalangan aktivis persyarikatan, untuk melakukan internasionalisasi Muhammadiyah. Untuk melakukan internasionalisasi Muhammadiyah, tentu dibutuhkan komitmen menjadikan organisasi ini lebih terbuka, dan bersahabat dengan budaya.

Dengan mengutip pesan Kiai Dahlan, Haedar Nashir dalam pidato pembukaan Tanwir (18/11) mengatakan, “Muhammadiyah hari ini akan berbeda dengan Muhammadiyah di masa depan. Maka aku titipkan Muhammadiyah kepadamu, dan titipan itu menjadi spirit (ghirah), menjadi ruh, cita-cita (himmah) bagi seluruh kader, anggota dan pimpinan dari pusat sampai ke tingkat bawah bahkan ke mancanegara.” Pesan ini penting karena dakwah Muhammadiyah bukan hanya dinantikan negeri tercinta, melainkan juga dunia internasional. Semoga hasil-hasil muktamar ke-48 di Solo, Jawa Tengah, pada 18-20 November 2022, menjadi momentum mewujudkan Muhammadiyah sebagai tenda kultural yang lebih besar untuk kepentingan kemanusiaan universal.


Sumber: mediaindonesia.com

Exit mobile version